Sekitar tahun 2018 saya menulis isu korupsi di Desa. Isu korupsi Dana Desa begitu gencar ketika oknum pejabat pemerintahan di Pamekasan tergerus Operasi Tangkap Tangan pada tahun 2017. Simak saja misalnya berita "
Dua Jaksa Tindaklanjuti Laporan Korupsi Dana Desa Tapi Dihambat Kajari Pamekasan". Akibatnya, Dana Desa disangka menjadi sumber tindak pidana. Kementerian Desa pun melancarkan jurus kerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian untuk melakukan pencegahan 'korupsi Dana Desa'. Padahal bila kita seksama membaca isi berita 'korupsi Dana Desa', korupsi yang dilakukan pejabat yang tertangkap tangan itu tertuju pada Alokasi Dana Desa (ADD) dan bukan Dana Desa (DD).
Seperti kita ketahui bersama, kebijakan ADD bertumpu pada kekuasaan pemerintah supra Desa (kabupaten/kota), sedangkan kebijakan Dana Desa (DD) bersumber dari APBN. Hingga saat ini penulis belum berhasil memperoleh putusan peradilan secara resmi atas kasus Pamekasan. Simpang siur tentang korupsi Dana Desa (DD) akhirnya berhenti sebatas isu, tapi tidak jelas apa yang bisa dipelajari bagi Desa untuk terhindar dari tindak pidana korupsi Dana Desa (DD).
Desa dan Diskursus Korupsi
Penulis beberapa kali mengikuti diskusi tentang prioritas penggunaan Dana Desa, kewenangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan isu pencegahan korupsi di Desa. Kebijakan keuangan Desa mengalami fragmentasi kebijakan yang luar biasa. Kementerian Desa memproduksi kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa, Kementerian Dalam Negeri memproduksi kebijakan administrasi pemerintahan keuangan Desa, Kementerian Keuangan memproduksi kebijakan pola penghitungan Dana Desa, BPKP melakukan audit atas penggunaan Dana Desa, ditambah dengan program Jaksa Masuk Desa atau pelibatan Babinkantibmas atas urusan Dana Desa pasca MoU antara Kementerian Desa, Kepolisian dan kelembagaan hukum lain.
Pertanyaannya, apa yang hendak disampaikan oleh aparatus pemerintahan dan yudisial ini terkait korupsi Dana Desa? Apakah cukup menjelaskan dasar hukum dalam UU Desa dan peraturan perundang-undangan yang mengatur korupsi?
Dalam suatu forum diskusi dengan forum BPD di Subang penulis mendapat pembelajaran penting. Koordinasi yang dilakukan lintas kementerian/lembaga justru menimbulkan reaksi kekhawatiran intervensi yang berlebihan dari aparat hukum. Mengapa?
Pertama, penyampaian materi kebijakan kepada Desa hanya memaparkan secara normatif tentang kewenangan institusi penguasa terkait anti-korupsi.
Kedua, belum ada yurisprudensi tentang putusan yang membuktikan Dana Desa sebagai sumber korupsi.
Ketiga, isu hukum tidak mendarat pada pengembangan kapasitas kelembagaan Desa dalam mengawal pencegahan korupsi.
Simpulan sementara, Desa menjadi bingung karena tidak jelas apa yang disebut perilaku korup dan tidak.
Korupsi ADD Belum Tentu Dana Desa
Opini singkat ini menawarkan gagasan sederhana. Masing-masing Kementerian/Lembaga maupun NGO menyajikan data dan analisis yang terbuka tentang korupsi di Desa, baik dalam kategori ADD, DD, bantuan pemerintah, dan sumber lainnya. Mahkamah Agung menyediakan situs direktori putusan untuk mengunduh putusan terkait kasus pidana yang dilakukan penguasa di Desa. Situs ini bermanfaat sebagai sumber normatif melihat apa sebenarnya modus korupsi di Desa.
Penelusuran penulis terhadap situs Mahkamah Agung sepanjang tahun 2018 belum menemukan suatu putusan pidana terkait korupsi Dana Desa (DD). Justru kita akan mudah menemukan putusan terkait korupsi ADD, Dana Bergulir dan dana bantuan dari pemerintah untuk Desa.
Ambil contoh Putusan No. 47/Pid.Sus-TPK/2017/PIN Plk yang ditujukan kepada seorang Kepala Desa di Kalimantan Tengah. Putusan ini saya pilih karena relatif baru dirilis pada tahun 2017. Pertimbangan majelis hakim dalam putusan itu berada pada masa transisi kebijakan. Perbuatan korupsi dari oknum Kades dilakukan pada tahun 2012 ketika UU No. 32/2004 dan Permendagri No. 37/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa masih berlaku, dan putusan ini dibuat ketika sudah memasuki keberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa dan Permendagri No. 113/2014 yang mengatur keuangan Desa.
Analisis terhadap putusan tersebut perlu diperdalam oleh masing-masing otoritas Biro/Bagian Hukum di masing-masing Kementerian/Lembaga agar terdapat materi kebijakan yang rasional dan komunikatif bagi Desa. Tak hanya mengabarkan aspek normatif dari suatu pasal-pasal dalam UU Desa dan peraturan turunannya, lalu dipresentasikan kepada Desa tanpa disertai contoh perilaku korupsi menurut putusan peradilan.
Sisi negatif dari implementasi kebijakan pengelolaan ADD masa sebelum UU Desa dapat kita pelajari dari putusan yudisial tersebut, antara lain:
- Kegiatan yang diajukan untuk memperoleh ADD kepada pemerintah kabupaten berjalan lancar, tertib administratif, tetapi Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Tahap I dan Tahap II yang dilaporkan kepada Bupati tidak didukung bukti yang lengkap dan sah karena kegiatannya memang tidak pernah dilaksanakan;
- Penggunaan uang yang diperoleh dari ADD untuk kepentingan pribadi dengan disertai pemalsuan tanda tangan para penerima barang atau uang, kuitansi belanja yang tidak sesuai dengan toko yang menerbitkan, stempel Toko yang tidak sesuai dengan keterangan pemilik Toko ketika oknum Kades itu melakukan belanja barang, sehingga hal ini bertentangan dengan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa
- Seorang saksi yang kebetulan menjabat sebagai anggota BPD hanya dilibatkan pada kegiatan Musrenbangdes tetapi BPD tidak dilibatkan atau menerima laporan atas semua hasil kegiatan pembangunan Desa
- BUM Desa melakukan penanaman dan pengelolaan Kebun Sawit milik Desa tetapi saksi (anggota BPD) tidak tahu kapan dimulai penanaman sawit itu
- BPD kurang terlibat dalam menyelenggarakan Musyawarah Desa untuk merencanakan APBDesa, sehingga oknum Kades cenderung mengadakan Musyawarah yang rentan untuk menjustifikasi kepentingannya sendiri.
- Seorang saksi (warga Desa) tidak pernah melakukan tanda tangan Upah Tebas Tebang dan Upah Pancang Tanam BUM Desa setempat, maupun pekerjaan gorong-gorong yang dilakukan secara sukarela/gotong royong, sehingga tanda tangan warga itu dalam SPJ terbukti palsu.
- Beberapa warga Desa (sebagai saksi) tidak pernah melakukan pengerjaan pembuatan Jembatan Desa, tidak pernah menjadi tukang pada kegiatan itu, sehingga SPJ yang menyebutkan tanda tangannya sebagai penerima upah, terbukti palsu.
- Pembuatan kuitansi kosong, palsu, stempel palsu, dilakukan oleh dan/atau atas perintah oknum Kades di sebuah hotel yang tidak diketahui oleh Bendahara Desa.
- Proses pencairan ADD untuk Desa yang diajukan oleh Terdakwa (oknum Kades) kepada Bupati melalui SKPD dan tidak ada masalah.
- Hasil audit menunjukkan kerugian keuangan negara sebesar 150 juta lebih.
Modus oknum Kades dinilai oleh Majelis Hakim masuk kategori (a) orang selain pegawai negeri yang menjalankan tugas negara dan dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan Desa; (b) tindak pidana korupsi membuat palsu atau memalsukanbuku-buku atau register yang digunakan untuk pengawasan administratif, yang pada hakekatnya terdapat dalam Pasal 9 UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Teori hukum pidana yang dipertimbangkan Majelis Hakim antara lain kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheids bewustzijnatau noodzakkelijkheidbewustzijn), kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualisatau voor waar delijk-opzet), dan pertimbangan historis-yuridis lainnya terkait bagian integral dari tulisan yang palsu (putusan Hoge Raad tanggal 18 Maret 1940) relasional dengan kaidah normatif Pasal 416 KUH Pidana.
Perkuat BPD
Dalam pandangan sosiologi hukum yang normatif (sociological jurisprudence) substansi putusan yudisial ini penting untuk dicermati bahwa kedepan nanti Majelis Hakim bisa lebih jelas meminta keterangan dari terdakwa, saksi dan pihak ahli terkait kasus yang dibicarakan dalam persidangan itu bersumber dari masalah Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), atau sumber pendanaan lainnya. Tujuannya publik bisa paham bahwa korupsi di Desa terletak pada pemalsuan dan/atau membuat palsu dokumen administratif dari proses administratif pembangunan infrastruktur dan/atau pembayaran upah kerja warga Desa.
Disisi lain keterangan dari saksi baik warga Desa dan anggota BPD memperlihatkan bahwa pada masa pra-keberlakuan UU Desa, peran BPD begitu lemah dari sisi perencanaan pembangunan Desa. Pasca keberlakuan UU Desa, hemat penulis, Majelis Hakim dapat menggali keterangan yang spesifik terkait kewenangan BPD berdasar UU Desa antara lain sejauhmana BPD melaksanakan kewenangannya untuk (a) menyelenggarakan Musyawarah Desa yang benar-benar diawali pada tahap perencanaan pembangunan Desa; (b) mengajukan usulan rancangan Peraturan Desa terkait pembangunan Desa, APB Desa dan hal strategis lainnya; dan (c) pengawasan kinerja Kepala Desa.
Diskursus normativitas korupsi ADD menarik bila kedepan nanti disusun dalam suatu analisis yang lengkap. Tipologi Kepala Desa 'bandit'pada putusan yudisial diatas tentu bukanlah satu-satunya tipologi Kades. Masih banyak tipe Kepala Desa yang reformis, inspiratif bagi warga Desa, dan combatanuntuk melakukan terobosan pada skala demokrasi lokal. Berbagai studi yang dilakukan FPPD, IRE dan lembaga lainnya sudah banyak mengungkap kondisi sosiologis dan ekonomi politik yang menyelubungi Desa sebagai situs demokrasi lokal.
Institusi BPD dan inklusivitas warga Desa saatnya diperkuat dengan Dana Desa (DD). Agar Desa tidak melulu sibuk laporan administratif infrastruktur dan upah kerja, tapi beresiko terjadinya pidana pemalsuandan/atau membuat palsudokumen administratif beralas kekuasaan administratif.
Suatu misteri yang masih belum terjawab dalam opini ini adalah kasus Pamekasan. Mengapa aparatus pemerintahan dan yudisial bisa terlibat dalam korupsi ADD? Secara normatif, kita tunggu saja putusan peradilan atas kasus di Pamekasan itu sambil melakukan rasionalisasi atas Dana Desa Rawan Korupsi.
Lebih baik kita terbuka dan transparan untuk meneliti faktor-faktor kebijakan implementasi ADD di masa lalu yang rawan korupsi. Barulah menilai Dana Desa secara lebih fairdan punya mantra ampuh untuk mencegah korupsi Dana Desa.*
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Beginilah Modus Korupsi ADD, Bukan Korupsi Dana Desa", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/anomsuryaputra/5aae4a495e13731aa2011a53/beginilah-modus-korupsi-add-bukan-korupsi-dana-desa?page=all
Kreator: Anom Surya Putra
Komentar