Opini Terbaru
Genealogi Kemiskinan Ekstrem Foucaultian
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Rasionalitas kemiskinan dimaknai sebagai bentuk kontrol dan represi atas individu. Kebijakan publik seperti penanggulangan kemiskinan adalah model wacana (discourse) yang menyusun realitas kemiskinan di Indonesia.
Analisis kebijakan publik penanggulangan kemiskinan melibatkan eksplorasi tentang cara “wacana kebijakan penanggulangan kemiskinan” menyusun argumen yang membentuk kerangka kebijakan, yang didalamnya problem dan agenda kebijakan disusun.
Kelompok profesional, termasuk ilmuwan dan akademisi, direpresentasikan sebagai pencipta dan pendukung pengetahuan kebijakan yang memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan sosial, kebijakan publik maupun institusi kehidupan sehari-hari. Perkembangan “kemiskinan” dan "kemiskinan ekstrem" yang disajikan oleh kelompok profesional MDG’s, SDG's, SDG's Desa, BPS dan World Bank merupakan salah satu bentuk perkembangan pengetahuan kebijakan sebagai model kontrol politik terhadap individu.
Ketika pengetahuan (savoir) statistika kemiskinan yang detail tersedia mapan sejak tahun 1996 maka pengetahuan itu memperkuat kekuasaan negara (Orde Baru dan Pasca Orde Baru) dan mendefinisikan dalil baru tentang kemiskinan untuk proses politik. Kontrol melalui pengetahuan ini diperluas ke inti wilayah personal seperti ditampakkan melalui indikator Garis Kemiskinan yang merambah daya personal dalam pemenuhan makanan dan bukan makanan hingga konversi ke PPP (Purchasing Power Parity).
Kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan (savoir/pouvoir).[2] Tema kemiskinan dianalisis melalui kekuasaan (pouvoir), bukan pertama-tama melalui pembatasan atau larangan, tetapi melalui operasi pengetahuan kemiskinan sebagai landasannya.
Kaitan dengan kekuasaan, metode analisis Foucaultian terpilah dua dan saling berkelindan yaitu arkeologi[3] dan genealogi.[4] Arkeologi adalah proses kerja melalui arsip-arsip sejarah statistika (dan masyarakat lainnya) untuk menjelaskan pembentukan wacana-wacana kemiskinan dan peristiwa-peristiwa wacana kemiskinan, yang telah menghasilkan bidang-bidang pengetahuan dan pembentukan wacana kemiskinan dari berbagai masa/jaman.
Genealogi adalah proses menganalisa dan menyingkap hubungan-hubungan sejarah antara kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan. Genealogi pertama kali diangkat oleh Nietzsche dalam On the Genealogy of Morality untuk menolak fundasi moralitas kekuasaan dengan the will to power dan dilanjutkan oleh Foucault dengan pendekatan sejarah yang non konvensional.[5]
Pendekatan genealogi Michel Foucault difungsikan untuk menunjukkan kebenaran dibalik konsep dan indikator kemiskinan.[6] Kebijakan penanggulangan kemiskinan di kawasan perdesaan, misalnya, dianalisis dan disingkap hubungan-hubungan sejarahnya, utamanya dalam hal kebenaran atas konsepsi dan indikator kemiskinan dan kekuasaan yang memproduksi pengetahuan tentang kemiskinan itu.
Pengetahuan dan kebenaran tentang kemiskinan dihasilkan melalui perjuangan antar institusi-institusi dan dalam institusi-institusi (pelaksana program penanggulangan kemiskinan), bidang-bidang dan disiplin-disiplin (ilmu kebijakan; analisis kebijakan) lalu dinyatakan sebagai universalitas.
Contoh lain, fokus genealogi kemiskinan di wilayah perdesaan adalah masalah-masalah kekuasaan dan cara bagaimana kekuasaan menunjukkan pada tubuh subjek (orang/penduduk miskin) di kawasan perdesaan. Mekanisme metode genealogi lebih terkait dengan mekanisme-mekanisme kekuasaan non-diskursif yang mempertajam cara melihat dunia kemiskinan di kawasan perdesaan.
Setiap pengetahuan kebijakan penanggulangan kemiskinan terkait dengan obyek kekuasaan yaitu penduduk miskin. Genealogi ala Foucault menganalisa kemampuan pengetahuan kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam mendefinisikan realitas objek yakni penduduk di kawasan perdesaan.
Perubahan didalam konfigurasi pengetahuan kebijakan mendorong terjadinya reorganisasi realitas yang digambarkan. Misalnya, ketika ahli kemiskinan mendefinisikan konsepsi garis kemiskinan pada tahun 1996, maka konsepsi ini kemudian diterjemahkan melalui praktek-praktek baru, yakni disusunnya kebijakan Inpres Desa Tertinggal sampai dengan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang dibarengi dengan alokasi anggaran. Terjadi konstelasi sosial yang diwarnai kompetisi daerah.
Masing-masing daerah berkompetisi menunjukkan data desa-desa tertinggal yang terdapat penduduk miskin, kecamatan miskin, dan Desa-desa miskin agar tercipta alokasi anggaran untuk proyek penanggulangan kemiskinan. Pun, ketika ahli desentralisasi administrasi tahun 1999 memenangkan pertarungan terhadap desentralisasi politik, maka konsepsi desentralisasi administrasi diterjemahkan melalui praktek-praktek baru seperti kompetisi penyusunan visi/misi elit Kepala Daerah tentang program penanggulangan kemiskinan.
Perkembangan ilmu-ilmu kebijakan dengan klaim obyektivitasnya sebenarnya menyembunyikan ambisi akan kekuasaan. Melalui klaim obyektivitas itu, elit kepala daerah dan elit teknokrasi merasa mampu untuk menguasai manusia miskin di wilayah perdesaan. Seorang ahli kemiskinan, elit kepala daerah dan elit teknokrasi yang berhasil menurunkan angka kemiskinan, bukan berarti mereka memahami kemiskinan, tetapi sebenarnya karena mereka memiliki kekuasaan terhadap “penduduk miskin”. Pendekatan metode genealogi menunjukkan ilusi kenaifan ilmu-ilmu kebijakan dan analisis kebijakan tersebut.
Karya Foucault yang memberi inspirasi untuk metode genealogi kemiskinan adalah Surveiller et Punir.[7] Genealogi ala Foucault menganalisa bentuk-bentuk kekuasaan yang berlangsung dalam masyarakat miskin yang terdisiplinkan itu dan teknik-teknik kekuasaan “statistika kemiskinan" yang semakin menyempurnakan diri dengan bantuan ilmu ilmu kebijakan (policy science). Untuk mencapai tujuan dan sasarannya, kekuasaan menggunakan teknik dan mekanisme statistika kemiskinan sebagai teknologi kebijakan yang mendisiplinkan penduduk miskin.
Pendisiplinan melalui teknologi kebijakan ini dipahami pula sebagai salah satu teknologi kekuasaan masyarakat modern yang memanfaatkan norma. Norma dalam teknologi kekuasaan masyarakat modern berbeda dengan norma-norma hukum yang tercantum dalam aturan hukum positif. Norma dalam teknologi kekuasaan itu bersifat mengatur dan membatasi perilaku agar terbentuk individu penduduk miskin yang diinginkan oleh kekuasaan. Adapun sasaran pendisiplinan adalah tubuh orang miskin itu sendiri.
Teknologi kekuasaan norma yang mendisplinkan itu bersifat koreksi dan mendidik. Kebijakan publik yang punya fokus dan lokus pada pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan di daerah maupun desa menjelma menjadi ruang disiplin. Berbagai kebijakan publik derivatif penanggulangan kemiskinan, mungkin berupa bantuan infrastruktur atau bantuan langsung tunai, selain "berniat baik" membantu penduduk miskin sekaligus memroduksi individu (orang miskin) baru.
Kerangka metode genealogi kemiskinan dalam tulisan singkat ini silahkan pembaca tempatkan sebagai bagian dari analisis kebijakan yang bersifat makro terhadap praktek-praktek pendisiplinan penduduk miskin. Analis kebijakan yang menggunakan metode genealogi kemiskinan, misalnya disusun oleh Anne O’Connell (York University) dengan tema ras dan teknologi populasi (a genealogy of poverty: race and the technology of population).[8] Investigasi genealogis kemiskinan ini menggali historiografi kebijakan kesejahteraan sosial dari sejarah perbudakan rasial. Tubuh kaum miskin dan perempuan diperbudak oleh wacana kolonial, ideologi rasial, liberalisme dan kesemua praktik wacana itu masuk dalam pengetahuan tentang populasi. Hasil analisis genealogis ini relevan untuk mengadvokasi kaum miskin dan perempuan melalui formulasi kebijakan ekonomi baru, di tengah kekuasaan borjuis dan perluasan kekuasaan rezim.
Nah, kemiskinan ekstrem yang kini menjadi isu nasional, isu daerah dan isu Desa itu, bagaimana ketika dikupas dengan genealogi Foucault? Jawaban sementara, kebijakan penanggulangan kemiskinan ekstrem merupakan teknologi kekuasaan norma yang mengontrol individu yang miskin di daerah dan Desa, sekaligus memroduksi orang miskin baru di daerah dan Desa, melalui statistika kemiskinan ekstrem yang terus menerus diperbarui oleh elit kebijakan.*
Penulis: Anom Surya Putra.
[1] Parsons, Wayne. 2005. Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, terjemahan dari Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: Kencana Prenada Media, hal. 41, 55, 72, 154, 156.
[2] Haryatmoko, “Politik Kekuasaan, Tubuh dan Kepatuhan,” dalam Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, hal. 216-240.
[3] Michel Foucault, The Archaelogy of Knowledge and the Discourse on Language, terjemahan dari L’Archéologie du Savoir, United States of America: Tavistock Publications Limited, 1972.
[4] Michel Foucault, Surveiller et Punir : Naissance de la prison, Éditions Gallimard, 1975.
[5] Andrius Bielskis, “Power, History and Genealogy: Friedrich Nietzsche and Michel Foucault,” Problemos 2009, Iteikta 2008-12-20, ISSN 1392-1274, hal. 75-84. Andrius mengkritik bahwa pemaknaan the will tidak untuk kekuasaan (the will not to power) tetapi pada empati. Nietzsche dan Foucault sama-sama keliru, dunia sosial tak hanya melulu relasi-relasi kuasa tapi juga solidaritas manusiawi dan empati.
[6] Adaptasi dari Haryatmoko, op.cit., hal. 226-227.
[7] Michel Foucault, Surveiller et Punir, op.cit. Adaptasi terhadap gagasan Haryatmoko, op.cit.
[8] Anne O’Connell, “A Genealogy of Poverty: Race and the Technology of Population”, Critical Social Work, 2010 Vol. 11, No. 2.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar