Opini Terbaru
OPINI Kebijakan: Jalan-jalan di Basis Nahdliyin dan Marhaen, Lampu Giliran Hidup (2013)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Artikel ini ditulis pada masa Pemilu tahun 2014. Setelah penulis berkunjung ke wilayah perbatasan yang minim pasokan listrik. Selama perjalanan, penulis berpikir, siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih pada tahun 2014 waktu itu amatlah berat tugasnya. Salah satu tugas penting yang diemban oleh Jokowi-Jusuf Kalla ialah tersedianya pasokan tenaga listrik yang handal dan efisien di lingkungan rumah tangga dan perdesaan.
Agenda Elektrifikasi
Ancangan agenda nasional elektrifikasi rumah tangga dan perdesaan termaktub dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), khususnya bagian RPJMN Periode ke-3 (2015-2019). Sebagai gambaran ditingkat global, konsumsi listrik Indonesia (641 kwh/capita) masih jauh dibawah Malaysia (4.117) dan Thailand (2.243). Data ini menunjukkan Indonesia menghadapi kendala serius dalam memenuhi kapasitas elektrifikasi di rumah tangga, perdesaan dan apalagi industri.
Grafik 1. Konsumsi Listrik (kwh per capita) Sumber: World Bank, World Development Indicators (Faisal Basri; Seknas Jokowi, 13 Februari 2014) |
Di lain pihak mayoritas kehidupan nahdliyin dan marhaen berada di wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan di Indonesia dilingkupi tingkat kemiskinan makro yang lebih tinggi daripada wilayah perkotaan. Sedangkan dalam tingkat kemiskinan mikro, rumah tangga miskin (desil 1 versi TNP2K-Setwapres) juga sangat tinggi.
Apalagi ketersediaan pasokan tenaga listrik di wilayah perdesaan, tempat bermukim nahdliyin dan marhaen, juga terhitung minim. Oleh karenanya, agenda mendesak yang diemban oleh Jokowi-JK sebagai representasi marhaen dan nahdliyin ialah memperjuangkan elektrifikasi rumah tangga dan perdesaan di seluruh wilayah NKRI.
Tahun 2013 penulis mengunjungi wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di kecamatan Jagoi Babang dan kecamatan Siding, kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kehidupan masyarakat di perbatasan ini dapatlah kita sebut merepresentasikan masyarakat yang berdikari, seperti halnya prinsip-prinsip kehidupan marhaen dan nahdliyin. Usaha anyaman tikar dan perdagangan sayur di perbatasan mayoritas merupakan pola nafkah masyarakat disana. Pola nafkah yang produktif ini memerlukan dukungan sektor strategis yakni kelistrikan.
Penulis menginap di kecamatan Seluas, sekitar 1-2 kilometer dari Jagoi Babang-Siding, dan mengalami listrik yang “giliran hidup” (bukan giliran padam). Anda bisa bayangkan bagaimana “beranda depan” Indonesia ini masih mengalami “giliran lampu hidup”. Akibatnya, produktivitas warga warga negara Indonesia mengalami disparitas dengan warga negara Malaysia yang notabene masih bersaudara (suku Dayak).
Dalam konteks demikian perubahan yang fundamental bukanlah ditempuh melalui agenda teknokrasi tetapi agenda politik-kepemimpinan yang lebih mampu mengemban prinsip tashharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuuthun bil mashlahah. Sosok pemimpin pilihan yang mencurahkan batin, jiwa, pikiran dan tenaganya selama siang-malam untuk kemaslahatan masyarakat tanpa membedakan status agama, gender dan sosial-ekonomi.
Sekalipun prinsip-prinsip ini bersifat hipotetik-ekstrapolasi, alasan Jokowi memilih Jusuf Kalla sebagai pendampingnya karena kapasitas beliau untuk bekerja cepat dan siang malam, menandakan suatu argumentasi yang berdekatan dengan prinsip “fikih politik” tashharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuuthun bil mashlahah.
Pemimpin Pilihan
Kehidupan sosial-ekonomi nahdliyin dan marhaen mempunyai kesebangunan dalam memilih pemimpin. Kedua komunitas ini cenderung menimbang pemimpin nasional dalam konteks akhdu bil ahsan yakni mengambil atau memilih yang terbaik. Jokowi dan Jusuf Kalla patut dipertimbangkan sebagai pemimpin terbaik karena kemampuannya berbuat santun (mikul dhuwur mendhem jero; Jawa) dan budaya malu (sirri; Bugis).
Sosok pemimpin yang santun dan punya budaya malu akan berpotensi untuk mengambil keputusan yang tegas terhadap kebijakan “listrik perdesaan” yang bermanfaat bagi publik (maslahah bil mursalah). Salah besar jika prinsip-prinsip nusantara ini sekedar dipahami dalam konteks politik-modernis bahwa seorang pemimpin akan dikendalikan oleh pemimpin yang lain.
Prinsip kepemimpinan di nusantara haruslah mampu menjaga keseimbangan dunia (jagad cilik lan jagad gedhe). Serat Dewaruci yang disukai Gus Dur sebenarnya menunjukkan bahwa pemimpin yang pemberani sekaliber Bimasena pada akhirnya harus menempuh jalan tasawuf yakni mengenali kondisi diri (sedulur papat kalima pancer) agar kepemimpinannya bermanfaat bagi dunia. Seorang pemimpin model demikian akan mudah pula menjalin komunikasi sosiologis dalam konteks manunggaling kawula lan gusti.
Kemitraan Elektrifikasi
Pewujudan infrastruktur listrik perdesaan 100 persen oleh Jokowi-JK nanti memerlukan mitra kerja yang seirama yakni model Dahlan Iskan. Keberanian Dahlan Iskan dalam pengambilan keputusan terhadap infrastruktur listrik di Kalimantan patut dilanjutkan dalam implementasi kebijakan elektrifikasi yang berkelanjutan oleh Jokowi-JK.
Kebijakan elektrifikasi perdesaan 100% di seluruh wilayah NKRI amatlah besar godaannya, baik korupsi, kolusi maupun transaksi perburuan rente (rent-seeking). Formulasi kebijakan elektrifikasi haruslah diputuskan oleh sosok semacam Jokowi-JK dan implementasi yang tegas ala Dahlan Iskan berdasar prinsip tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan sekitar (ifsad fi al-ardl).
Intervensi kebijakan elektrifikasi semata-mata di-tashharruf-kan kepada kalangan marhaen dan nahdliyin yang hendak memperoleh hak-hak hidup yang lebih layak, setelah sekian lama didera kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang tinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Dwisula Presiden dan Wakil Presiden ialah tombak bermata dua yang menyatu dengan masyarakat nahdliyin dan marhaen.
Tanpa konfigurasi nahdliyin-marhaen sulit dibayangkan bagaimana model kepemimpinan transformatif di masa depan nanti.***
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar