Opini Terbaru
OPINI Kebijakan: Kisah Sally dan Wong, Bias Gender dalam Perubahan Sistem Jam Kerja
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pekerja merasa kecewa dengan sistem jam kerja yang baru karena mereka harus datang lebih awal dan pulang lebih lambat.
Keluhan pekerja bermunculan dalam gosip yang membandingkan Sally (manajer baru; perempuan) dengan Wong (manajer lama; laki-laki). Suatu keluhan yang berada dalam persepsi bias gender.
Sally yang perempuan diharapkan lebih mengerti kondisi pekerja dibandingkan Wong yang laki-laki. Wong dipersepsikan sebagai manajer (laki-laki) yang selalu menyempatkan diri menyapa pekerja di lantai pabrik, penuh senyum dan gurauan yang menyenangkan. Perilaku seperti ini dipersepsikan oleh pekerja sebagai sikap yang seharusnya melekat pada perempuan.
Pertama, teori motivasi Robbins-Judge[1] relevan untuk diterapkan dalam fenomena persepsi bias gender. Sally dipersepsikan oleh pekerja sebagai manajer yang bermasalah karena tidak mengakui perbedaan individual diantara pekerja. Setiap pekerja memiliki kebutuhan yang berbeda-beda seperti kebiasaan menjemput anak dan komitmen keluarga lainnya. Kebutuhan seperti ini diharapkan dapat dipenuhi oleh Sally sebagai manajer berstatus gender "perempuan".
Pekerja mempunyai masalah ketidaknyamanan dalam bekerja karena pekerja dilingkupi oleh stereotype tentang perempuan yang mampu mengatur organisasi lebih baik dengan pendekatan yang menghargai perbedaan individual. Masalah ini ditambah dengan faktor dominasi perempuan pada lapis pekerja yang membangun stereotype bahwa manajer perempuan lebih baik ketimbang manajer laki-laki.
Sally nyaris tidak menghabiskan waktu untuk memahami apa yang penting bagi pekerja. Perubahan sistem jam kerja yang diputuskan oleh Sally tidak sejalan dengan kebutuhan individual pekerja, sehingga potensi motivasi pekerja kian menurun (dalam durasi pekerjaan harian yang berlangsung lebih lama dibandingkan sistem sebelumnya).
Pekerja tidak punya pilihan lain menghadapi sistem jam kerja yang diterapkan oleh Sally. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan tentang perubahan sistem jam kerja tidak didasarkan pada partisipasi pekerja yang mayoritas perempuan. Ketidakterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan perubahan jam kerja merupakan faktor penyebab turunnya motivasi pekerja dan berakibat pada sikap pekerja untuk menentang keputusan Sally dalam waktu singkat.
Sally berencana untuk meningkatkan produktivitas pekerja dengan mengatur kembali jam kerja dilingkungan organisasi yang ia tangani. Hasilnya ialah keluaran produk mencapai 20 persen setelah pemberlakuan jam kerja baru.
Sally merasa sudah menghabiskan waktu hanya untuk bekerja, terutama ludesnya waktu hingga larut malam dan kerapkali terlibat dalam rapat maraton dengan pimpinan perusahaan. Sally tidak punya anak dan keluarga (single). Ia menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja sehingga memiliki waktu sedikit untuk kehidupan sosialnya.
Hal ini merupakan problem bagi Sally. Pengalamannya di Asia menunjukkan adanya penghargaan atas pekerjaan yang ia lakukan meskipun dirinya sendiri kehilangan kesempatan untuk rekreasi (jalan-jalan). Sebaliknya, sekembali dari Asia dan bekerja di perusahaan "X" (Australia), pengorbanan waktunya untuk bekerja hingga larut malam itu tidak memperoleh dukungan dari pekerja yang mayoritas perempuan.
Kedua, teori kepribadian dan nilai (GLOBE) dari Robbins-Judge[2] relevan juga diterapkan pada fenomena ini. Manajemen organisasi perusahaan "X" dapat mengatasi hal tersebut dengan meminta Sally melakukan riset lintas kultural mengenai kepemimpinan dan kultur pekerja perusahaan "X" dengan mengidentifikasi dimensi dalam kultur pekerjanya:
- dimensi ketegasan yang mengukur upaya pekerja dalam mendorong individu pekerja untuk bersikap tegar, tegas, atau kompetitif dibandingkan rendah hati dan lembut (yang direpresentasikan oleh sikap Wong sebagai atasan sebelumnya);
- dimensi masa depan yang mengukur upaya pekerja perempuan dalam mendorong perilaku yang berorientasi ke depan dalam bentuk peningkatan kinerja (yang terbukti mencapai peningkatan kinerja hingga 20 persen);
- dimensi perbedaan gender yang mengukur upaya pekerja dalam kesetaraan gender guna mengatasi stereotype: manajer perempuan (Sally) ternyata lebih buruk ketimbang manajer laki-laki (Wong).
Penyusunan indeks kepribadian dan nilai lintas-budaya dalam lingkup perusahaan dapat menajamkan manajemen lintas-budaya guna menuntaskan persoalan: (a) stereotype perempuan yang lebih lembut ketimbang laki-laki; (b) kurangnya penghargaan pekerja terhadap kinerja Sally yang menghabiskan waktu kerja hingga larut malam; (c) perbedaan persepsi antara Sally yang tidak punya waktu untuk kehidupan sosial, introvert dan intra-personal, dengan persepsi pekerja terhadap Sally yang dianggap kurang partisipatif.
Sally memutuskan untuk meninggalkan perusahaan "X" dan mendirikan jasa konsultasi bisnis dengan pendekatan manajemen lintas-budaya. Belajar dari pengalaman protes pekerja atas gaya kepemimpinannya, disain pendekatan manajemen lintas-budaya itu mengambil objek berupa struktur yang membentuk perilaku pekerja. Menggunakan teori perilaku kelompok dari Robbins-Judge[3], Sally dapat berkonsentrasi pada kekohesifan kelompok lintas-budaya.
Sally akhirnya memberikan rekomendasi bahwa manajer dalam kultur individualis diarahkan bekerja lebih keras untuk meningkatkan kekohesifan tim. Cara untuk melakukannya adalah memberikan tugas-tugas yang lebih menantang kepada tim pekerja individualis dan memberikan lebih banyak kebebasan untuk mengatur pekerjaannya masing-masing.
Sebaliknya pada tim pekerja kolektivis yang cenderung bekerja kolektif sebagai kelompok. Kebutuhan tim pekerja kolektivis untuk "meningkatkan kerjasama tim" ternyata lebih sedikit. Kelompok ini diberikan otonomi yang bertingkat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, manajemen lintas-kultur tidak kehilangan konteks kebudayaan yang melekat pada pengetahuan dan pengalaman pekerja itu sendiri.
Perusahaan "X" pada dasarnya mempunyai barisan pekerja yang mayoritas perempuan dan lapis manajemen yang mayoritas laki-laki. Perubahan di lapis manajemen dari laki-laki ke perempuan telah membangkitkan gender stereotype sebagai masalah baru dalam pengaturan sistem kerja di perusahaan. Pekerja perempuan yang selama ini didominasi oleh manajemen laki-laki dengan kepribadian inter-personal, tidak dapat menerima kepribadian Sally yang intra-personal, introvert, tegas, dan tegar, sehingga dipersepsikan oleh pekerja perempuan sebagai manajer “maskulin” dan gagal memenuhi keinginan pekerja perempuan.
Struktur kekohesifan kelompok memerlukan pendekatan yang partisipatif guna mendekatkan ekspektasi pekerja perempuan dengan kapasitas visioner-efisiensi ekonomis dari manajer perempuan. Pendekatan manajemen lintas-budaya cenderung kurang tepat diterapkan didalam perusahaan "X" karena pada lapis pekerja perempuan cenderung berkultur individualis dan homogen, sehingga tidak mempunyai ruang bagi peningkatan kerjasama tim.
Kecuali, perusahaan "X" konsisten sebagai perusahaan yang go public dan menerima secara terbuka pekerja-pekerja dengan persentase imbang antara background kultur individualis dan kultur kolektivistik. Peran laki-laki dan peran perempuan selaku manajer yang dipersepsikan secara stereotype itu perlahan-lahan terkikis oleh kompetisi berbasis gender mainstreaming.*
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar