Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

OPINI SASTRA: SAJAK Mahrus Ali (NU Lamongan), Kemenangan Desa di Atas Kertas

Mahrus Ali, seorang penyair yang hidup dalam gagasan atas diri dan lingkungannya sendiri, menaruh empati terhadap gaya penulisan yang penulis sebut sebagai prosa liris. Antologi puisinya berjudul "Monolog Rindu". Meletupkan rangkaian puisi yang mengungkapkan perasaannya ketimbang luapan analitis atas peristiwa.

Dalam puisi "Sehat Semangat" ada Sang Aku yang meluapkan perasaan rindunya tepat pada hari natal, 25 Desember 2015 lalu. Rindu untuk meluapkan rasa atas Desa sebagai tempat untuk kembali "sehat semangat". Mungkin kehidupan Mahrus Ali sebagai petani dan petambak, sekaligus pegiat Nusantara Mengaji di Lamongan, Jawa Timur, membuatnya berani menyelipkan 7 (tujuh) larik yang mengungkapkan keinginan sang Aku kepada pembaca untuk kembali ke Desa.

Dari larik pertama sampai dengan ketiga kita (pembaca) mendapatkan gambaran sang Aku menuturkan angan-angannya yang terjamin hidupnya di Desa: "Tak usah bayar ratusan juta untuk sekedar mencari, makan dan bahagia. Cukup pulang kedesa." Penulis hanya menambahkan tanda baca seperlunya untuk memperoleh gambaran sang Aku.

Larik-larik selanjutnya berisi peristiwa yang membuat pembaca curiga. Mengapa sang Aku tak susah membayar hutang tetapi ia mencurahkan suatu peristiwa "bayang-bayang KPK"? Kita menaruh curiga bahwa sang Aku sedang bertutur kepada seseorang yang selangkah lagi memasuki arena pidana. Apabila larik pertama sampai dengan keenam dibandingkan dengan larik ketujuh, tampaklah larik ketujuh membuka diri pada calon terpidana itu. Sang Aku meluapkan rasa khawatirnya: "Cukup pulang kedesa".

Mari kita baca dalam hati sambil menggerakkan luapan rasa kita pada puisi Mahrus Ali yang dikutip lengkap berikut ini.

SEHAT SEMANGAT

Mahrus Ali

Tak usah bayar ratusan juta untuk sekadar mencari

makan dan bahagia.

Cukup pulang kedesa

Bertani dan silaturrahim

Hidup bahagia penuh barokah

Tanpa susah membayar hutang

Tanpa bayang bayang KPK karna apalah apalah......

(25 Desember 2015)

Disini terletak ambiguitas puisi "Sehat Semangat" yang secara perlahan-lahan mengungkapkan luapan perasaannya atas Desa di masa kini. Desa bukan lagi hijau dan teduh layaknya alam yang apa adanya. Pun begitu pula Desa  ditulis dengan metafor "hijaulah hijau" pada sajak "Kebangkitan Desa" pada bulan Oktober 2016. Awalnya hijau berpemandangan alami tetapi tersapu hiruk pikuk bulan merdeka. Frasa "bulan merdeka" bisa punya banyak arti: bulan kemerdekaan pada bulan Agustus yang dirayakan seluruh warga NKRI, atau bulan purnama yang menunjukkan betapa merdekanya sang bulan di malam hari. Kedua makna "bulan merdeka" itu sama-sama diberi muatan kesibukan manusia berinteraksi dengan angan-angannya, kesibukan warga Desa dengan pola penghidupannya, atau entah kesibukan pemerintah Desa mengurus seluk-beluk berjibun laporan perencanaan dan keuangan Desanya.

KEBANGKITAN DESA

Mahrus Ali

Desa adalah kemenangan

Desa adalah kesenangan

Desa adala kenangan

Dari desa hilangkan kesenjangan.....

Hijaulah hijau...

Sejuklah teduh....

Sepagi ini Desaku hijau berbaur bersama hiruk pikuknya

bulan merdeka...

Menang dan menang.....

(9 Oktober 2016)

Kita mendapat gambaran tentang semesta Desa yang hiruk pikuk ketimbang alam Desa yang apa adanya. Sang Aku dalam puisi "Kebangkitan Desa" mencipta metafor "bulan merdeka..., Menang dan menang....." Lirik itu pada dasarnya mengungkap konflik batin manusia di Desa. Yang salah satu sumbernya adalah hubungan antara manusia, alam, Desa, dan hiruk pikuk masalah kerinduan, cinta, kekecewaan, banyak hutang, banyak uang, dan putus harapan, rindu akan kemenangan, dan lainnya.

Sajak "Sehat Semangat" dan "Kebangkitan Desa" merupakan salah satu contoh, ada masalah dalam hubungan antara "Sang Aku", "Desa", dan "warganya". Namun karena ada kata "Menang" maka hubungan yang serba-galau itu tidak mesti ada antara Desa dan warganya; termasuk hubungan galau antara sang Aku dengan pembaca puisi ini yang diam-diam telah melantunkan dalam suara lirih.

Selain sajak dalam buku Monolog Rindu, Mahrus Ali juga pernah menulis sajak "Kembali ke Desa". Anda bisa saksikan pada video ini. Sajak "Kembali ke Desa" dibacakan oleh salah seorang dosen sastra dari Universitas Gunadarma. Mungkin, Monolog Rindu yang sebagian sajaknya mengekspresikan tentang Desa, terhubung dengan sajak "Kembali ke Desa" ini. Selamat menonton....

Penulis: Anom Surya Putra


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana