Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Bayu Budiandrian: Pembacaan Buku Daniel Tanuro, "Green Capitalism: Why it can’t Work"

Daniel Tanuro adalah seorang Marxist sekaligus seorang Ecosocialist. Tanuro adalah tokoh yang sama yang pernah mempublikasikan tulisan berjudul “21th Century Socialist must be eco-socialist”. 

Dalam bukunya kali ini, Green Capitalism: Why it can’t work (2010) Tanuro memberikan perhatian yang lebih serius terhadap diskursus tentang krisis iklim yang menurutnya selama ini masih dipenuhi oleh diskursus antroposentrisme. 

Baginya, akan selalu ada kebutuntuan yang tak terelakan pada berbagai perdebatan tentang kontradiksi antara hubungan pembangunan manusia dan perubahan lingkungan. Diskursus developmentalism dan environmentalism yang terus meluas dan tak berkesudahan. Terkait hal tersebut, Tanuro membahasnya secara khusus pada chapter “A False Consciousness”. Baginya seluruh diskursus gagal atau ragu-ragu atau memang tidak mau secara serius membedah permasalahan krisis iklim. Hal itu disampaikan Tanuro sebagai berikut:

The increase in temperature we are experiencing is primarily due to the combustion of fossil fuels during the two centuries since the Industrial Revolution. The cause is therefore not ‘human agency’, nor humanity in general but particular type of historically and socially determined human activity”. 

Tanuro juga menyoroti kelembagaan internasional seperti IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang tidak membawa pengaruh signifikan kepada perbaikan kondisi lingkungan. Selain itu, ia juga menolak ide dari para penganut konsep “de-grwoth” dan menkritisi konsep “Green Economy” sebagai sebuah “akal-akalan” yang hanya bertujuan untuk memprivatisasi lingkungan secara lebih sistematik, sehingga mereka hanya cukup membayar “jasa lingkungan” saja tanpa harus ikut bertanggung jawab. 

Hal tersebut merupakan agenda Neo Liberal yang mana kapitalis besar pemilik sumberdaya agar dapat dengan mudah untuk memastikan pengelolaan manajemen SDA yang lebih proper dan menguntungkan. Tanuro menjelaskannya pada bagian awal buku:

“Merujuk pada agenda pemerintah neolib dan korporasi besar, pasar ekonomi dapat menyelesaikan semua permasalahan. Solusinya bagi mereka, bukan pada memperlambat mesin atau laju ekonomi tetapi justru dengan meningkatkannya. Dalam rangka pengurangan emisi karbon pada tingkat proporsi yang bisa dikendalikan, semua yang dibutuhkan adalah dengan menempatkan harga yang tinggi pada karbon”. 

Bagi Tanuro permasalahan krisis ekologi adalah permasalahan yang bersifat struktural dan dengan demikian, solusinya sangat jauh dari sebatas perkembangan dan pemutakhiran teknologi semata. “Environmental problem are now inseparable from social problem”. 

Untuk itu, alternatif yang diperlukan tidak sebatas penyelesaian pada ranah politik dalam terminologi yang dikenal saat ini. Kita juga harus menentukan jenis masyarakat yang kita inginkan. 

Sekilas apa yang ditawarkan oleh Tanuro, mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Bookchin, tetapi dengan meilhat lebih jauh apa yang ditawarkan Tanuro dalam konsep Ecosicialist-nya maka akan dapat terlihat letak persimpangan yang membedakan antara Ecosocialist-Marxist dengan Social Ecology-Boockhin. 

Ecosocialism versi Tanuro (2010) secara eksplisit menawarkan solusi rasional dengan mengkombinasikan empat elemen antara lain:

  • Memenuhi kebutuhan pokok masyarakat
  • Mengurangi produksi secara global dengan mengurangi waktu kerja per minggu dan mengeliminasi produksi yang tidak perlu dan barang-barang yang berbahaya. Mengurangi penggunaan jumlah transportasi yang berimplikasi pada relokasi produksi
  • Secara radikal meningkatkan efisiensi energy dan bertransisi ke penggunaan energy terbarukan serta pengurangan ongkos produksi.
  • Pembentukan kondisi politik dan kebudayaan yang lebih bertanggungjawab secara kolektif terhadap pola produksi dan konsumsi melalui proses DEMOKRASI (pada pengertian politik yang lebih luas).

Nah, pembaca melihat lebih jauh perbedaan visi antara Ecosocialism-Marxist dengan Social Ecology-Anarchist bisa mengunjungi tulisan saya sebelumnya di situs Institut Ekologi Radikal.* 


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)