Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

Profesi Mediator Desa

Mediator Desa merupakan salah satu rintisan profesi baru yang memadukan Kewenangan Desa dan proses pembelajaran hukum mediasi. Pendidikan, pembelajaran dan pelatihan profesi Mediator Desa memberikan materi dasar dan terapan mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi berbasis kewenangan Desa (kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa dan kewenangan penugasan dari pemerintah supra Desa kepada Desa mengenai mediasi).

PROFESI MEDIATOR DESA

~ Anom Surya Putra ~

(Pengawas Asosiasi Mediator Desa)

Pendidikan profesi Mediator Desa potensial untuk berkembang menjadi materi pendidikan yang lebih spesifik, terwadahi dalam perkumpulan Asosiasi Mediator Desa, dan secara bertahap berpeluang mengikuti proses standarisasi nasional melalui lembaga sertifikasi profesi.

ANOM SURYA PUTRA

Artikel ini merupakan pengantar untuk membahas paradigma hukum Mediasi Desa dan peluang Mediator Desa. Pembahasan reflektif disajikan sebagai basis pengembangan institusi Mediasi Desa pada skala lokal Desa maupun institusi Mediasi Desa yang diemban oleh organisasi/asosiasi profesi Mediator Desa. Segala gagasan Mediasi Desa dalam artikel yang dirancang untuk menjadi buku mediator Desa ini terbuka untuk diadaptasi bagi pembaca yang berpikir dan bertindak dialektis yakni Kewenangan Desa (sebagai tesis), Mediasi (sebagai anti-tesis) dan Mediasi Desa sebagai sintesis.  


A. Paradigma Hukum Mediasi

Profesi Mediator Desa terbuka bagi semua kalangan yang berlatarbelakang beragam ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme hukum kurang relevan dijadikan sebagai fundasi teoritis dan praktis bagi Mediator Desa. Positivisme hukum cenderung membincang cara berhukum harus diawali dengan dunia aturan (Bruggink, 2015) sehingga kurang relevan bagi dinamika mediasi berbasis kewenangan Desa yang lebih sarat dengan muatan tradisi, lokalitas, adat dan lainnya.

Dalam mediasi yang positivistik, pembahasan mediasi diawali dengan diskursus kaidah hukum perilaku (larangan, bolehan, kewajiban, dan perintah), kaidah kewenangan mediator, dan prosedur mediasi berdasarkan aturan hukum mengenai mediasi. Diskursus positivisme hukum mediasi hanya bisa dipahami bagi sarjana hukum dan profesi hukum yang telah sekian lama berjibaku dengan diskursus hukum normatif, namun sulit dimengerti oleh masyarakat luas yang tidak mempelajari Ilmu Hukum Doktrinal.

Titik berdiri diskursus mediasi dalam buku ini berada dalam pendekatan hukum dan demokrasi deliberatif yang dikenalkan oleh Jürgen Habermas (1996), Mathieu Deflem (2013) dan Budi Hardiman (2009). Ketiganya telah menghadirkan penghampiran diskursus hukum yang berawal dari diskursus praktis. Diskursus praktis dimengerti sebagai percakapan-percakapan hukum dalam dunia kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Desa yang berpemerintahan dan organisasi pemerintahan yang bermasyarakat (self-governing community dan local self-government). Percakapan-percakapan hukum yang bersifat apa adanya (common sense) di Desa, terutama berkaitan dengan konflik di Desa, selanjutnya dicandra melalui rasionalitas-komunikatif dalam suatu ruang publik yang bebas dan otonom.

Untuk memudahkan pemahaman tentang paradigma hukum Mediasi Desa, pembaca bersandar pada 3 (tiga) tipe diskursus hukum sebagai cara pikir yaitu: 

  • diskursus hukum sebagai institusi, 
  • diskursus hukum sebagai sistem, dan 
  • diskursus hukum sebagai medium integrasi sosial.  

B. Mediasi dalam Diskursus Hukum sebagai Institusi

Diskursus hukum sebagai institusi dimengerti sebagai hukum yang terbentuk dan hadir dalam diskursus praktis masyarakat. Dalam dunia kehidupan masyarakat sehari-hari tersebut hukum bertumbuh-kembang sesuai kultur. Mediasi Desa muncul dari kultur hukum yang disebut dalam konteks diskursus Desa yaitu Berdesa. Desa dipandang sebagai organisasi masyarakat berpemerintahan dan organisasi pemerintahan yang bermasyarakat (Eko, 2015). Desa berhak, berkewajiban dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan perselisihan dengan cara Desa.

Dalam tradisi Desa di Jawa terdapat adagium Desa Mawa Cara, Negara  Mawa Tata yang merupakan versi bahasa sehari-hari dari naskah kuno Nitisruti tentang pembedaan cara memerintah dari Desa dan Praja (Putra, 2020). Desa disebut terlebih dahulu sebagai subjek karena Desa terlebih dahulu hadir sebelum eksistensi negara. Kajian lebih lengkap tentang hal ini dapat pula dijumpai dalam pembahasan Clifford Geertz tentang Negara Teater yang menunjukkan Desa di Bali lebih tua daripada negara dan negara itu sendiri dipahami secara sosiologis dalam suatu panggung teater daripada konstruksi hukum normatif tentang negara.

Pada penghampiran kultur dan penelitian etnografi Minangkabau, Desa sejak awal sudah mengenalkan aspek musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian sengketa, meliputi lembaga penyelesai sengketa pusako, perselisihan fisik dan lainnya (Zakaria, 2018).

Musyawarah mufakat menjadi inti dari tindakan Mediasi Desa. Para pihak yang bersengketa difasilitasi oleh tetua adat, kepala Desa, organ kolektif-komunitarian di Desa dan peradilan Desa (Kartohadikoesoemo,1984). Bahkan sudah dua ribuan tahun lalu Desa-desa kuno di Nusantara baik Vanua, Wanua dan Banua di era Mataram Kuno, Bali kuno dan Sriwijaya, sampai dengan era Majapahit (Thani, dhapur, dan seterusnya) sudah mengenalkan aspek kekuatan permusyawaratan. Tak heran pula bila Montesquieu (1995) menciptakan teoritisasi Trias Politica untuk melawan despotisme monarki setelah melihat kultur “peradilan” yang berujung damai pada Desa di China, Inggris, Jerman kuno, Prancis kuno dan seterusnya.

Pendek kata, Mediasi Desa berawal dari perselisihan yang berhubungan dengan praksis Kewenangan Desa dan diselesaikan melalui peran Mediator Desa yang netral. Seorang mediator di Desa dalam konteks sekarang antara lain diperankan oleh organisasi sidang perdamaian di Desa Adat, aparatus Desa seperti BPD dan Pemerintah Desa, dan bahkan mungkin jajaran kepengurusan BUM DESA, atau Balai Mediasi Desa yang dibentuk berdasarkan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Kesepakatan mediasi dalam proses Mediasi Desa dalam tipe diskursus hukum sebagai institusi, mungkin selama ini tercipta secara lisan dan tidak mengandalkan legitimasi hukum yang sifatnya tertulis. Tetapi kesepakatan mediasi tersebut dilegitimasikan oleh kekuatan-kekuatan sosial di Desa. 


C. Mediasi dalam Diskursus Hukum sebagai Sistem

Diskursus hukum sebagai sistem dimengerti sebagai hukum yang berada dalam sistem kekuasaan negara (kekuasaan parlemen, kekuasaan administrasi pemerintahan dan kekuasaan yudisial) dan pasar (modal; uang). Dalam konteks hukum sebagai sistem Mediasi Desa cenderung dibahas akademis-normatif. Mediasi Desa dibahas berdasarkan diskursus normatif dalam peraturan kepolisan, peraturan kejaksaan, undang-undang arbitrase, dan peraturan Mahkamah Agung.

Mediasi dalam Sistem Hukum singkat kata merupakan mediasi yang didasari otoritas negara dan kekuasaan pasar. Misalnya mediator pada kasus perceraian di peradilan. Hakim berwenang menunjuk seorang mediator di pengadilan agar mengupayakan para pihak yang sedang bersengketa atau saling gugat cerai berakhir damai. Apabila hasil mediasi gagal barulah dilanjutkan dalam proses sidang litigasi sampai tercapainya putusan peradilan yang memenangkan salah satu pihak. Ditambahkan pula terdapat Akta Perdamaian yang merupakan suatu kesepakatan perdamaian yang dilegalkan oleh kekuasaan peradilan --setelah menempuh prosedur gugatan terlebih dahulu.

Mediasi Desa dalam perspektif hukum sebagai sistem mengandung kelemahan: 

  1. seseorang yang tidak punya legitimasi atau legalitas sebagai seorang mediator, advokat atau hakim mediator, cenderung tidak bisa melakukan apa-apa, ia mungkin berperan sebagai asisten mediator, asisten dari advokat yang berperan sebagai mediator, dan tidak mungkin berperan sebagai hakim mediator.
  2. dalam kondisi lain, apabila mediator merangkap sebagai advokat, ia mesti pindah posisi dari advokat menjadi seorang mediator dan selincah mungkin terhindar dari konflik kepentingan dengan para pihak. 
  3. perundingan mediasi di peradilan cenderung tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, terkesan formalitas sebelum memasuki tahap litigasi berikutnya, dan terdapat biaya yang dikeluarkan klien dengan mengikuti nilai uang dari jasa layanan hukum litigasi.
  4. rasionalitas yang digunakan dalam mediasi (dalam tipe diskursus hukum sebagai sistem) mengandalkan kontestasi logika. Kontestasi logika hukum yang ada misalnya cara mediator menggunakan logika abduks atau argumentasi berbasis kasus dan norma hukum, sehingga terjadilah negosiasi yang sangat detail. Para pihak yang ditemani oleh advokat tidak bisa mengungkapkan secara bebas aspek psikologis seperti harapan, kecemasan, trauma dan seterusnya. Mediasi dalam diskursus hukum sebagai sistem berpotensi mengalami situasi ketidakbebasan seseorang untuk mengungkapkan sesuatu, logika yang berciri formal, dan dipersepsikan selalu menghadapi jalan buntu (deadlock).

Mediasi dalam diskursus hukum sebagai sistem tak bisa dipungkiri telah membuka legalitas tindakan mediator dari aparatus kejaksaan, kepolisian dan sebagainya melalui Restorative Justice. Contoh kasus misalnya seorang Kepala Desa dituduh memotong bantuan langsung tunai Dana Desa dengan alasan administrasi dan tidak ada unsur pemaksaan kepada warga Desa. Pada waktu mediasi ternyata masalah itu cukup diselesaikan dengan kesepakatan mediasi bahwa Kepala Desa mengembalikan pemotongan uang tersebut kepada warga Desa yang berhak dan membutuhkannya. Kepala Desa tidak lagi perlu diajukan ke proses persidangan atau litigasi. Masalah dinyatakan selesai setelah tercapainya kesepakatan mediasi yang disepakati oleh para pihak. Kepolisian dan Kejaksaan bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan cara prosedur hukum yang ditaati atau sudah ditentukan dalam berbagai peraturan kepolisian dan Kejaksaan mengenai Restorative Justice, dan bila perlu masalah di Desa itu berujung pada penghentian penyelidikan, penghentian penyidikan, atau istilah lain.

Pada diskursus hukum Mediasi Desa sebagai sistem, meskipun terjadi upaya damai, tetaplah terjadi negosiasi antara struktur hukum (kepolisian, kejaksaan, dan institusi peradilan) perihal perbuatan hukum yang bisa diselesaikan melalui Restorative Justice. Mediator pada konteks demikian tetaplah berada pada otoritas struktur hukum yudisial tersebut dan warga Desa tidak berperan sebagai mediator.


D. Mediasi dalam Diskursus Hukum sebagai Medium Integrasi Sosial

Diskursus hukum sebagai medium integrasi sosial dimengerti sebagai hukum yang menjembatani hukum sebagai institusi dan hukum dalam konteks Sistem.

Sebagaimana diungkap di muka, Mediasi Desa dalam diskursus hukum sebagai institusi mengandaikan Desa dapat menyelesaikan perselisihan pada skala lokal Desa berbasis Kewenangan Desa (terutama: kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal skala Desa). Desa merupakan sumber pengetahuan alternatif penyelesaian sengketa secara utuh sebelum terkategorisasi pada tindakan mediasi, konsiliasi, ajudikasi, dan arbitrase. Misalnya, Desa menyelenggarakan layanan Balai Mediasi Desa, Lembaga Mediasi Desa atau organ mediasi pada Desa Adat yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa dan BPD serta organ Desa Adat. Warga Desa yang mengalami masalah atau perselisihan bisa mengajukan permohonan agar disediakan mediator sesuai kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan secara damai.

Di lain pihak Mediasi Desa dalam diskursus hukum sebagai sistem mencakup peran hakim yang menunjuk mediator di peradilan dalam kasus perdata, peran kepolisian dan kejaksaan yang berperan sebagai mediator melalui diskursus Restorative Justice, atau pola kerja mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah supra-Desa berdasarkan kewenangan penugasan dari pemerintah supra-Desa.

Terjadilah ketegangan antara Mediasi Desa yang tumbuh dari hukum sebagai institusi dengan Mediasi Desa yang tumbuh dari diskursus hukum sebagai sistem.

Diskursus hukum sebagai Medium Integrasi Sosial hadir diantara keduanya bahwa Mediasi Desa dilakukan oleh aktor-aktor Mediator Desa yang memahami kewenangan Desa secara utuh yakni kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa dan kewenangan penugasan dari pemerintah supra-Desa. Ilustrasi kasus berikut ini menarik dibahas dalam konteks hukum Mediasi Desa sebagai medium integrasi sosial:

  • pada masa pasca Pemilihan Kepala Desa, seorang Kepala Desa terpilih ingin mengganti dan melantik orang-orang baru yang selama ini menjadi pendukungnya sebagai perangkat Desa. 

  • para perangkat Desa dan sebagian warga Desa menolak tindakan Kepala Desa tersebut karena tindakannya dinilai arogan. 

  • konflik meluas melalui aksi sebagian warga Desa yang melakukan aksi palang pintu terhadap kantor balai Desa, serta didukung dengan aksi gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara terhadap surat keputusan kepala Desa tersebut. 

Dalam kasus tersebut Mediasi Desa hadir dalam berbagai tipe diskursus hukum:

  1. Mediasi Desa dalam diskursus hukum sebagai sistem. Pihak kepolisian hadir melakukan mediasi terhadap warga Desa dan Kepala Desa melalui tindakan persuasif, agar sebagian warga Desa bersedia membuka palang pintu. Kekerasan berangsur menurun.
  2. Mediasi Desa dalam diskursus hukum sebagai institusi. Sebagian warga Desa meminta agar Kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan itu dipertemukan oleh BPD sebagai mediator dan/atau mediator dari Balai Mediasi Desa dalam suatu forum musyawarah mediasi.
  3. Mediasi Desa dalam diskursus hukum sebagai medium integrasi sosial, ditandai dengan:

    • BPD dan/atau mediator dari Balai Mediasi Desa meminta kepada Mediator Desa yang tersertifikasi atau Mediator Desa yang tergabung dalam organisasi profesi Mediator Desa untuk melakukan mediasi antara Kepala Desa, perangkat Desa yang diberhentikan, dan sebagian warga Desa yang melakukan aksi penolakan;

    • Adanya kesepakatan mediasi yang berisi kesepakatan para pihak, misalnya Kepala Desa mencabut surat keputusan pemberhentian perangkat Desa, mengembalikan kedudukan perangkat Desa yang dipecat, serta menyelenggarakan Musyawarah Desa sebagai forum rekonsiliasi konflik dengan memberi kesempatan kepada perangkat Desa dan warga Desa untuk membahas komitmen perangkat Desa berdasarkan RPJM Desa;

    • Mediator Desa dari organisasi profesi Mediator Desa melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kesepakatan perdamaian, tanpa melakukan tindakan intervensi terhadap pelaksanaan kesepakatan mediasi tersebut.


E. Pendidikan Profesi Mediator Desa  

Aktivitas seorang Mediator Desa dalam diskursus hukum sebagai medium integrasi sosial tampak berupaya melakukan proses-proses Mediasi Desa yang semula dibangun dari pinggiran untuk secara rasional-komunikatif diakui dalam suatu sistem.

Disinilah diperlukan langkah lanjutan yakni pendidikan profesi Mediator Desa yang memerlukan standarisasi dan/atau skema pengakuan-formal (sertifikasi kompetensi) dari suatu lembaga sertifikasi profesi. Tujuannya ialah sistem sertifikasi profesi memastikan kompetensi Mediator Desa dalam mengemban misi Mediasi Desa atau Mediasi berbasis Kewenangan Desa.

Mediator Desa berpotensi pula akan tergerak aktif untuk memfasilitasi Balai-balai Mediasi Desa, organ mediasi di Desa Adat (atau sebutan lain), mempelajari kultur hukum di setiap Desa, tidak bersikap agresif mencari masalah di Desa, dan mencipta kesepakatan mediasi yang memindahkan konflik antar individu dan kelompok di Desa menjadi konsensus menuju Masa Depan Desa yang mandiri.

Oganisasi/asosiasi profesi Mediator Desa berpeluang untuk membangun kolaborasi dengan asosiasi pemerintah Desa, asosiasi kepala Desa, asosiasi BUM Desa, asosiasi pendamping Desa, korporasi swasta dan bahkan Organisasi Non-Pemerintah. Hukum Mediasi Desa terbuka sebagai ruang untuk menguji argumen-argumen mediasi yang terbaik, terutama pada argumen mediasi terbaik yang berkekuatan lemah, demi tercapainya kesepakatan mediasi.

Mediator Desa tentu diandaikan akan mengutamakan warga Desa untuk mencipta pola-pola Mediasi Desa, selain melibatkan secara bebas kalangan profesi hukum dan profesi lainnya untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan Mediasi Desa. Mediasi Desa juga berpotensi membuka poros komunikasi antara Desa dan Negara/Pasar melalui konsensus. Untuk memperjelas poros komunikasi tersebut, silahkan bersabar menunggu terbitnya buku tentang Mediasi Desa yang akan membahas lebih mendalam perihal legitimasi-legalitas Mediasi Desa dari perspektif Kewenangan Desa, yang membedakan cara kerja Mediator Desa dibandingkan dengan mediator klasik yang pada umumnya bekerja di dalam dan di luar pengadilan.(*) 


Disclaimer:

Artikel ini bebas disebarluaskan, tetapi dilarang "copy paste" artikel untuk "website/weblog" lain tanpa persetujuan penulis.











Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana