Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (15): Warisan (Legacy) Weber

Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.

This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.

Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html

Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (15): Warisan (Legacy) Weber." Blog Anom Surya Putra, Agustus 2022.

-------------

Bagian I Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum

2. Max Weber tentang Rasionalisasi Hukum

Warisan (Legacy) Max Weber

Relevansi dan pengaruh karya Weber dalam sosiologi modern tidak dapat dipisahkan dan diukur, karena tidak ada sosiologi modern yang setidaknya tidak menempatkan dirinya dalam kaitannya dengan teori-teorinya Weber dan, hampir sama seringnya, dipengaruhi oleh banyak ide kunci dalam karyanya. Dalam sosiologi hukum, lebih khusus lagi, tulisan-tulisannya Weber juga merupakan realitas yang ada di mana-mana, sebagai landasan teoretis, model analisis yang patut diteladani, atau, paling tidak, sumber kritik.[3] Di antara komponen pemikiran Weber yang memiliki dampak abadi dapat dimasukkan: gagasan afinitas elektif dan tipe-ideal dan konseptualisasi terkait otoritas, ekonomi, budaya, dan hukum; pemisahan pandangan sosiologis dan yuridis dalam studi hukum dan sikap terkait (dan ketidaksepakatan atas) kebebasan nilai dalam penyelidikan sosiologis; serta perhatian terhadap bentuk dan konsekuensi rasionalisasi modern. Pandangan yang lebih tajam tentang sifat dan ruang lingkup warisan karya Weber dalam sosiologi hukum dapat diperoleh dari pandangan-sekilas terhadap literatur sekunder yang secara eksplisit membahas kelebihan dan kekurangan pendekatan Weber terhadap hukum baik secara teoritis maupun empiris.

Dari sudut pandang penelitian empiris, tesis Weber tentang rasionalisasi formal hukum modern di Barat dan konsepsi hubungan antara (ir-)rasionalitas formal dan substantif telah mendapat banyak perhatian. Pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait ini menyerang inti kesahihan empiris pencarian Weberian untuk mengungkap dan menjelaskan apa yang unik tentang rasionalisasi dan modernitas Barat. Teori-teori Weber dalam hal ini mengandung sekaligus komponen komparatif dan historis, yang menempatkan hukum Barat secara relatif terhadap sistem hukum lain dan menelusuri perkembangan sejarah menuju sistem hukum modern. Sehubungan dengan dimensi komparatif dalam sosiologi hukum Weber, perhatian telah dicurahkan pada interpretasi Weber tentang sistem hukum non-Barat. Robert Marsh (2000), misalnya, secara kritis menerima kategorisasi Weber tentang sistem hukum tradisional Tiongkok dari Dinasti Ch'ing, yang berlaku dari tahun 1644 hingga 1912, sebagai sistem yang secara substantif irasional yang melibatkan keputusan hukum yang bervariasi secara bebas dari kasus ke kasus. Marsh berargumen bahwa kekuasaan pengambilan-keputusan dari pejabat hukum Tiongkok sebenarnya jauh lebih terbatas, bukan karena pengaruh agama tradisional, tetapi karena kewajiban legal untuk mematuhi hukum tertulis, khususnya terhadap aturan yang berada di bawah statuta (sub-statutes) yang diilhami secara sekuler yang telah diumumkan sebagai tambahan dari statuta dasar hukum Tiongkok yang disakralkan.

Keputusan yudisial, seperti dalam hal penetapan hukuman, juga harus disertai dengan kutipan (sub-)statuta yang relevan dari kitab aturan hukum (code) Ch'ing. Kitab aturan hukum ini, selanjutnya, didasarkan pada sistem ideologi ekstra-legal, khususnya nilai-nilai Konfusianisme tentang solidaritas sosial dan hierarki dan konsepsi legalis untuk mematuhi aturan. Marsh menyimpulkan bahwa sistem hukum Dinasti Ch'ing harus dikategorikan sebagai tipe rasional substantif hukum, yang dipandu oleh sistem ideologis daripada dipandu oleh hukum itu sendiri.

Paralel dengan pengamatan tentang interpretasi yang tepat dari hukum Tiongkok adalah diskusi tentang analisis Weber perihal hukum Muslim atau keadilan qadhi (baca: hakim). Telah dikemukakan bahwa keadilan qadhi harus ditafsirkan secara rasional substantif karena didasarkan pada prinsip-prinsip agama Islam yang mencakup segala-sesuatu (Marsh 2000). Namun, juga dikatakan bahwa al-Qur'an tidak berfungsi sepenuhnya sebagai dasar hukum qadhi (baca: hakim), tetapi para ahli hukum menggunakan penilaian dan spekulasi independennya sendiri untuk menafsirkan ajaran etis Islam dan kata-kata serta perbuatan Rasul (Turner, 1974). Sistem hukum qadhi tidak stabil dan cair karena konteks patrimonial yang mana hukum itu dijalankan. Dalam administrasi peradilan, hukum Islam lebih mengistimewakan klas dari populasi tertentu daripada yang lain, terutama mereka yang terlibat dalam perdagangan, tepatnya dengan menganggap semua orang, kecuali budak, sebagai subjek hukum yang setara. Pada saat yang sama, hukum Islam terikat oleh tradisi agama. Oleh karena itu Patricia Crone (1999) menyarankan, elemen teoritis kunci mungkin bukan rasionalisasi tetapi diferensiasi tujuan masyarakat dan institusi terkait, termasuk pemisahan tatanan politik (negara), dunia keagamaan (gereja), tatanan produksi dan konsumsi (ekonomi), dan organisasi ilmu pengetahuan (science). Di Eropa, sistem hukum berkembang seiring dengan kemajuan negara dan mengambil alih fungsi legislatif. Dengan mengambil negara sebagai motor utama dari bentuk khas perkembangan hukum di Eropa, hukum Islam sebaliknya ditarik dari kendali negara dan alih-alih mewujudkan nilai-nilai keagamaan Islam.

Sehubungan dengan tren historis menuju rasionalisasi hukum formal, diskusi tentang kesahihan dan nilai-nilai pada karya Weber secara khusus berkaitan dengan proses rasionalisasi di bidang hukum pidana. Joachim Savelsberg (1992), misalnya, telah menunjukkan bahwa tren historis dalam reformasi hukum pidana modern selama abad ke-20, terutama di Amerika Serikat, melibatkan proses pembuktian yang menyiratkan komitmen terhadap nilai-nilai yang terkait dengan reformasi sosial, terapi, dan rehabilitasi. Prinsip-prinsip non-legal yang terkait dengan keadilan membawa tren ke arah hukum sosial di bidang peradilan pidana. Baru-baru ini, bagaimanapun, proses pembuktian ini telah bertemu dengan oposisi, terutama karena perbedaan yang diamati dalam hasil hukuman dan kurangnya proses hukum, dan upaya telah dilakukan untuk memperkenalkan kembali prinsip-prinsip hukum formal-rasional dalam bentuk pedoman hukuman (lihat Bab 11). Sementara Weber menyadari bahwa seruan terhadap hukum sosial telah menentang rasionalitas formal dalam hukum, ia juga berasumsi bahwa seruan terhadap hukum sebagai teknik pada akhirnya akan menang. Savelsberg menunjukkan bahwa yang terakhir tidak selalu memungkinkan karena kondisi sosio-struktural yang telah membawa pembuktian hukum itu terus menerus eksis dan menghalangi kembalinya ke periode rasionalisasi formal  (the days formal rationalization).

Ilmuwan lain bahkan telah melangkah lebih jauh untuk memodifikasi pandangan Weber dan menyarankan bahwa wilayah hukum pidana pada dasarnya ditandai oleh irasionalisasi (Anspach dan Monsen 1989; Stangl 1992). Diamati bahwa sistem hukum pidana modern, seperti di Jerman dan AS, memungkinkan sejumlah besar kebijaksanaan atau, dalam istilah Weber, pengambilan-keputusan bebas dari kasus ke kasus. Meskipun jaksa dan hakim beroperasi dalam lingkungan hukum, mereka memiliki keleluasaan yang cukup besar untuk memilih tuntutan pidana mana yang akan diajukan terhadap seseorang dan memilih di antara hukuman yang tersedia. Perbedaan tersebut disebabkan oleh prinsip-prinsip dasar yang saling bertentangan yang menandai sistem hukum pidana modern, seperti penekanan klasik pada pencegahan, di satu sisi, dan gagasan intervensionis rehabilitasi, di sisi lain.

Masalah yang kurang lebih sama terkait dengan dasar empiris teori Weber adalah argumen Ronen Shamir (1993a) bahwa konsepsi Weber tentang evolusi menuju rasionalitas formal terlalu terbatas karena ketergantungannya pada kasus hukum Jerman (pada awal kemunculannya pada abad ke-20). Shamir mengkualifikasi teori Weber tentang dasar rasionalisasi formal dalam hukum tertulis-produk-legislasi (statutory law) untuk menunjukkan bahwa preseden dan keputusan hukum dalam kasus Amerika Serikat dipahami sebagai dasar untuk rasionalisasi yang bertentangan dengan hukum yang dikodifikasi, yang dipandang sebagai perwujudan hukum substantif-rasional. Pada awal 1800-an, misalnya, hakim dan advokat Amerika menentang upaya untuk secara kaku mengkodifikasi sistem hukum karena dianggap melemahkan kapasitas otonomi hukum untuk secara metodis memutuskan bentuk hukum yang sesuai. Pergeseran terjadi selama era New Deal tahun 1930-an ketika reformasi sosial memandu upaya legislasi baru di tingkat federal, berada dalam proses yang akan mengarah pada aspek pembuktian hukum pidana dan, sekali lagi kemudian, memperbaharui rasionalisasi formal. Apa yang disarankan dalam pola ini adalah nilai tentang perspektif siklus dari rasionalisasi formal dan rasionalisasi substantif.

Terkait dengan beberapa tema empiris yang dibahas, sosiolog hukum juga secara teoritis terlibat dengan beberapa ide kunci dalam karya Weber. Ekskursi (baca: tamasya) teoritis ini berisi interpretasi dan komentar tentang nilai-nilai karya Weber terhadap studi sosiologi hukum dan dengan demikian mengantisipasi beberapa garis kesalahan teoretis yang muncul dalam perkembangan sosiologi hukum sejak klasik (lihat Bagian II). Di antara tema yang paling banyak dibahas adalah konsepsi Weberian tentang hubungan antara hukum yang dirasionalisasi secara formal dan perkembangan kapitalisme. Secara umum, Weber menentang interpretasi hukum Marxis (sebagai instrumen kapitalisme), tetapi alih-alih membela teori anti-Marxian idealis yang lugas itu, Weber menyarankan langkah yang sejalan dengan pendekatan multidimensi afinitas elektifnya, bahwa rasionalisasi formal hukum, karena ketergantungannya pada kalkulasi, merupakan faktor yang berkontribusi pada kebangkitan kapitalisme. Lebih rumit lagi, Weber harus mengakui berdasarkan bukti sejarah bahwa hubungan antara hukum yang dirasionalisasi secara formal dan kapitalisme itu tidak selalu ada. Secara khusus, dalam kasus perkembangan hukum dan ekonomi Inggris, Weber mengamati bahwa perkembangan kapitalis telah berlangsung tanpa suatu tingkatan tertinggi dari rasionalisasi formal hukum.

Beberapa literatur teoretis menyediakan cara yang berbeda dalam menjawab apa yang disebut "masalah Inggris" ini dalam karya Weber. David Trubek (1972) telah menunjukkan bahwa Weber sendiri tidak konsisten dalam membuat tiga argumen yang saling bertentangan: pertama, bahwa hukum Inggris, meskipun tidak memiliki rasionalitas formal, tetap mendorong perkembangan kapitalisme; kedua, hukum Inggris ditandai dengan tingkat prediktabilitas meskipun sifatnya bukan-statuta; dan, ketiga, bahwa kasus Inggris merupakan pengecualian dari aturan tersebut. Kronman (1983) juga menyarankan, kontradiksi dalam pemikiran Weber menyiratkan argumen perkembangan kapitalisme di Inggris, meskipun dan disebabkan oleh sifat hukum Inggris.

Ilmuwan lain telah berusaha menganalisis kasus Inggris dalam istilah yang lebih tepat untuk memungkinkan pemahaman yang lebih baik daripada penolakan teori Weber. Sally Ewing (1987), misalnya, berpendapat bahwa Weber tidak pernah menarik hubungan antara rasionalisasi ekonomi dan konsepsi formal-rasional tentang pemikiran hukum (tentang apa hukum itu), tetapi dengan mode formal-rasional tentang administrasi peradilan (tentang bagaimana hukum diterapkan). Dengan demikian, rasionalitas formal dapat diterapkan pada sistem aturan yang logis dan tanpa celah yang menjadi ciri negara-negara civil law (seperti Jerman) dan diterapkan pada jaminan hak-hak yang diamankan dan ditegakkan secara legal yang menandai negara-negara common law (seperti Inggris). Assaf Likhovski (1999) membela argumen serupa bahwa tidak ada masalah pada keberadaan hukum Inggris karena pengaruh Protestan pada hukum Inggris selama abad ke-17 mencakup tuntutan rasionalisasi hukum dan peningkatan ukuran prediktabilitas dalam hukum. Crone (1999) menafsirkan hubungan antara kapitalisme dan hukum lagi secara berbeda untuk menunjukkan bahwa hukum Inggris mengunggulkan kaum borjuis dan dengan demikian bersifat formalistik untuk orang kaya, tetapi secara substantif irasional bagi orang miskin, sehingga mendorong perkembangan kapitalisme meskipun secara formal tidak rasional.

Dalam karya Weber, sebagian besar perkembangan hukum diargumentasikan, disebabkan oleh kondisi-kondisi intra-legal, sedangkan pengaruh dari dan pada kondisi lain, terutama kondisi ekonomi dan politik, biasanya dipertahankan sebagai variabel tidak langsung atau empiris. Dengan demikian, pendekatan Weber mencontohkan "agnostisisme kausal" (Kronman 1983: 119) dalam hal "jaringan kompleks faktor-faktor penyebab" (Feldman 1991:222), "konvergensi faktor-faktor" (Walton 1976:7), atau hubungan timbal-balik yang konstan” (Merek 1982:96) yang ada di antara kekuatan ekonomi, politik, budaya, dan hukum (lihat juga Treiber 1985). Orientasi sebab-akibat yang tidak ditentukan dalam pemikiran Weber mencontohkan gagasannya tentang multidimensi (afinitas elektif), namun juga membiarkan karyanya terbuka terhadap tuduhan keraguan teoretis dan ambiguitas konseptual (Sterling dan Moore 1987). Bagaimanapun, perspektif Weber menegaskan ketegangan antara rasionalitas formal dan substantif dalam hukum dan, terkait dengan, hubungan yang berpotensi saling bertentangan antara rasionalitas hukum dan ekonomi, yang dapat meningkat seiring dengan kemajuan kapitalisme (Turkel 1981), yang memerlukan penyelidikan sosiologis untuk mengungkap secara tepat dimensi-dimensi penting dari hubungan kompleks antara hukum dan ekonomi (lihat Bab 7).

Diskusi tentang masalah Inggris dalam karya Weber lebih dari sekadar signifikansi historis, karena masalah itu berhubungan dengan pertimbangan teoretis yang penting mengenai kekuatan penjelas dan keterkaitan antara ekonomi, politik, hukum, dan komponen-komponen masyarakat lainnya yang terdiferensiasi. Perspektif Weber tentang multidimensi telah ditafsirkan secara bervariasi dalam perkembangan teori sosiologis. Meskipun para ilmuwan seperti Kronman (1983) berpendapat bahwa ada kesatuan tematik yang mendasari karya Weber karena kepadatannya dan tampaknya kurang homogen (Andrini 2004), sifat tulisan Weber tentang hukum yang terputus-putus (yang berasal dari koleksi anumerta) sebagaimana tulisan-tulisan itu tidak selalu dirumuskan secara tajam antara karya-karyanya tentang sosiologi hukum dan karya-karyanya yang lain, terutama sosiologi politik (Spencer 1970), tidak memperoleh manfaat dari interpretasi yang tidak ambigu. Mengantisipasi beberapa signifikansi perkembangan ini terhadap sosiologi hukum (Bab 6), karya Weber tentang hubungan sebab-akibat dalam masalah hukum dan masyarakat telah diterima dengan sangat berbeda, mulai dari apropriasi konflik-teoretis pemikiran Weber sebagai pelengkap karya Marx (Albrow 1975; Zeitlin 1985), kritik-kritik terhadap Marxis (Walton 1976) dan interpretasi anti-Marxis yang menekankan nilai konsepsi Weber tentang otonomi relatif hukum (Turner 1974).

Berkaitan erat dengan penerimaan ide-ide Weber tentang kausalitas adalah diskusi tentang seruan kebebasan-nilai dalam karyanya. Perspektif sosiologi yang diadvokasi oleh Weber berorientasi pada kenetralan (uncommitted), sedangkan ilmu hukum (jurisprudence) secara definisi dipandu oleh dogma hukum yang terkait dengan masalah praktis profesional hukum (Kronman 1983). Sosiolog tidak dipandu oleh nilai-nilai, melampaui nilai-nilai intrinsik pada penyelidikan akademis, tetapi pada saat yang sama mengambil nilai-nilai itu secara serius sejauh relevan dengan tindakan sosial dan institusi sosial. Telah dikemukakan bahwa ketegangan dalam perspektif ini menghasilkan kesulitan metodologis (Andreski 1981; Trubek 1986). Secara khusus, sementara Weber secara eksplisit menganjurkan perspektif pemahaman interpretatif, banyak karyanya melibatkan hal lain, terutama sejarah dan hal yang bersifat komparatif. Beberapa ilmuwan, lagi pula, telah menunjukkan bahwa sebenarnya ada prinsip-prinsip filosofis yang kuat hadir dalam karya Weber (Beirne 1979; Brand 1982; Cain 1980; Campbell 1986; Vandenberghe 2005). Weber mengakui implikasi ambivalen dari rasionalisasi hukum modern, yang mana peningkatan kalkulasi secara tersirat meningkatkan kekecewaan, tetapi dia juga menganjurkan kepemimpinan yang kuat dan kejelasan dalam bisnis politik dan hukum sebagai teknik.

Kesimpulan

Sosiologi Max Weber termasuk di antara pencapaian besar dalam pemikiran sosial dan merupakan dasar sosiologi modern. Orientasi metodologis Weber memimpin jalan menuju pengembangan berbagai orientasi dalam sosiologi interpretatif, dan perspektif multidimensinya tentang masyarakat juga telah mengilhami banyak generasi sosiolog. Dalam berbagai bidang khusus pemikiran sosiologis, khususnya dalam sosiologi politik dan sosiologi ekonomi, pengaruh Weber tidak terukur. Perhatian yang agak kurang menonjol dalam sosiologi modern pada karya Weber tentang hukum, relatif terhadap kontribusinya yang lain pada studi modernitas, adalah fungsi dari tingkat relatif kurangnya perhatian umum yang diberikan oleh para sosiolog terhadap hukum dan, terkait, lambatnya perkembangan sosiologi hukum sebagai bidang spesialisasi akademik, tetapi bukan dari tempat hukum dalam karya Weber. Dalam pengungkapan pemikiran Weber secara intelektual maupun dalam konstruksi teori modernitas yang komprehensif, hukum mengambil peran utama yang sejajar dengan studinya tentang ekonomi dan politik.

Bagi sosiologi hukum, karya Weber sangat diperlukan. Teori-teorinya tentang rasionalisasi hukum dan fungsi hukum dalam kaitannya dengan pengaturan melalui prosedur telah menawarkan orientasi tematik yang penting bagi sosiologi hukum (tentang apa yang relevan untuk dipelajari). Signifikansi yang bertahan lama terutama menjadi fokus pada pengaturan interaksi dalam bentuk rasionalisasi melalui prosedur standar dan pengambilan keputusan dalam pembuatan hukum dan penemuan hukum berdasarkan prinsip-prinsip umum. Dari segi pendekatannya (bagaimana mempelajari hukum secara sosiologis), yang dicontohkan oleh karya Weber secara mencolok adalah relevansi waktu historis dalam kaitannya dengan konsepsi masyarakat yang multidimensi. Weber juga memperhatikan pola variabel dari perkembangan ini pada masyarakat yang berbeda, seperti dalam diskusinya tentang perbedaan antara tradisi hukum preseden Amerika Serikat dan penekanan Eropa-kontinental pada hukum tertulis. Dengan demikian, Weber menawarkan dasar-dasar sosiologi hukum komparatif-historis yang berpusat pada dualitas hukum di era modern. Dan meskipun telah dicatat bahwa sosiologi hukum Weber secara konseptual berhutang budi pada akademisi hukum (Turner dan Factor 1994), hal itu merupakan pencapaian luar biasa bahwa karya Weber telah mencontohkan transisi dari pemikiran hukum (legal) ke pemikiran sosiologis dalam rentang waktu seumur hidup, meskipun transisi ini membutuhkan waktu beberapa dekade untuk diselesaikan di tingkat institusional (lihat Bab 4 dan 5).

Munculnya hukum modern yang dirasionalkan Weber berkaitan dengan faktor ekonomi dan politik. Hukum yang dirasionalisasi dijalankan dalam aparatus birokrasi negara tetapi juga melayani ekonomi pasar-bebas. Di dalam ruang ekonomi (economic sphere), kebebasan kontraktual yang dijamin secara hukum ironisnya mengarah pada penggunaan sumber daya secara bebas tanpa batasan hukum. Hukum yang mengatur pasar sebagai zona bebas perdagangan dan industri dengan demikian menyiratkan pengurangan relatif dari paksaan yang datang dengan norma larangan. Ini merupakan tema khusus, bukan ekonomi-deterministik, kondisi-kondisi tentang hubungan antara hukum modern dan tatanan ekonomi kapitalis yang menerima perbedaan, tetapi juga perlakuan sosiologis yang distingtif dalam karya Durkheim.*

Catatan Kaki:

[3] Tentang pengaruh Weber dalam sosiologi hukum di berbagai negara, lihat kontribusi dalam Lascoumes 1995. Lihat juga karya-karya eksegesis yang disebutkan dalam Catatan Kaki 2 dan tulisan-tulisan yang dikutip di bagian ini.

Next: Emile Durkheim





Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Antropologi Kuntilanak

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 1 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)