Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (37): Menuju Sosiologi Hukum Kritis

This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.

Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.

Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html

Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (37): Menuju Sosiologi Hukum Kritis." Blog Anom Surya Putra, Agustus 2022.

-------------

Bagian II Perkembangan dan Variasi-variasi Sosiologi Hukum

6. Sosiologi Hukum dan Antinomi Pemikiran Modern

Menuju Sosiologi Hukum Kritis

Beberapa sosiolog hukum telah menerapkan wawasan dari sosiologi teori konflik, termasuk pemikiran Marxis, untuk menganalisis bidang spesialisasi mereka. Namun, dibandingkan dengan pengaruh konflik dan pemikiran Marxian dalam sosiologi pada umumnya, perkembangan ini dalam sosiologi hukum agak lambat datangnya.[4] Di antara asal-usul sejarah sosiologi hukum konflik-teoretis, kontribusi William Chambliss, Austin Turk, dan Alan Hunt menonjol karena status dasar dan pengaruhnya yang bertahan lama.

Dalam salah satu makalah paling berpengaruh dalam sosiologi hukum modern, William Chambliss (1964) menawarkan studi hukum gelandangan (vagrancy) dalam kaitannya dengan studi historis konteks sosial-ekonomi yang mana hukum tersebut muncul dan diterapkan. Chambliss membedakan empat fase dalam perkembangan undang-undang gelandangan seperti yang diadopsi di Inggris dan Amerika Serikat. Hukum gelandangan pertama disahkan di Inggris pada tahun 1349. Memberi sedekah kepada siapa saja yang menganggur dalam keadaan sehat jasmani dan rohani merupakan suatu kejahatan. Di bawah ancaman penjara, para gelandangan dipaksa bekerja. Pengesahan undang-undang ini dihasilkan dari kebutuhan untuk mengamankan tenaga kerja murah setelah Black Death tahun 1348 telah membunuh setengah dari populasi dan memusnahkan tenaga kerja. Pada fase berikutnya, hukum gelandangan tetap berlaku tetapi tidak diterapkan, karena, menurut Chambliss, masyarakat feodal berubah menjadi masyarakat industri. Pada fase berikutnya, dari tahun 1530 dan seterusnya, perhatian kembali beralih ke kriminalitas, dan beratnya hukuman bagi pelanggaran terhadap undang-undang gelandangan meningkat karena industri telah berkembang. Kejahatan-kejahatan yang baru menjadi sasaran tersebut, sebagai akibatnya, berkaitan dengan pencurian dan perampokan terhadap pedagang yang mengangkut barang-barang. Pada tahun 1743, akhirnya, kategori gelandangan diperluas untuk mencakup semua orang yang mengembara, seperti gelandangan. Dengan demikian, fungsi hukum gelandangan diperluas di luar kendali buruh untuk menjaga ketertiban dan pencegahan kejahatan.

Fokus analisis Chambliss tentang hukum gelandangan sangat empiris, tetapi hutang teoretisnya yang umum terhadap perspektif struktural Marxis juga jelas. Kajian Chambliss secara teoritis ditempatkan sebagai tanggapan terhadap pernyataan-pernyataan terprogram yang telah menyerukan arah baru dalam sosiologi hukum. Di antara formulasi awal ini, Chambliss menyebutkan makalah yang ditulis oleh Arnold Rose (1962) dan Gilbert Geis (1959). Geis mendesak penggunaan wawasan hukum untuk kriminologi yang bisa datang dari kolaborasi yang lebih besar antara sosiologi dan keilmuan hukum, sementara Rose merumuskan tujuan sosiologi hukum, di luar pemahaman yuridis hukum, dalam hal pertanyaan tentang sosial, dimensi politik, dan budaya hukum. Namun, sementara pernyataan-pernyataan programatik semacam itu memiliki signifikansi teoretis yang berbeda, mereka tetap agak terisolasi dan tidak secara langsung mengilhami banyak perkembangan lebih lanjut dalam sosiologi hukum, setidaknya tidak sampai Chambliss dan yang lainnya mulai mendorong sosiologi hukum ke arah teori-konflik.

Chambliss melakukan studi yang lebih rumit tentang hukum sebagai instrumen kekuasaan, pertama kali dalam suatu buku-risalah tentang hukum dan kekuasaan dalam konteks Amerika (Chambliss dan Seidman 1971) dan kemudian dalam banyak tulisan berikutnya (Chambliss 1973, 1999). Chambliss terutama mengembangkan perspektif teori-konflik tentang hukum dalam terang kebutuhan praktis, di masa pergolakan akhir 1960-an dan awal 1970-an, untuk mengembangkan teori yang mampu mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan proses sosial perubahan dan disintegrasi. Melawan gagasan tatanan hukum yang mencerminkan prinsip keadilan dan hak, Chambliss memahami hukum sebagai instrumen yang melayani diri sendiri untuk mempertahankan kekuasaan dan hak istimewa dalam konflik masyarakat yang terus-menerus. Tatanan hukum beroperasi sedemikian rupa sehingga secara sistematis mendiskriminasikan orang miskin dan orang yang kurang mampu sementara mendukung orang yang sejahtera dan berkuasa.

Hingga tahun 1971, sosiolog Elliott Currie (1971) dapat mengamati pengabaian pengaruh pemikiran Marx dalam sosiologi hukum dan keterbelakangan perspektif teori-konflik yang mengakibatkan kegagalan untuk melihat hukum sebagai instrumen kekuasaan dan aturan klas. Namun, sepanjang tahun 1970-an, upaya untuk memasukkan pemikiran Marxian ke dalam sosiologi hukum meningkat jumlahnya. Untuk menyelesaikan program seperti itu, perlu untuk menyaring dari tulisan-tulisan Marx unsur-unsur yang mungkin berguna untuk sosiologi hukum, suatu usaha yang bukannya tidak signifikan mengingat relatif diamnya Marx tentang hukum. Klarifikasi dan pengenalan gagasan Marx tentang hukum dalam sosiologi secara khusus dibahas oleh beberapa sosiolog Anglo-Saxon (Cain 1974; Cain and Hunt 1979; Hirst 1972). Untuk mengakomodasi fokus yang lebih jelas pada hukum, diskusi-diskusi ini kadang-kadang dilakukan dengan bantuan menangkap kembali interpretasi awal teori Marx, seperti tulisan sarjana hukum Rusia Evgenii Pashukanis (1924), dan reinterpretasi pemikiran Marx oleh penulis kontemporer seperti Louis Althusser, Antonio Gramsci, dan Nicos Poulantzas (Hunt 1981a, 1981b).

Meskipun pengenalan dan interpretasi pemikiran Marx tentang hukum dilakukan hingga tahun 1980-an dan 1990-an (Melossi 1986; Spitzer 1983; Vincent 1993), para sosiolog pada 1970-an juga mulai menggunakan teori-teori Marx dalam sosiologi hukum, baik secara empiris maupun teoretis, dengan hasil yang terkadang sangat berbeda. Sementara beberapa ilmuwan mulai mengandalkan Marx untuk mengembangkan arah baru dalam sosiologi hukum dan melakukan penelitian empiris yang relevan (Beirne 1979; Hagan dan Leon 1977; Lauderdale dan Larson 1978), penafsir lain mengambil pandangan bahwa sosiologi hukum dasar Marx, mengingat ide-ide dasar materialisme historis dan keengganan Marx untuk membahas hukum secara independen, tidak memungkinkan kecuali bila usaha semacam itu berakar dan tetap menjadi bagian dari kritik yang lebih umum terhadap masyarakat kapitalis (Beirne 1975; Hirst 1972). Perspektif yang terakhir juga dipertahankan oleh beberapa sosiolog Marxis yang bekerja di bidang kejahatan dan penyimpangan (Quinney 1973, 1978).

Sosiologi kriminologi terbukti menjadi lahan subur untuk penerimaan ide-ide Marxian karena pergeseran dalam bidang khusus ini, terutama selama tahun 1960-an dan 1970-an, untuk berpaling dari studi kejahatan dan kriminal ke arah analisis kontrol sosial dan hukum pidana sebagai aspek penting kriminalisasi (Hopkins 1975). Selain itu, perlu dicatat bahwa orientasi Marxis dalam sosiologi hukum lebih mudah dicapai di Inggris dan negara-negara di benua Eropa yang mana tradisi ilmiah sampai hari ini cenderung lebih teoretis dan lebih mudah melintasi batas-batas disiplin ilmu, seperti dari filsafat sosial ke sosiologi dan dari pemikiran Marxian ke teori sosiologis. Ekskursi (penyimpangan pada arah yang pasti)  program sosiologi hukum yang dikembangkan oleh Austin Turk dan Alan Hunt akan menunjukkan  strategi dasar maupun variabilitas dalam arah konflik-teoritis dalam sosiologi hukum.

Sosiolog Amerika Austin Turk (1969, 1976a, 1976b) mengembangkan program teoritis untuk sosiologi hukum teori-konflik non-Marxis. Terhadap gagasan luas dalam sosiologi arus utama untuk memahami hukum dalam hal resolusi konflik, Turk menguraikan perspektif tentang hukum sebagai bentuk kekuatan sosial dan senjata partisan dalam konflik sosial. Hukum adalah seperangkat sumber daya yang mana orang-orang bersaing untuk mempromosikan ide-ide dan kepentingannya atau menjalankan kekuasaan atas dan terhadap satu sama lain. Turk menetapkan lima jenis kontrol sumber daya dalam hukum: (1) kekuasaan polisi atas sarana kekerasan fisik dan agen kontrol; (2) kekuatan ekonomi atas imbalan materi dan biaya yang terkait dengan hukum; (3) kekuatan politik dalam proses pengambilan keputusan hukum; (4) kekuatan ideologis hukum sebagai budaya untuk mengontrol apa yang dianggap legal dan adil; dan (5) kekuasaan pengalihan atas perhatian dan waktu yang diinvestasikan dalam hukum. Turk mendorong sosiolog hukum untuk menyelidiki bagaimana tatanan hukum beroperasi dalam situasi tertentu di samping dimensi-dimensi ini untuk mempelajari apakah dan bagaimana hukum mengatur atau, sebaliknya, menghasilkan konflik sosial.

Versi sosiologi hukum kritis Marxis yang lebih jelas dapat ditemukan dalam karya sosiolog Alan Hunt, yang sejak akhir 1970-an secara konsisten bekerja untuk mengembangkan visi komprehensif perspektif Marxis tentang hukum.[5] Pendekatan Hunt berakar pada kritik terhadap evolusi gerakan sosiologis dalam hukum dari ilmu hukum sosiologis ke teori hukum (fungsionalis) sebagai kontrol sosial. Dengan mengecilkan signifikansi transisi ini, Hunt menggambarkan kedua gerakan teoretis sebagai perspektif borjuis yang gagal mempertanyakan sejauhmana cita-cita hukum utama belum direalisasikan dalam masyarakat kapitalis. Hunt juga mempertanyakan dikotomi antara konsensus dan perspektif konflik seperti yang telah diungkapkan secara tradisional. Kedua perspektif biasanya berpegang pada gagasan teori sebagai model yang digunakan untuk menjelaskan variasi empiris. Persyaratan ini, bagaimanapun, menurut Hunt tidak sesuai dengan teori radikal berdasarkan Marx. Alih-alih mencoba untuk menjadi benar secara empiris, teori Marxis mengajukan pertanyaan dan menggunakan konsep tentang hal-hal yang dinilai signifikan. Suatu teori hukum Marxis, khususnya, harus dikembangkan atas dasar konsep hukum yang tidak mengambil sebagai titik awal bentuk langsung yang mana hukum muncul, melainkan harus mengkonseptualisasikan hukum dalam konteks teori Marxian tentang masyarakat.

Hunt berpendapat bahwa hukum harus dilihat dari segi reproduksi tatanan sosial, yang melibatkan proses berkelanjutan yang mana struktur dominan masyarakat dibentuk dan dibentuk kembali dalam keadaan sosio-historis tertentu. Di antara institusi dan praktik sosial yang terlibat dalam proses ini, hukum berfungsi sebagai alat dominasi. Dengan berusaha mengatasi dikotomi antara perspektif konsensus dan konflik, Hunt berpendapat bahwa dominasi melalui hukum berbentuk dominasi represif dan ideologis. Dominasi represif (atau koersif) mengacu pada dimensi hukum yang berfungsi untuk memajukan dan melindungi kepentingan klas penguasa. Dalam orientasi represif ini, hukum memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan negara karena negara memiliki kendali atas alat-alat paksaan yang sah. Kekerasan hukum diterapkan melalui badan-badan khusus yang kompleks dari negara hukum, termasuk polisi dan pengadilan. Dominasi represif adalah kondisi yang diperlukan untuk pengembangan dominasi ideologis. Dengan menghubungkan aspek koersif dan konsensual hukum, dominasi ideologis mengacu pada kegiatan dan proses hukum yang mana persetujuan anggota masyarakat dimobilisasi. Persetujuan tidak hanya mengacu pada legitimasi hukum, tetapi menyampaikan gagasan bahwa ide-ide orang tentang hukum dibentuk dalam konteks keberadaan sosial mereka dan, pada gilirannya, akan memengaruhi reproduksi masyarakat. Dengan demikian, ideologi hukum berkontribusi untuk melegitimasi hukum serta tatanan sosial yang lebih luas untuk membangun kondisi hegemoni.*

Catatan Kaki:

[4] Untuk tinjauan umum sosiologi hukum kritis, termasuk perspektif Marxis, lihat Beirne dan Quinney 1982; Chambliss dan Seidman 1971; Collins 1982; Denda 2002; Milovanovic 1983; Spitzer 1983.

[5] Lihat Hunt 1976, 1980, 1981a, 1981b, 1985, 1995, 1997 dan esai yang dikumpulkan dalam Explorations in Law and Society (Hunt 1993).

NEXT 

Normativitas dalam Sosiologi Hukum (sociology of law): 

Sosiologi Ilmu Hukum (jurisprudential sociology)



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana