Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (9): Para Sosiolog Awal

     

Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.

This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.

Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html

Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (9): Para Sosiolog Awal." Blog Anom Surya Putra, Agustus 2022.

-------------

Bagian I Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum

1. Hukum dan Kemunculan Ilmu-ilmu Sosial

Para Sosiolog Awal

Karya Marx tidak langsung berpengaruh dalam perkembangan sosiologi hukum karena tidak ada jalur sejarah yang langsung mengarah dari pemikirannya ke aliran pemikiran sosiologis berikutnya. Karya Marx, bagaimanapun, selanjutnya diapropriasi oleh sosiolog kritis yang berusaha melepaskan diri dari pemikiran konsensual yang mereka rasa banyak dicirikan oleh sosiologi arus utama (mainstream) pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II (lihat Bab 6). Bahkan banyak ambivalensi ditunjukkan dalam sejarah sosiologi mengingat fakta bahwa apropriasi selektif para pemikir awal dalam sosiologi terkadang menyiratkan, beberapa ilmuwan sosial awal yang mengembangkan perspektif sosiologis secara eksplisit --dan yang menerapkannya pada studi hukum-- telah dilupakan dalam sosiologi modern dan kontemporer, termasuk sosiologi hukum. Tinjauan beberapa klasik sosiologi yang terlupakan berikut ini, setidaknya menyoroti kontribusi klasik sosiologi terhadap sosiologi dan sosiologi hukum untuk alasan keingintahuan intelektual.

Pemikiran historis, seringkali dalam bentuk evolusioner, menjadi mode di sebagian besar sosiologi dan filsafat sosial sepanjang abad ke-19. Hal ini mungkin tidak diilustrasikan dengan lebih baik daripada karya sosiolog Inggris Herbert Spencer (1820–1903).[9] Sering digambarkan sebagai Darwinisme sosial, pemikiran evolusioner Spencer sebenarnya sebagian besar ditulis independen dari dan sebelum pemikiran temannya, Charles Darwin. Spencer juga yang menciptakan frasa "survival of the fittest" dan menerapkannya pada evolusi masyarakat. Spencer berpendapat, prinsip-prinsip seleksi alam dan survival of the fittest dapat menjelaskan bagaimana masyarakat manusia berkembang dari kesederhanaan dan homogenitas yang relatif menjadi kompleksitas dan heterogenitas yang semakin meningkat. Berkembang dari masyarakat primitif atau militan yang dicirikan oleh perang dan status sebagai mekanisme pengaturan utama, masyarakat modern atau industri utamanya dipandu oleh negosiasi damai dan kewajiban kontraktual yang disepakati secara sukarela di antara warga negara yang bebas. Dalam fase modern perkembangan manusia, Spencer berpendapat, pengaruh kontrol pemerintah menurun demi kebebasan individu dan kewajiban kontrak yang dinegosiasikan, yang disepakati secara bebas di antara subjek individu.

Sebagai seorang utilitarian evolusioner, Spencer menentang pengaruh pemerintah dan program publik yang bertujuan meringankan masalah sosial, seperti kelaparan, kemiskinan, dan penyakit, demi aturan pemerintah minimalis, yang mana suatu kebijakan dan hukum, utamanya akan berfungsi mengamankan kebebasan subjek negara dan menegakkan hubungan formal yang mereka jalani. Satu-satunya batasan alamiah bagi kebebasan individu adalah pengakuan kebebasan terhadap orang lain. Atas dasar sudut pandang individualis liberal ini, Spencer menyatakan bahwa tindakan dan hukum pemerintah dalam masyarakat modern utamanya harus melindungi kebebasan manusia. Spencer merumuskan perspektif ini berdasarkan teori evolusi hukum dari masyarakat primitif ke masyarakat modern. Pada dasarnya, hukum berubah dari pengaturan ketimpangan status di antara orang-orang menuju perlakuan yang setara terhadap warga negara dalam kerja sama sukarela satu sama lain. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern, Spencer menganjurkan kebijakan liberalisme laissez faire yang ekstrem, semua hukum harus dikutuk kecuali hukum itu merupakan ekspresi dari konsensus kepentingan individu dan dengan demikian dimaksudkan untuk mempromosikan dan melestarikan kebebasan individu. Spencer menentang upaya legislatif yang bertujuan memperbaiki kondisi orang miskin dan lemah dan, dengan demikian, juga mengutuk setiap gangguan hukum pada perdagangan bebas. Satu-satunya tujuan hukum yang sah (rightful) adalah administrasi peradilan yang berusaha menjaga dan melindungi hak-hak individu. Dalam pengertian ini, pemikiran Spencer bertentangan dengan pemikiran utilitarian abad ke-18 yang mengunggulkan konsepsi hukum sebagai rekayasa sosial.

Pemikiran evolusioner liberal Spencer memengaruhi beberapa sosiolog Amerika awal, terutama William Graham Sumner (1840-1910).[10] Sumner awalnya dididik dalam sejarah dan teologi dan selama beberapa tahun adalah seorang pendeta di gereja Episkopal. Dia tertarik pada sosiologi setelah membaca esai Spencer, yang mana Sumner mulai mengembangkan pemikiran sosiologisnya berdasarkan konsepsi evolusi sejarah manusia. Pada tahun 1872, Sumner menjadi profesor ilmu politik dan sosial di Universitas Yale dan di sana mulai mengajar kuliah sosiologi dari tahun 1875 dan seterusnya. Dalam tulisannya, Sumner menganjurkan perspektif evolusioner masyarakat, seperti Spencer nyatakan, membatasi fungsi yang tepat dari negara untuk mengelola kontrak individu yang disepakati bersama dan bebas. Sumner merupakan seorang pembela kapitalisme yang teguh, atau apa yang disebutnya “liberalisme perdagangan bebas,” sehingga Sumner menentang setiap dan semua upaya yang dilakukan melalui tindakan pemerintah dan kebijakan hukum untuk mempromosikan kesetaraan sosial, karena tindakan pemerintah dan kebijakan hukum itu bertentangan dengan kondisi evolusi masyarakat yang mendukung kelangsungan hidup elemen masyarakat yang paling kuat saja. Yang penting, pemikiran Sumner, dengan ambisinya sendiri, tidak didasarkan pada spekulasi filosofis tetapi pada orientasi ilmiah untuk mengungkap pola dan penyebab dasar yang mendasari sejarah manusia dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu Sumner mengalihkan upayanya ke penyelidikan sejarah-komparatif untuk mengungkap hukum masyarakat.

Sumner meninggal sebelum dia menyelesaikan buku yang direncanakan tentang sistematika sosiologi, tetapi bukunya tahun 1906 berjudul Folkways berisi wawasan yang signifikan tentang teori hukumnya. Dengan istilah "folkways" Sumner mengacu pada kebiasaan individu dan kebiasaan masyarakat, yang muncul dari upaya untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Folkways berubah menjadi adat istiadat ketika adat istiadat  yang berkaitan dengan fungsi dan institusi masyarakat yang lebih penting, menjadi lebih bersifat memaksa dan diberkahi dengan sanksi. Tertanam dalam adat istiadat adalah hak-hak, yang dipahami sebagai konsepsi etis tentang keadilan. Dari adat-istiadat juga mengembang hukum, meskipun hukum itu tidak akan pernah sepenuhnya mengungkapkan hak. Seiring dengan transformasi masyarakat, sifat hukum juga berubah. Dalam masyarakat pra-modern, pengaturan kehidupan sosial tidak dipandu oleh hukum yang berlaku secara formal. Hukum pra-modern, oleh karena itu, adalah adat dan biasanya tidak dikodifikasi. Dalam masyarakat modern, sebaliknya, hukum secara formal ditetapkan oleh pemerintah dan tertulis. Terlepas dari tahap perkembangan masyarakat, hukum harus, menurut Sumner, mencerminkan adat istiadat masyarakat untuk menjadi pengatur perilaku manusia yang efektif. Sebagai instrumen perubahan sosial, hukum dapat memenuhi perannya yang tepat hanya jika sesuai dengan adat istiadat masyarakat atau salah satu sub-kelompoknya yang mana hukum diterapkan.

Beralih ke beberapa praktisi sosiologi paling awal di Jerman, akan mengungkapkan karakteristik tambahan studi hukum sejak mulai berdirinya disiplin tersebut. Sosiologi Georg Simmel (1858-1918) umumnya dikenal karena kontribusinya pada studi formal masyarakat dan pengamatannya terhadap perkembangan budaya modern.[11] Sebagai bagian dari sosiologi formalnya, Simmel mencurahkan perhatiannya pada peran hukum. Secara khusus dalam studinya tentang aspek kuantitatif kehidupan kelompok, dengan fokus pada pengaruh jumlah individu yang terkait satu sama lain pada bentuk-bentuk kehidupan sosial, Simmel memperkenalkan konseptualisasi hukum dalam kaitannya dengan adat dan moralitas. Adat dipahami sebagai tatanan normatif yang tidak dibedakan yang mencakup aturan-aturan spesifik, prinsip-prinsip agama, dan konvensi. Baik moralitas maupun hukum berbeda dari adat. Moralitas mengacu pada kapasitas individu untuk menghadapi diri mereka sendiri dengan prinsip-prinsip normatif. Ini adalah konfrontasi pribadi perilaku seseorang dengan kode kebiasaan sosial. Hukum secara formal diberlakukan pada tingkat kelompok atau masyarakat melalui organ-organ khusus yang menentukan isi hukum dan mengawasi penegakan hukum. Hukum sepenuhnya ditujukan terhadap hal-hal yang dianggap sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk urusan pribadi. Hukum bersifat memaksa bagi seluruh masyarakat tempat hukum itu berlaku, sedangkan moralitas hanya berlaku bagi individu. Adat berdiri di antara moralitas dan hukum sebagai dua kutub kontinum mulai dari individu bebas hingga paksaan masyarakat. Pergerakan antara adat, hukum, dan moralitas berkaitan dengan aspek kuantitatif kelompok, menurut Simmel, karena masyarakat kecil atau kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar dipandu oleh adat, sementara perluasan kesatuan masyarakat (united society) mendukung transisi dari adat menjadi hukum.

Simmel tidak menyelidiki dimensi empiris konkret hukum dalam masyarakat, tetapi selain konseptualisasi hukumnya, ia terkadang menentukan peran hukum dalam beberapa perjalanan teoretisnya yang lain. Dalam karyanya tentang bentuk-bentuk sosial subordinasi dan superordinasi, misalnya, Simmel membahas berbagai macam subordinasi, seperti subordinasi di bawah individu, pluralitas, dan prinsip. Bentuk terakhir, menurut Simmel, adalah jenis subordinasi yang paling dominan dalam masyarakat modern, dan secara khusus terungkap dalam subordinasi terhadap hukum. Alih-alih tunduk pada pemimpin atau pluralitas, dalam masyarakat modern orang tunduk pada hukum objektif sebagai bentuk subordinasi yang didepersonifikasi (depersonified subordination). Ketundukan pada hukum diterjemahkan dalam kesadaran individu, tetapi kekuatan kewajiban berasal dari validitas super-personal hukum, yang kini muncul sebagai objek.

Karya rekan senegaranya Simmel, Ferdinand Tönnies (1855–1936) layak disebutkan secara khusus dalam tinjauan klasik yang relatif terabaikan ini ––dan bukan hanya karena alasan historis. Tulisan-tulisan teoritis dan empiris Ferdinand Tönnies dalam sosiologi tidak hanya sangat luas dan sistematis sebagai bagian dari visi sosiologis yang komprehensif; Ferdinand Tönnies juga mengembangkan teori evolusi yang berbeda yang mana hukum memainkan peran sentral.[12]

Perspektif Ferdinand Tönnies tentang masyarakat terpusat berkisar pada konseptualisasi dari dua jenis masyarakat yang berbeda yaitu Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan). Yang penting, Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan) adalah konsep yang mewakili tipe-ideal dari karakter analitis yang ketat. Semua masyarakat, menurut Ferdinand Tönnies, muncul dari kehendak manusia, yang dapat bersifat esensial berdasarkan temperamen dan karakter, atau secara arbitrer karena mampu membedakan sarana dalam pandangan tujuan tertentu. Ferdinand Tönnies memahami masyarakat Gemeinschaft (paguyuban) sebagai ekspresi kehendak esensial, terorganisir secara organik di sekitar keluarga, Desa atau kota, sedangkan masyarakat Gesellschaft (patembayan) didasarkan pada orientasi kehendak arbitrer yang terstruktur secara mekanis yang diorganisir di kota besar dan negara. Dalam konteks pergeseran dari pertanian ke industri dan kebangkitan perdagangan bebas, negara modern, dan sains, Ferdinand Tönnies mempertimbangkan ciri-ciri penting transformasi bertahap dari Gemeinschaft ke GesellschaftFerdinand Tönnies tidak memahami evolusi historis masyarakat dalam istilah garis perkembangan yang sama (unilinear) yang melibatkan pergeseran dari Gemeinschaft ke Gesellschaft, tetapi sebaliknya berpendapat bahwa setiap formasi sosial akan selalu tetapi dalam berbagai derajat mencerminkan karakteristik dari kedua tipe.

Sosiologi hukum Ferdinand Tönnies adalah komponen penting perspektif teoretisnya (juga membentuk jembatan untuk karya teoretis dan empirisnya yang rumit tentang kejahatan) dan dikembangkan atas dasar teori norma sosial yang lebih umum. Ferdinand Tönnies mendefinisikan norma sosial sebagai perintah dan larangan yang berlaku bagi individu-individu dari suatu entitas sosial dan dibedakan menjadi tiga klas: (1) tatanan: keseluruhan norma yang paling umum yang memberikan kesatuan kehidupan sosial; (2) hukum: totalitas aturan yang pernyataan dan penegakannya merupakan fungsi pengadilan formal; dan (3) moralitas: larangan dan perintah yang lebih tinggi yang muncul dari gagasan kehidupan yang indah dan mulia. Ketertiban, hukum, dan moralitas diekspresikan secara berbeda dalam kondisi Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan). Dalam tipe Gemeinschaft (paguyuban), norma-norma sosial adalah: (a) pemahaman umum tentang kerukunan; (b) norma-norma adat yang memerintah dan wajib dan (c) tatanan agama yang supranatural. Dalam tipe Gesellschaft (patembayan), norma-norma sosial adalah: (a) norma-norma konvensional yang mengatur perniagaan (commerce), klas, perdagangan (trade), dan individualisme; (b) legislasi yang diundangkan oleh negara; dan (c) opini publik yang mengungkapkan perasaan rakyat. Mengingat sifat ideal-tipikal skema konseptual Tonnies, maka kategori ketertiban, hukum, dan moralitas selalu diekspresikan secara berbeda-beda dalam berbagai tingkatan berdasarkan kerukunan dan konvensi, adat dan peraturan perundang-undangan, serta agama dan opini publik.

Ferdinand Tönnies mengabdikan sebagian besar karyanya pada Gemeinschaft dan Gesellschaft terhadap hukum dan menyarankan transformasi hukum alam dari hukum kebiasaan (common law) atau hukum adat (customary law) ke hukum kontrak (contract law) atau hukum aturan (statutory law). Ferdinand Tönnies berpendapat, evolusi hukum mengungkapkan bahwa sementara semua hukum bersifat alami dan buatan, unsur buatan dalam hukum telah menjadi dominan dalam perjalanan sejarah, yang melibatkan evolusi bertahap dari hukum kebiasaan (common law) ke hukum aturan (statutory law). Elemen paling penting dari common law adalah bahwa common law telah melepaskan kapasitas untuk perdagangan (trade) dan membentuk hubungan-hubungan dalam kebebasan. Setelah itu, hukum berangsur-angsur diformalkan untuk dielaborasi, diuniversalkan, disistematisasi, dan dikodifikasi karena rasionalisasi ilmu hukum (jurisprudence) dalam hal efisiensi dan liberalisasi dan karena pewarisan organisasi dan kebiasaan keluarga yang menyertainya. Sementara hukum kebiasaan (Gewohnheitsrecht) adalah fungsi adat, hukum-legislasi modern (Gesetzesrecht) didukung oleh tujuannya di luar tradisi dan bahkan mungkin bertentangan dengan tradisi. Keadaan evolusi hukum yang dihasilkan dalam tipe-masyarakat Gesellschaft (patembayan) modern, menurut Ferdinand Tönnies, bukanlah bahwa hukum modern hanya akan mengambil bentuk seluruh hukum yang diproklamirkan dan ditegakkan oleh negara. Ferdinand Tönnies menekankan fakta bahwa legislasi telah dimonopoli oleh negara, tetapi juga berpendapat terhadap otonomi relatif hukum dalam kaitannya dengan sisa-sisa tipe-tipe hukum (adat) lainnya dan institusi-institusi sosial politik dan ekonomi. Bagian relatif dari Gesellschaft (patembayan) seperti legislasi negara yang dibandingkan dengan tipe-tipe lain dari hukum Gemeinschaft (paguyuban) dalam konstelasi hukum masyarakat, menurut Ferdinand Tönnies hal ini merupakan masalah empiris.

Kesimpulan

Dengan menelaah sejarah pemikiran hukum pra-sosiologis, dapat dilihat perkembangan pemikiran mulai dari Mazhab Klasik dan kaum utilitarian yang melandasi ilmu hukum historis (historical jurisprudence) hingga materialisme historis Karl Marx. Dengan menyimpangi perjuangan atas isu-isu serupa yang penting secara sosial dan intelektual, maka aspirasi normatif dan niatan ilmiah bertautan dalam berbagai cara. Kaum utilitarian berorientasi pada perspektif rekayasa sosial yang berusaha mereformasi politik dan kebijakan hukum berdasarkan asumsi teoritis utilitas daripada analisis kondisi perilaku manusia, sedangkan orientasi historis lebih analitis dalam perspektifnya, dan rekomendasi kebijakan sosial lebih bersifat praktis yang dirumuskan atas dasar penyelidikan yang konkrit. Dalam pengertian ini saja, terdapat keadaan yang unik dalam perkembangan sosiologi modern selanjutnya bahwa karya Karl Marx, yang memperkenalkan kembali orientasi normatif dalam pemikiran sosial, akan menjadi perspektif yang paling berpengaruh dalam pembahasan ini. Karya Marx secara teoritis tidak terkait dengan aspirasi sosiologi, tetapi secara historis tulisan-tulisan Marx telah menginformasikan banyak tulisan sosiologis sampai hari ini.

Unik bagi sejarah sosiologi, termasuk sosiologi hukum, beberapa penulis sosiologis yang lebih distingtif pada abad ke-19 –-dengan pengecualian Max Weber dan Emile Durkheim, tentu saja-– hanya sedikit memengaruhi perkembangan sosiologi selanjutnya dan beberapa penulis itu telah dilupakan oleh sosiolog saat ini, meskipun beberapa penulis sosiologis itu telah mengembangkan perspektif yang komprehensif dan terlibat dalam analisis substansial kondisi dan institusi masyarakat, termasuk hukum. Oleh karena itu, situasi unik dari sosiologi yang berkembang sedemikian rupa, meskipun karya-karya seperti Spencer, Sumner, Simmel, dan Ferdinand Tönnies secara eksplisit bersifat sosiologis ––tidak kurang dari karya Weber dan Durkheim, jika mungkin tidak begitu ahli–– dan diinformasikan secara teoritis dan berorientasi empiris, karya-karya mereka merupakan bagian dari sosiologi masa lalu tetapi bukan karena pertimbangan kesejarahan bahwa karya-karya itu menjadi salah satu blok bangunan perkembangan modern. Apa yang sebagian besar dibahas dalam karya sosiologis awal tentang hukum, yang berbagi satu sama lain, serta dengan para pemikir pra-sosiologis yang lebih cenderung secara historis, adalah fokusnya pada transformasi dari hukum pra-modern ke hukum modern (yang dipahami secara bervariasi tetapi biasanya diciptakan dalam skema evolusi) dan, terkait dengan, keprihatinan konseptual atas hubungan antara hukum sebagai keseluruhan aturan yang ditetapkan secara formal, di satu sisi, dan pandangan yang lebih komprehensif tentang hukum sebagai keseluruhan praktik sosial yang terkait dengan aturan tersebut, di sisi lain (Vandekerckhove 1996). Karakteristik pemikiran tentang hukum dalam satu atau lain bentuk --dan untuk lebih baik atau lebih buruk-- merupakan fundasi penting sosiologi modern seperti yang kita kenal sekarang.

Perkembangan awal sosiologi hukum dengan baik menggambarkan bahwa sejarah dan sistematika sosiologi hanya dapat dibedakan secara analitis (Alexander 1987). Ini berkaitan dengan gerakan prasosiologis menuju sosiologi hukum maupun perkembangan selanjutnya. Bahan awal filosofis pada sosiologi hukum berfungsi sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk sosiologi hukum yang asli. Merenungkan hukum dalam realitas eksistensi masyarakatnya atau bahkan mempertanyakan pembentukan sosial hukum, tidak dapat disamakan dengan kajian sosiologis hukum yang sistematis. Selain itu, tinjauan dalam bab ini menunjukkan bahwa beberapa penulis yang berkontribusi dalam karya mereka dengan cara sosiologis yang lebih distingtif daripada yang lain, bagaimanapun, secara historis memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perkembangan sosiologi hukum daripada beberapa ilmuwan yang kurang memperhatikan studi sosiologi hukum atau studi hukum dari sudut pandang apapun. Dalam kasus terakhir, karya Marx adalah yang paling patut dicontoh. Yang pasti, Marx memberikan kontribusi pada ilmu sosial dengan menyarankan teori hukum instrumentalis dalam memberikan kontribusi dan membenarkan ketimpangan sosial. Tetapi Marx tidak sendirian, para ilmuwan lain dengan komitmen sosiologis yang lebih menonjol telah mempelajari hukum secara lebih intens, meskipun para ilmuwan itu tidak berjalan dengan baik dalam ingatan kolektif kita. Sosiologi hukum Ferdinand Tönnies, misalnya, hampir tidak dikenal hingga saat ini meskipun ia telah menyajikan skema pemikiran yang rumit dan sistematis yang konsisten dengan orientasi sosiologisnya yang lebih luas.

Bab-bab selanjutnya akan beralih ke kontribusi Max Weber dan Emile Durkheim. Di antara tiga karya klasik yang sekarang dianggap sentral bagi sosiologi modern, jelas bahwa Marx tidak memusatkan perhatian pada hukum hingga tingkat kepuasan intelektual apa pun, sedangkan kontribusi sosiologis Weber dan Durkheim tidak hanya berpengaruh tetapi juga mendasar bagi sosiologi hukum. Mengingat diskusi panjang Weber tentang hukum dan penerimaan karyanya yang murah hati, sentralitas Weber dalam pengembangan sosiologi hukum membutuhkan sedikit argumen. Meskipun agak kurang dibahas di kalangan sosiolog hukum kontemporer, karya Durkheim, akan ditunjukkan, sama pentingnya dengan karya Weber, terutama dalam hal orientasi sosiologi hukum di sekitar dimensi kunci mengenai masalah-masalah sosial yang melibatkan dimensi-dimensi faktual dan normatif.*

Catatan Kaki:

[9] Karya utama Spencer dalam sosiologi adalah The Study of Sociology (Spencer 1873) dan tiga jilid The Principles of Sociology (Spencer 1876/1882/1896), jilid kedua berisi bagian tentang "Laws" (hlm. 513–537 ). Lihat juga esai kritis Spencer tentang legislasi (Spencer 1853, 1884).

[10] Publikasi Sumner yang paling penting adalah Folkways (Sumner 1906). Lihat juga, Ball, Simpson, dan Ikeda 1962.

[11] Di antara tulisan-tulisan sosiologi utama Simmel adalah buku-bukunya berjudul Soziologie (1908a) dan Grundfragen der Soziologie (1917). Beberapa kontribusi panjang artikel Simmel muncul dalam bahasa Inggris selama hidupnya di American Journal of Sociology. Volume yang diedit oleh Kurt Wolff (1964) mengumpulkan banyak ide utama Simmel, termasuk kunjungannya yang paling penting tentang hukum dari Soziologie (Simmel 1908b).

[12] Karya pertama Tönnies, Gemeinschaft und Gesellschaft, aslinya diterbitkan pada tahun 1887, memberikan kerangka dasar untuk karya-karya selanjutnya (Tönnies 1887, 1935a, 1935b), termasuk perspektifnya tentang sosiologi dan teori norma dan hukum (Tönnies 1922, 1931). Tentang tinjauan umum pemikiran dan penelitian Tönnies di bidang hukum, hukum pidana, dan kriminologi, lihat Deflem 1999.


NEXT: RASIONALISASI HUKUM MAX WEBER





Komentar

Artikel Terpopuler

Antropologi Kuntilanak

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Cara Meletakkan Bukti dalam Evidence-Based Policymaking (EBP)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)