Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

Cara Mudah Belajar Konsep Evidence-Based Policymaking (EBP) untuk Analis Hukum dan Kebijakan Publik

Anom Surya Putra:

Setelah mempelajari artikel tentang konsep Evidence-Based Policymaking (EBP) ini, pembaca diharapkan mampu menjelaskan pengertian, latar belakang dan prinsip-prinsip EBP. Tahapan selanjutnya, pembaca mampu menjelaskan perbandingan antara legislative drafting berbasis opini dan legislative drafting berbasis bukti data dan informasi (evidence). Pada tahap akhir, pembaca mampu menguraikan isu-isu pokok bukti (evidence) untuk proses legislative drafting mencakup tipe, hirarki dan pemanfaatan EBP, serta pembaca mampu menguraikan indikator bukti data dan informasi (evidence) meliputi kualitas, akurasi, objektivitas, kredibilitas, relevansi dan daya-praktis.

A. Pengertian Evidence-Based Policymaking

Pendekatan Evidence Based Policymaking (EBP) merupakan pendekatan atau metode yang menginformasikan proses pengambilan keputusan atas terbitnya suatu kebijakan secara rasional, berbasis evidence (data dan informasi) serta analisis rasional yang sistematis. Istilah kebijakan (policy) dikenal di Indonesia sebagai peraturan perundang-undangan tertulis dan kebijakan yang dirancang oleh pemerintah.

Dalam perkembangan Ilmu Hukum (jurisprudence) di Indonesia terdapat Politik Hukum yang fokus pada kebijakan hukum (legal policy) baik yang bersifat norma hukum yang mengikat (ius constitutum), norma yang seharusnya (ius constituendum), maupun perubahan dari ius constitutum menjadi ius constituendum. Para ahli hukum normatif-doktrinal (jurist) lebih mengutamakan ius constitutum yang bersifat normatif daripada ius constituendum. Sebagai contoh, ahli hukum normatif-doktrinal (jurist) mengutamakan norma hukum Pasal 81 ayat (4) UU No. 6/2014 tentang Desa, pembangunan lokal berskala Desa yang dilaksanakan sendiri oleh Desa, sehingga aturan hukum tentang swakelola dalam pengadaan barang/jasa di Desa harus menyesuaikan dengan “pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Desa bersama warga Desa”, termasuk biaya harian yang diterima oleh warga Desa yang telibat dalam pelaksanaan program/kegiatan pembangunan skala lokal Desa.

Di lain pihak ilmu pengetahuan Analisa Kebijakan Publik (public policy analysis) telah mengembangkan pendekatan bahwa kebijakan yang dirancang oleh pemerintah harus melibatkan kekuatan publik (pemerintah, masyarakat, dan swasta) agar terdapat bukti dalam bentuk data dan informasi (evidence). Posisi evidence tersebut berada pada fenomena sosial dan bukan gejala yang bersifat normatif seperti dilihat oleh ahli hukum normatif-doktrinal (jurist). Hasil analisa terhadap evidence diterapkan ke dalam siklus kebijakan publik, yakni perumusan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan.

Sebagai contoh, Analis Kebijakan Publik melakukan perumusan masalah penyalahgunaan wewenang penguasa dalam implementasi kebijakan Keuangan Desa. Analis Kebijakan melakukan penelitian terhadap situasi sosial, menentukan perilaku bermasalah, aktor kebijakan keuangan Desa, dan akar permasalahan. Hasil analisa terhadap masalah kebijakan itu menunjukkan bahwa program atau kegiatan pembangunan infrastruktur di Desa dilakukan oleh pihak ketiga, serta didasarkan pada kebijakan pengadaan barang/jasa di kabupaten/kota yang kurang efektif dalam menjalin kerjasama dengan lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa, maupun tradisi gotong royong di Desa.

Rekomendasi kebijakannya adalah perencanaan pembangunan di Desa dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama unsur masyarakat yang terlembagakan ke dalam lembaga kemasyarakatan di Desa (kelompok sadar wisata, kelompok perempuan peduli kesehatan ibu dan anak, karang taruna, serikat tani/nelayan, dan lain-lain). Musyawarah Desa dihadiri oleh perwakilan dari berbagai lembaga kemasyarakatan itu dan mengambil keputusan bahwa pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bersama-sama. Pemantauan dan evaluasi dilakukan bersama antara Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga kemasyarakatan Desa. Untuk kebutuhan normatif, hasil analisa secara keseluruhan dirangkai utuh dalam Naskah Akademik (rancangan UU) atau Naskah Pokok-pokok Pikiran (rancangan PP, Peraturan Menteri, dan aturan hukum selain UU).

Uraian penjelasan antara Ilmu Hukum dan Analisa Kebijakan Publik diatas memberikan pemahaman tentang EBP sebagai berikut:

  • pendekatan bagi pengambil keputusan agar kebijakan (program dan peraturan) berbasis bukti (evidence) berupa data dan informasi (kualitatif dan kuantitatif), untuk selanjutnya dianalisa secara rasional dan sistematis;
  • keberlakuan hukum secara apa adanya di masyarakat (termasuk living law tradition) merupakan salah satu evidence, sedangkan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (ius constitutum) merupakan salah satu kebijakan (policy);
  • perancang kebijakan hukum (legislative drafter) menekankan ius constituendum. Data dan informasi merupakan evidence yang melandasi proses penyusunan kebijakan hukum (contoh: program pembangunan skala lokal Desa dan aturan hukum yang mengatur swakelola)
  • tidak berbasis opini yang bersifat normatif, spekulatif, dan mengabaikan data dan informasi.

Konsep Ilmu Hukum dan Analisa Kebijakan Publik tentang Evidence-Based Policymaking

B. Mengapa Evidence-Based Policymaking (EB) digunakan?

Perancang kebijakan hukum (legislative drafter) termotivasi untuk membentuk kebijakan yang relevan dengan kondisi sosial. Perancang kebijakan hukum cenderung bekerja untuk memberikan pembenaran (justification) kinerja organisasi pemerintah. Tetapi pekerjaan mereka yang harus dijalankan dengan motivasi yang tinggi itu kurang dijamin oleh peraturan kebijakan (beleidsregel) yang ada, khususnya mengenai alokasi pendanaan dan insentif untuk merumuskan masalah sesuai kondisi sosial. Akibatnya, gejala sosial dirumuskan terbatas didasarkan pada opini spekulatif (opinion-based policy) dan/atau interpretasi gramatikal-yuridis yang dogmatik. Sibuk berdebat tentang definisi yuridis dari aturan hukum tertentu yang terkadang gagal membenarkan gagasan perancangan kebijakan atau aturan. Oleh karena itu, metode EBP digunakan untuk mendukung pekerjaan para perancang yang relevan dengan kondisi sosial, sekaligus berimplikasi pada dukungan pendanaan dan insentif agar para perancang lebih sering berinteraksi dengan masyarakat-calon-penerima kebijakan dan/atau aturan hukum perundang-undangan.

Perancang kebijakan hukum (legislative drafter) memiliki kemampuan untuk melakukan dan menggunakan evidence (data dan informasi). Pihak legislative drafter dituntut secara normatif melalui UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya agar menyusun policy paper (Naskah Akademik atau Naskah Pokok-pokok Pikiran). Kedua naskah itu  selanjutnya dipositivisasi ke dalam bahasa hukum peraturan perundang-undangan. Tetapi, Naskah Pokok-pokok Pikiran yang melandasi suatu peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Menteri jarang disusun dengan pendekatan berbasis evidence. Dan bahkan terjumpai pula bahwa rancangan aturan itu tidak disusun oleh legislative drafter tetapi disusun oleh pemrakarsa yang paham fenomena sosial dan fakta kebijakan, namun minim pemahaman legalitas. Akibatnya, bahasa hukum dalam peraturan perundang-undangan yang dirancang tersebut gagal mengatasi masalah (fenomena sosial) yang hendak diselesaikan melalui wewenang, prosedur, dan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan EBP mendorong kapasitas legislative drafter untuk menganalisa data dan informasi serta program dan peraturan perundang-undangan (ius constitutum) untuk mencapai tujuan hukum yang dicanangkan (ius constituendum).

Perancang kebijakan hukum (legislative drafter) memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan publik terkait rancangan peraturan perundang-undangan. Publik terdiri dari organisasi pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Pihak legislative drafter perlu memetakan kelompok kepentingan atau kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) yang berkepentingan terhadap substansi hukum yang sedang disusun. Kata kuncinya adalah kepentingan bersama atau batu-pijakan yang sama antara legislative drafter dan subjek-penerima-aturan seperti organisasi pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Pendekatan EBP mendorong legislative drafter untuk mengkomunikasikan keputusan tentang terbitnya suatu peraturan-perundang-undangan berdasarkan evidence, dan secara khusus tindakannya itu tidak menekan dunia-kehidupan (lifeworld; lebenswelt) masyarakat dan bersikap terbuka untuk bekerjasama dengan organisasi pemerintahan lainnya.

C. Perbandingan antara Legislative Drafting Berbasis Opini dan Bukti

Pihak legislative drafter cenderung dituntut untuk mengelola opini yang berkembang di media publik dan memberikan penilaian (judgement) melalui kaidah peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dihasilkan berdasar opini (opinion-based policy) berbanding terbalik dengan kebijakan yang dihasilkan berbasis bukti (evidence-based policy). 

Pada awal waktu pembentukan/perancangan, opini masih mendominasi pemikiran para perancang. Semakin proses perancangan itu membutuhkan waktu perancangan, maka semakin dialami peningkatan tekanan-tekanan dari publik, sehingga para perancang memerlukan bukti-bukti (evidence) untuk meyakinkan subjek-penerima-kebijakan hukum daripada opini yang spekulatif.

Opini bersumber dari diskursus Ilmu Hukum normatif-doktrinal (jurisprudence) yakni penilaian (judgmeent) dari para pejabat pemerintahan, program/kegiatan pemerintahan, wewenang (bevoegheid) institusi pemerintahan, dan kewenangan pejabat (mandat, delegasi, atribusi). 

Pendapat berbasis opini pada awalnya mempunyai porsi besar dalam perumusan kebijakan (policymaking) dan selanjutnya berkurang setelah diuji dengan evidence (data dan informasi). Data dan informasi itu meliputi:

  • hasil FGD
  • konsultasi publik
  • hasil penelitian, 
  • expert knowledge tentang partisipasi warga dan pemerintah Desa
  • foto-foto kegiatan
  • statistika penggunaan Dana Desa, dan 
  • informasi lainnya. 

Tekanan publik selama waktu pelaksanaan merupakan faktor-faktor yang mengubah penggunaan opinion-based policymaking beralih pada penggunaan evidence-based policymaking.

Dinamika EBP: Dari Opini ke Bukti.
Diadaptasi dari Gray (1997) dalam Sutcliffe dan Court (2005). 

Sebagai contoh, Peraturan Menteri yang mengatur tentang prioritas penggunaan Desa. Opini yang berkembang di kalangan pembuat kebijakan adalah prioritas pembangunan Desa yang tidak koheren dengan prioritas kementerian/lembaga. Maka, terbitlah suatu opinion-based policy dalam bentuk perubahan Peraturan Menteri yang mengatur prioritas pembangunan Desa agar koheren dengan prioritas program kementerian/lembaga. 

Selama pelaksanaan peraturan tersebut terdapat evidence bahwa Dana Desa memungkinkan digunakan untuk membangun embung Desa di sebagian lokasi kabupaten dan Desa di Maluku Utara, namun tidak mungkin dibangun di sebagian Kampung di Keerom Papua karena embung bukan kepentingan Kampung. 

Data dan informasi di Maluku Utara dan Papua menguji opini yang digunakan pada Peraturan Menteri itu, sehingga substansi Peraturan Menteri tersebut selanjutnya direvisi dengan membuka pilihan rasional (rational choice) kepada Desa agar Desa menentukan secara mandiri prioritas pembangunannya.

D. Isu Utama EBP

Isu utama EBP adalah membahas tipe-tipe dan hirarki bukti (evidence). Para perancang berupaya mengumpulkan bukti-bukti awal untuk menggeser opini-opini subjektif yang selama ini menguasai pikirannya.

Tipe-tipe bukti (evidence). Tipe-tipe bukti bersifat analitik, interpretif, dan investigatif. Setelah para perancang mengkategori bukti-bukti, tindakan selanjutnya adalah menyusun bukti-bukti itu secara hirarkis agar otoritas kementerian/lembaga dapat memprioritaskan pengambilan keputusan.

Pertama, tipe bukti (evidence) yang bersifat analitik antara lain: 

  • pengetahuan dari para ahli (expert knowledge)
  • penelitian yang dipublikasi (published research)
  • penelitian yang sedang dilakukan (existing research)
  • konsultasi dengan stakeholder (stakeholder consultations)
  • evaluasi kebijakan atas program/kegiatan sebelumnya (previous policy evaluations)
  • informasi dari situs (internet)
  • hasil dari konsultasi publik (outcomes from consultations)
  • analisa pembiayaan dari pilihan-pilihan kebijakan (costings of policy options)
  • hasil analisa dari statistika ekonomi (output from economic and statistical modelling)

Kedua, tipe bukti (evidence) yang bersifat interpretif antara lain: 

  • foto yang menunjukkan kondisi sebelum dan sesudah pelaksanaan
  • dokumen laporan naratif dari program/kegiatan
  • catatan kunjungan lapangan
  • liputan media dan amatan etnografis
  • catatan autobiografi
  • hasil observasi lapangan

Ketiga, tipe bukti (evidence) yang bersifat investigatif antara lain:

  • investigasi terhadap kasus di lapangan
  • hasil evaluasi terhadap program/kegiatan di lapangan
  • kerangka teoritik yang dihasilkan dari analisis terhadap data (grounded research)
  • kodifikasi atas berbagai kebijakan pembangunan Desa dan penerapannya.
Hirarki bukti (evidence). Berbagai tipe evidence (data dan informasi) disusun berdasarkan pertimbangan data dan informasi yang bersifat hirarkis agar kementerian/lembaga dapat mengambil keputusan. Para perancang mampu melakukan sistematisasi terhadap hard evidence dan soft evidence. Secara hirarkis, perumus kebijakan cenderung menggunakan hard evidence daripada soft evidence, sehingga kebijakan (aturan hukum dan program/kegiatan) yang dihasilkan cenderung mengalami bias dan gagal menyuarakan kepentingan warga Desa secara utuh. Legislative drafter dituntut mampu memutuskan hirarki evidence yang relevan dengan kepentingan/kebutuhan Desa, sebagaimana dicontohkan sebagai berikut.

Pertama, hard evidence, antara lain:

  • data primer kuantitatif yang digali oleh peneliti,
  • data sekunder kuantitatif yang digali oleh kementerian/lembaga, dan/atau
  • hasil olah wawancara berbasis kuisioner.

Kedua, soft evidence, antara lain:

  • laporan naratif penelitian kualitatif-etnografis,
  • profil aktor kebijakan di Desa, dan/atau
  • hasil wawancara warga Desa, terutama warga miskin di Desa (the voices of the poor).

E. Indikator Bukti (Evidence)

Para perancang dituntut kecermatannya untuk menentukan bukti (evidence) yang relevan. Hal ini bisa dilakukan melalui indikator bukti (evidence). Indikator bukti (evidence) dimaksudkan untuk menguji relevansi data dan informasi yang sudah diperoleh oleh policymaker dan/atau legislative drafter, meliputi indikator kualitas, kredibilitas, relevansi dan praktis.

Pertama, kualitas. Data dan informasi diukur akurasinya, melalui pertanyaan-pertanyaan semisal:

  • apakah data dan informasi sesuai dengan tujuan kebijakan yang akan diatur?
  • apakah angka yang terdapat dalam data itu sudah tepat?
  • apakah variabel dan parameter data statistika sudah spesifik?
  • apakah informasi yang didapat sudah merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan warga dan pemerintah Desa?

Kedua, kredibilitas. Data dan informasi yang kredibel mempunyai argumentasi yang logis, analisa yang rasional-komunikatif, proses perolehan data dan analisa yang dapat dipertanggungjawabkan, dan presentasi atas kesimpulan yang jelas. Misalnya, para perancang dapat menguji kredibilitas atas data dan informasi tentang Desa melalui:

  • memeriksa kesahihan data dan informasi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian atau lembaga akademis yang paham sistem kebijakan dalam UU Desa.
  • konfirmasi data dan informasi kepada Organisasi Non-Pemeirntah (Non-Government Organization; NGO) yang selama ini mendampingi warga dan pemerintah Desa.
  • konfirmasi data dan informasi kepada pihak swasta yang selama ini melaksanakan program/kegiatan corporate social responsibility (CSR) untuk lembaga kemasyarakatan di Desa.

Ketiga, relevansi. Para perancang memerika bukti (evidence) yang mencakup hard evidence dan soft evidence berdasar kerangka waktu, topik dan implikasi kebijakan. Contohnya:

  • Perancang peraturan menteri yang mengatur tata tertib dan prosedur demokratis dalam Musyawarah Desa lebih tertarik pada data dan informasi tentang rembug Desa atau sebutan lainnya, daripada opini tentang Musrenbangdes yang diselenggarakan atas perintah pemerintah kabupaten/kota. 
  • Data dan informasi tentang Musyawarah Desa digali lebih luas (extensive information) atau dilakukan studi kasus, baik melalui prosedur sampling (kuantitatif) dan pemahaman konteks (kualitatif) atas fungsi BPD, Kerapatan Adat, pemerintah Desa, kaum perempuan, dan unsur masyarakat marjinal (warga yang masuk kategori Rumah Tangga Sangat Miskin, dan penerima bantuan lainnya seperti Program Keluarga Harapan).

Keempat, praktis. Data dan informasi yang telah diperoleh para perancang diuji daya-praktisnya, agar mudah dirumuskan ke dalam bahasa kebijakan dan/atau bahasa hukum peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh adalah pengalaman penulis berikut ini: 
  • Tim perancang berangkat ke lokasi studi antara lain Keerom dan Wamena (Papua) dan Sawahlunto dan Pesisir Selatan (Sumatra Barat).
  • Tim perancang menjumpai fenomena sosial bahwa istilah "lembaga kemasyarakatan di Desa" yang populer dikenal Desa adalah RT/RW, Posyandu, Karang Taruna, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.
  • Tim perancang menyelenggarakan Focus Group Discussion dan dalam FGD tersebut terdapat informasi bahwa "Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) telah menjadi organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum privat, terdiri dari pengurus pusat sampai dengan pengurus cabang.
  • Data dan informasi tersebut diolah dan dianalisa oleh para perancang sebagai bukti (evidence). Bukti-bukti itu secara praktis dirumuskan dalam bahasa kebijakan dan/atau bahasa kaidah hukum-yang-normatif antara lain sebagai berikut:
    • kebijakan pengakuan terhadap lembaga kemasyarakatan yang eksis di lapangan untuk menjadi lembaga kemasyarakatan Desa, melalui Perdes dan keputusan Kepala Desa;
    • BPD berfungsi menampung aspirasi lembaga kemasyarakatan berbasis Desa itu untuk disalurkan melalui Musyawarah Desa, agar menjadi lembaga kemasyarakatan Desa; 
    • prasyarat transformasi dari "LPM" yang berstatsu badan hukum privat itu menjadi salah satu jenis lembaga kemasyarakatan Desa antara lain kesediaan pengurus dan anggota lembaga kemasyarakatan LPM untuk ikut serta dalam seluruh urusan pemerintahan Desa (c.q. bidang administrasi pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan bina kemasyarakatan Desa). 
F. Penutup  

Para perancang memerlukan refleksi-diri apakah dirinya sudah akil baligh dalam memahami dan menguraikan ilmu pengetahuan terapan EBP ini. Dalam kondisi akil baligh atau dewasa maka para perancang memahami bahwa hukum adalah tindakan komunikatif, dan bukan merancang dokumen aturan berbekal kemampuan teknis bahasa hukum yang normatif-doktrinal. Tindakan komunikatif itu berlangsung secara metodologis melalui pencarian dan pengujian EBP secara komunikatif antara para perancang dan subjek-penerima-hukum yaitu masyarakat dan/atau Desa. Barulah setelahnya para perancang melakukan rasionalisasi hukum dalam bentuk bahasa hukum atau bahasa kaidah hukum dalam kebijakan hukum dan/atau aturan hukum yang dirancang. 

Setelah para perancang memahami pembahasan konsep EBP ini maka tema selanjutnya adalah tahapan implementasi EBP. Selamat sabar-menjalani.*

Klik: Tahapan Implementasi EBP

"Aku donasi maka Aku ada"




Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana