Opini Terbaru
Tenaga Pendamping Profesional Desa di Kawasan Perdesaan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tenaga Pendamping Desa Profesional (selanjutnya disingkat: TPP) pada tahun 2022 memasuki babak baru yakni profesionalitas yang dibuktikan dengan persiapan uji kompetensi dan rangkaian proses sertifikasi kompetensinya. Sebagai profesi yang direkognisi secara formal melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), maka TPP terikat pada beberapa standar kompetensi normatif. Bagaimana jika fenomena TPP dihubungkan dengan program pembangunan kawasan perdesaan yang aktual?
FENOMENA TPP
~ Anom Surya Putra ~ |
Kedua, TPP selama ini mempunyai hubungan yang tidak ketat, atau hubungan secara relatif, dengan agenda pembangunan kawasan perdesaan yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa. Sebelumnya, pada awal berdirinya Kementerian Desa PDTT terdapat pendamping kawasan perdesaan, tetapi seiring berjalannya waktu pendamping kawasan perdesaan itu masa kontraknya tidak diperpanjang dengan berbagai alasan administrasi keuangan. Ketika saat ini struktur organisasi TPP diberi “tugas tambahan” menjalankan sebagian urusan pembangunan kawasan perdesaan, apakah telah terdapat asupan tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap-etis (attitude) ketika bersua dengan berbagai kelompok kepentingan di Desa, Daerah dan “kawasan perdesaan tematik”?
Ketiga, TPP secara spesifik akan “diberi tugas tambahan” untuk mengawal perekonomian BUM DESA BERSAMA (BUMDESMA), sebutan lain untuk BUM Desa yang diselenggarakan dalam skala kerjasama usaha antar Desa, dan mengawal kerjasama antar Desa. Selaras dengan fenomena normatif SKKNI, apakah rasionalisasi hukum yang memungkinkan agar TPP menjalankan tugas tambahan itu? Seandainya TPP mendampingi BUM Desma di suatu kawasan perdesaan tematik, apakah tugas tambahan itu akan terakui dengan ukuran Unit Kompetensi tertentu?
Keempat, hubungan antara TPP, BUM DESMA dan kerjasama antar Desa secara empiris. Fenomena BUM Desma di suatu kawasan perdesaan sedang mengalami masalah yang kompleks. Tidak semua UPK DBM mantan PNPM-MPd bersedia berubah-bentuk ke dalam institusi BUM Desma. Berbagai alasan bisa kita utarakan: keterbatasan pemahaman dari UPK DBM tentang BUM Desma karena selama ini mereka hanya kerja, kerja, kerja berdasar petunjuk teknis operasional dan sangat tidak terbiasa berpikir dalam spirit UU Desa, apalagi kemampuan untuk menginterpretasi hukum transformasi UPK DBM. Alasan lain misalnya, UPK DBM mengalami kecemasan bila uang yang telah mereka kelola bertahun-tahun itu akan “dipergunakan” oleh para Kepala Desa (ex-officio penasihat BUM Desma) tatkala para penasihat butuh uang juga. Dalam kondisi "tugas tambahan", peran TPP di lokasi kawasan perdesaan tematik akan mengemban transformasi BUM Desma yang beberapa tahun lalu banyak didirikan di kawasan perdesaan. Beberapa BUM Desma itu mungkin masih aktif dan lainnya mungkin mangkrak. Apalagi para Kepala Desa itu belum berhasil melakukan penyertaan modal kepada BUM DESMA transformatif itu, maka UPK DBM dan BUM Desma "kawasan perdesaan" tidak mudah didampingi oleh TPP. Pada konteks empiris, apakah pihak penyelenggara sudah memperhitungkan biaya dan manfaat (cost and benefit analysis) ketika TPP bergerak ke arena kerjasama antar Desa dan lebih khusus lagi kerjasama antar Desa itu berada di arena kerjasama usaha antar-Desa?
KOMPETENSI FASILITASI PENDATAAN DESA
Fenomena TPP dalam masalah kebijakan pembangunan kawasan perdesaan mungkin disederhanakan dalam konteks pengumpulan data untuk kepentingan “strategi pengukuran Indeks Perkembangan Kawasan Perdesaan”. Sesuai tema rapat koordinasi maka struktur organisasi TPP cenderung hanya berada pada skala “memahami dan melaksanakan” tapi bukan “analisis”. Bila demikian halnya maka TPP perlu memahami cara berpikir yang rumit tentang (statistika) Indeks tersebut.
Indeks Perkembangan Kawasan Perdesaan (Indeks-PKP) terdiri dari 5 (lima) Dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial budaya, lingkungan, jejaring prasarana dan sarana, dan kelembagaan. Masing-masing dimensi diandaikan akan didata oleh struktur organisasi TPP. Perihal bagaimana cara menghitung nilai indeks dimensi “sebelum intervensi” dan “sesudah intervensi”, atau nilai indeks komposit “sebelum dan sesudah intervensi”, pada tahun 2022, apakah akan menjadi “tugas tambahan TPP” juga?
Bagaimana hubungan antara tugas tambahan itu dengan unit kompetensi? Kita periksa seksama Unit kompetensi “Melakukan fasilitasi pendataan Desa”, kode Unit M.74TPP01.001.2, TPP melakukan identifikasi kebutuhan, fasilitasi pendataan dan fasilitasi penyusunan laporan pendataan Desa, yang semuanya dikaitkan dengan aturan yang tepat. Dalam proses kerja profesional maka hubungan antara TPP dan otoritas Kementerian harus memastikan suatu konsensus: urusan tugas tambahan tentang identifikasi kebutuhan, fasilitasi pendataan dan fasilitasi penyusunan laporan pendataan Indeks-PKP merupakan bagian dari Unit Kompetensi ini atau tidak? Karena unit kompetensi ini mempunyai variabel “Kebutuhan pendataan pembangunan desa tidak terbatas pada data Sustainable Development Goals (SDGs) Desa, Indeks Desa Membangun (IDM), Potensi Desa dan stunting.”
Jika kebutuhan pendataan ini meluas hingga dimensi-dimensi Indeks-PKP maka sumber data itu tentu diperoleh dari stakeholder yang lebih besar representasinya. Seandainya masing-masing dimensi Indeks-PKP mencakup institusi “pengurus kawasan perdesaan, berbagai dinas, BUM Desa/BUMDesma, kelompok tani dan lain sebagainya”, apakah telah dipertimbangkan kecukupan biaya dan manfaat yang akan diperoleh? Siapakah pemanfaat dari data Indeks-PKP tersebut: desa, “pengurus kawasan perdesaan (kurang jelas siapa yang dimaksud, mungkin maksudnya BADAN KERJASAMA ANTAR DESA versi UU Desa), atau kementerian Desa? Sejauhmana Indeks-PKP ini akan membawa misi “Desa berdaulat atas data, sehingga berkekuatan untuk mengatur dan mengurus pembangunan kawasan perdesaan’? Apakah yang sebenarnya dituju oleh kegiatan Indeks-PKP: menyelesaikan masalah pembangunan kawasan perdesaan melalui aktivitas ekonomi BUM Desa/BUMDESMA dan kerjasama antara Desa, atau sekedar mengkoleksi data? Peristiwa pendataan SDGs Desa pada tahun 2020-2021 setidaknya cukup menjadi pembelajaran bersama bahwa agenda pendataan harus diiringi dengan kepastian kewenangan Desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri (self-governing).
KOMPETENSI FASILITASI KERJASAMA ANTAR DESA
Dalam modul/bahan bacaan MOT/TOT TPP terdapat semacam “proyek perubahan” atau “agenda perubahan” bahwa TPP melakukan pemetaan sosial Desa. Ini mencakup data demografi, geografi, psikografi dan pola komunikasi. Tujuannya, TPP kembali ke basis masyarakat Desa dan tidak sibuk di kantor/balai Desa saja. Hasil sementara, sebagian TA Kabupaten mempunyai perubahan orientasi pendampingan melalui pemetaan sosial ini, meskipun masih berlangsung dalam micro-teaching. Materi ini menarik, jika TPP berhasil melakukan pemetaan sosial Desa, maka TPP punya bukti-bukti (data dan informasi) ketika Desa ingin saling bekerjasama.
Yang penting untuk dipertimbangkan adalah kecenderungan historis Desa-desa di Indonesia, khususnya tentang REPUBLIK Desa, Desa-desa akan bekerjasama secara self-governing ketika terjadi kelangkaan sumber daya bersama (hutan, irigasi, air, dan seterusnya). Ini tentu mesti dikaitkan relevansinya dengan hasil analisa pemetaan sosial Desa, daripada kerjasama antar Desa yang didorong oleh dimensi-dimensi statistik dari indeks-PKP semata.
Mari kita lihat SKKNI TPP yaitu Unit kompetensi M.74TPP01.015.2 “Melakukan Fasilitasi Kerja sama Antar Desa”. Forum rapat koordinasi ini perlu mencapai konsensus: apakah lingkup TPP mencakup fasilitasi persiapan dan pelaksanaan kerjasama antar Desa yang terdapat di lokasi kawasan perdesaan, dengan menimbang bahwa TPP sudah pasti sibuk mengurus pemetaan sosial di Desa, kerjasama antar Desa, dan mengawal Indeks-PKP?
Satu hal lagi unit kompetensi TPP yang terhubung dengan kerjasama antar Desa, lebih spesifik lagi, kerjasama usaha antar-Desa yaitu Unit kompetensi M.74TPP01.012.2 Melakukan Fasilitasi Pembentukan Badan Usaha Milik Desa Bersama. Pengetahuan yang diperlukan adalah tahapan pendirian, jenis usaha, permodalan BUMDesma, serta pengetahuan tentang kerjasama Desa dan kerjasama antar Desa. Keterampilan yang dibutuhkan adalah TPP mampu membuat rencana usaha dan kelayakan usaha, mengoperasionalkan teknologi dan informasi, dan melakukan komunikasi verbal dan non verbal.
Pada rapat koordinasi ini penting untuk disentuh dengan pemahaman timbal-balik, sejauhamana TPP akan melakukan aktivitas tentang “pengawalan BUM Desma dan kerjasama antar Desa” dihubungkan dengan SKKNI TPP. Apakah yang akan dikawal TPP: aspek pendataan atau aspek pengetahuan dan keterampilan yang tersebar pada beberapa unit kompetensi?
Dan setelah mencermati begitu banyak agenda internal TPP dan urusan Indeks-PKP, sejauh dipertimbangkan dalam keilmuan hukum Regulatory Impact Assessment (RIA), maka perlu dihitung aspek biaya dan manfaat ketika TPP bertanggungjawab atas substansi hukum Kepmendesa PDTT No. 63/2022 tentang Indeks PKP. “Produk kebijakan berupa Kepmen” ini secara analitis-empiris dan normatif-doktrinal tidak terdapat kejelasan: siapa subjek yang berwenang dan diberi mandat oleh Menteri, bagaimana prosedur pelaksanaannya melibatkan TPP, sedangkan di lain pihak diktum dan lampiran Kepmendesa No. 63/2022 a quo didominasi oleh substansi pola penghitungan Indeks-PKP.
Lagipula bentuk hukum modern bernama keputusan tetapi bersifat mengatur (detail program Indeks-PKP) ini, sejak UU No. 12/2011 juncties UU No. 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya konsisten dinormakan dalam bentuk peraturan menteri dan bukan keputusan menteri. Dan bukan suatu “keputusan hukum internal” yang kosong norma mandat, karena tidak mungkin tanggung jawab (pendataan) dilakukan langsung oleh Menteri.
Mandat kepada direktorat jenderal tertentu dan TPP selayaknya dipertimbangkan dalam pencabutan aturan Indeks-PKP dan dibentuk aturan baru (peraturan menteri) yang mengatur wewenang, substansi hukum dan prosedur, agar terdapat pelembagaan norma-norma hukum dan praktik Berdesa di kawasan perdesaan --tentu saja, lengkap dengan aspek pembiayaan kepada kedua institusi tersebut.
"Logika HUKUM tanpa logistik", mungkin hanya menciptakan aturan yang miskin praktik.
Selamat berdiskusi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar