PENGANTAR Jürgen Habermas | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse
Dapatkan link
Facebook
Twitter
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
OPINI Berdesa: Dua Puluh Lima Abad Badan Hukum BUM Desa
Dapatkan link
Facebook
Twitter
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Ditulis oleh: Naeni Amanulloh, Pengajar Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta
Banyak kalangan merasa optimis dengan kemajuan Indonesia ketika ‘Membangun dari Pinggiran’ dinyatakan sebagai salah satu komponen paradigma pembangunan oleh Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya. Tentu bukan kemajuan yang biasa-biasa saja yang diharapkan. Melainkan kemajuan yang berbasis pada kenyataan dan (potensi) kekayaan Indonesia yang terhampar di tempat-tempat yang jauh dari pusat kota. Dan bukan sekadar kemajuan objek pembangunan. Karena dengan paradigma ‘Membangun dari Pinggiran’ mereka yang berada di pinggiran itu akan menjadi subjek penting pembangunan. Mereka yang berada di pinggiran itu tidak lain adalah Desa.
‘Membangun dari pinggiran’ juga tepat momentumnya. Ia tercetus setelah Desa diakui sebagai sebentuk pemerintahan masyarakat, bentuk campuran dari self-governing community dengan local self-government, melalui terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. UU Desa mengakui kewenangan lokal skala desa, termasuk dalam membentuk dan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). BUM Desa seterusnya menjadi pusat harapan bagi bangkitnya ekonomi Desa. Letak istimewanya, badan usaha ini dibayangkan akan menjadi jelmaan daya-upaya ekonomi masyarakat Desa, yang mengoperasikan potensi ekonomi desa, bergulir dengan ciri-ciri Desa, sekaligus mampu bersaing dalam sistem ekonomi pasar. Singkatnya, BUM Desa diharapkan akan menjadi tumpuan hajat hidup Desa.
Harapan itu belum padam, namun bukan berarti masalah tidak muncul. Sebuah buku berjudul ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ (LKiS, 2020) berusaha mengurai benang kusut problematika status badan hukum BUM Desa. Buku ini ditulis oleh Anom Surya Putra, hasil dari penelitian panjangnya di BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten. Secara intensif, buku ini menginvestigasi kemelut hukum yang dialami oleh BUM Desa Tirta Mandiri, serta berbagai siasat yang ditempuh pemerintah desa serta pengelola BUM Desa dalam menghadapi kemelut itu.
MENONJOLKAN SOSIOLOGI HUKUM
Buku ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ tersusun dalam tujuh bab. Bab Pertama berisi pendahuluan, yang memaparkan latar belakang, masalah penelitian, serta diskusi teoritik. Bab Kedua memuat formasi diskursus Desa sebagai badan hukum secara kronologis, dimulai dari era pra-sejarah, era negara-kerajaan, era kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Setelah menggambarkan berbagai diskursus badan hukum desa dalam pengalaman sejarah itu, Bab Ketiga didedikasikan untuk memaparkan formasi diskursus BUM Desa. Bab ini dilanjutkan dengan Bab Keempat yang berisi pengisahan tanggapan BUM Desa Tirta Mandiri atas masalah badan hukum yang dialami.
Pada Bab Kelima buku ini menyajikan analisis upaya-upaya BUM Desa Tirta Mandiri dalam mengembalikan kemandirian ekonomi desa. Secara teliti dan terperinci, penulis buku memaparkan langkah-langkah yang diambil oleh BUM Desa Tirta Mandiri dalam menegakkan kemandirian (ekonomi) Desa dengan mengacu pada UU No. 6/2014 tentang Desa. Berpijak pada temuan empiris yang telah dipaparkan di bab-bab sebelumnya, penulis memberikan komentar serta catatan kritis atas langkah atau tindakan strategis yang diambil oleh Kementerian Desa. Sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam pengaturan tentang Desa. Buku ini diakhiri dengan kesimpulan dan saran pada Bab Ketujuh.
Telah disebut dimuka, buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang cukup panjang. Peneliti melakukan fieldwork di desa Ponggok, melakukan pengamatan dan wawancara pada sekian narasumber. Cara kerja semacam ini sengaja dipilih oleh penulis buku untuk mendapatkan pengalaman dan informasi secara langsung dan akurat dari para subjek yang selama ini cenderung berada dalam posisi sebagai ‘objek’ yang diatur. Penelitian hukum empiris – atau penelitian hukum non-doktrinal – semacam ini memaknai hukum sebagai gejala empiris, disamping sebagai doktrin. Dengan pilihan cara kerja ini, penulis menganalisis, merefleksikan, dan mengkaji ‘Cara Berhukum dari Desa’ (lihat hlm. 55).
Pendekatan Sosiologi Hukum semacam ini sangat penting dalam konteks implementasi UU Desa. Tangkapan penelitian empiris yang berbasis pada kenyataan lebih cocok dan sesuai dengan asas rekognisi UU Desa sebagai basis informasi dan analisis dalam penyusunan kebijakan. Dibanding dengan model pengaturan dan penerbitan kebijakan yang secara sepihak ditentukan dari atas oleh pemerintah pusat. Dengan mengambil pilihan pada cara kerja penelitian hukum non-doktrinal, penulis buku ini mengedepankan Cara Berhukum dari Desa sebagai sumber informasi primer yang nilai pentingnya bersifat koeksisten dengan pandangan hukum-doktrinal.
BADAN HUKUM DESA DALAM RENTANG 25 (DUAPULUH LIMA) ABAD
Selain pendekatan sosiologi hukum, penulis buku juga menunjukkan secara gamblang pergeseran dan pembentukan diskursus status badan hukum tentang Desa sepanjang sejarah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penulis buku ini mengulas secara garis besar kedudukan Desa dalam rentang 25 (duapuluh lima) abad! Terhitung sejak 500 tahun Sebelum Masehi). Deskripsi tentang badan hukum Desa ini dituangkan dalam 95 halaman bab kedua – bab terpanjang pada buku ini.
Apabila kita menyimak baik-baik bab ini, kita akan mengerti bahwa kemunduran status badan hukum tentang Desa justru dipercepat setelah Indonesia merdeka. Khususnya menjelang dan sepanjang era orde baru. Pada era Badan Hukum Desapraja misalnya, Desa diakui statusnya secara khusus – dalam istilah desapraja. Menurut penulis buku, ini adalah ‘bentuk kompromistis antara Desa-desa dan pemerintahan daerah otonomi tingkat III’ (lihat hlm. 133).
Sementara pada awal orde baru, dan dalam konteks perang dingin, Desa menjadi ‘lokus perang dingin’, simbol keterbelakangan, yang dalam posisi Indonesia sebagai bagian dari negara non-komunis, ‘telah membuka peluang hadirnya kalangan ahli dan teknokrat untuk mengubah Desa sesuai agenda modernisasi dan pembangunanisme’ (lihat hlm. 137). Ini adalah era ketika Desa yang mandiri seperti pada masa-masa negara-kerajaan, serta Desa yang memiliki status otonom seperti pada masa kolonial, merosot statusnya menjadi objek intervensi negara. Desa yang secara historis adalah satuan sosio-kultural dan unit sosio-politik yang jauh lebih tua dibanding negara Indonesia-modern, ditaklukkan dan dihapus keunikannya.
Pendekatan historis yang tampaknya menjadi perhatian khusus penulis ini hendak mengingatkan para pembaca bahwa lapis-lapis masalah yang tertimbun dalam konteks pengaturan dan kehidupan Desa, terbentuk dalam rentang abad namun diakselerasi hanya dalam rentang waktu dasawarsa. Pada era Majapahit, ‘Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri’ (lihat hlm. 81). Sementara dalam era orde baru, Desa tidak kurang menjadi titik sangga intervensi negara, simbol keterbelakangan, dan titik mula bagi proyek modernisasi dan pembangunan.
HUBUNGAN TRIADIK
Anom Surya Putra mengajukan konsep Restorasi Republik Desa. Dengan membuat hubungan triadik antara konsep ini dengan diskursus badan hukum Desa yang dipaparkan dalam Bab Dua dan dengan kasus empiris terkait status BUM Desa Tirta Mandiri, konsep Restorasi Republik Desa sangat menarik dan dapat menjadi pijakan naratif dalam mengarahkan trayek perjalanan BUM Desa di bawah UU Desa.
Sayangnya, sejauh pemeriksaan saya, Anom tidak memberikan paparan yang terang mengenai konsep ini dalam bukunya. Namun kita dapat menangkap bahwa agenda restorasi yang ia maksud kurang lebih adalah rangkaian praktik yang secara konsisten berjalan dalam aras rekognisi dan subsidiaritas – dua asas terpenting dalam UU Desa.
Restorasi Republik Desa menunjuk pada pentingnya ‘Cara Berhukum dari Desa’, atau Desa sebagai subjek yang basis legalnya telah begitu terang-benderang dalam UU Desa itu sendiri. Dengan agenda restorasi ini, Anom tengah menegaskan kembali tuntutan banyak aktivis atau pejuang Desa yang bercita tentang Desa sebagai ‘badan hukum yang berhak melakukan perbuatan hukum publik maupun privat, memiliki kekayaan dan harta benda bangunan, menuntut dan dituntut di pengadilan, dan kepala Desa berwenang melakukan perjanjian atas persetujuan Badan Permusyawaratan Desa’ (lihat hlm. 66).
Ini agenda besar yang tentu saja tidak mudah. Dan dari sinilah kita dapat memposisikan kasus BUM Desa Tirta Mandiri dalam buku ini sebagai kisah yang (tampaknya) mewakili pengalaman BUM Desa di tempat lain.
Secara sederhana, kasus BUM Desa Tirta Mandiri dapat dibahasakan dengan cara seperti ini. Progresifitas praktik ekonomi di tingkat lokal dan progresifitas payung hukum di tingkat nasional (UU Desa), secara empiris belum cukup menjamin mulus dan lancarnya aktivitas ekonomi desa melalui BUM Desa. Salah satu pengalaman BUM Desa Tirta Mandiri adalah penolakan oleh calon mitra (bank) ketika BUM Desa di Ponggok ini mengajukan proposal kredit. Anom menuliskan pernyataan salah seorang informannya: “Desa Ponggok dikenalkan oleh Kementerian Desa ke BUMN dan kami tindaklanjuti melalui kerjasama dengan BNI di daerah. Tetapi, tanggapannya kalau dibahasakan begini, mau pinjem, legalmu opo, asetmo opo…” (hal. 221). Pengalaman semacam ini memperlihatkan bahwa sementara Desa dan BUM Desa Tirta Mandiri telah berada dalam rel progresif UU Desa, calon mitra mereka masih menggunakan acuan payung hukum lama.
Melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri, Anom sampai pada sebuah definisi – sekaligus poin yang ia advokasi – bahwa BUM Desa tidak lain adalah ‘Badan Hukum Publik bercirikan Desa’. Secara historis, Desa memiliki asal-usul panjang yang karena itu Desa memiliki latar belakang keberadaannya yang jauh lebih tua dan khas. Pada saat yang sama asal-usul tersebut telah diakui oleh UU Desa. Dengan melakukan pelacakan historis, investigasi atas pengaturan tentang desa dan status badan hukum BUM Desa, dan dengan melalui pendekatan empiris, Anom tengah memastikan agar rekognisi (recognition) tidak terpeleset menjadi misrekognisi (misrecognition). Misrekognisi mungkin terjadi apabila pengaturan-pengaturan dari pusat disusun tanpa peduli dengan cara berhukum yang berkembang dalam dan dari Desa itu sendiri.
EKSTENSIFIKASI BADAN HUKUM BUM DESA
Buku ini membicarakan perihal badan hukum BUM Desa dengan sangat ekstensif. Sesungguhnya isu teoritis, baik di ranah hukum maupun sosiologi, yang digunakan untuk memandu analisis data dan informasi lapangan dalam buku hasil penelitian ini sangat menarik untuk didiskusikan. Konsep tindakan komunikatif, personalitas desa, dan Genossenschaft misalnya, tidak kurang penting untuk didiskusikan secara tersendiri. Pembaca yang ingin mendalami kontekstualisasi konsep-konsep tersebut, serta subjek penting lain, akan sangat terbantu apabila buku ini dilengkapi dengan daftar indeks.
Di bagian penutup, Anom menggarisbawahi pentingnya pendekatan diskursus teoritis badan hukum yang direfleksikan dari realitas kehidupan berdesa. Ia telah melakukannya melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri. Pendekatan empiris atau non-doktrinal semacam ini, khususnya dalam konteks implementasi UU Desa, tampaknya merupakan pendekatan yang harus diutamakan dalam penelitian terkait dengan pengaturan tentang Desa. Tuntutan atas pendekatan ini bukan semata-mata karena Desa di Indonesia demikian plural dan tidak dapat dibungkus begitu saja dalam satu karung yang sama. Melainkan juga sebagai pewujudan amanat rekognisi Desa dalam UU Desa.*
Day 1 DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge - So Hum The Reality of Abundance DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge. Day 1 Here we go! After you complete the task, please write: "Day 1 Done." You can leave the group if you decide not to continue. I highly recommend doing the meditation and the task at the beginning of the day, if possible. It changes the course of the day! Task In your new notebook, make a list of 50 people that have influenced your life. They can be both living and already departed people, your relatives, friends, and celebrities, writers and personalities whom you do not necessarily know personally. Everyone who has influenced you, and contributed to your growth & development. The list must have at least 50 names. In the process of making a list, think about why you chose the person. What has changed in your life for the better? Move calmly and thoughtfully. Remember the best things about each person in the list and w
Tulisan ini merupakan translasi dari tulisan Chiara Valentini , Senior Researcher in Philosophy of Law , Department of Legal Studies and Alma Human AI, University of Bologna (Italy). Source: Chiara Valentini, “ Deliberative constitutionalism and judicial review ”, Revus [Online], 47 | 2022, Online since 20 March 2022, connection on 25 July 2022. URL: http://journals.openedition.org/revus/8030; DOI: https://doi.org/10.4000/revus.8030 This is a copy of an Indonesian translation of “Deliberative constitutionalism and judicial review” (2022), Chiara Valentini, Revus [Online], Translated by Anom Surya Putra. Please cite as: Chiara Valentini, 2022. "Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review ." Blog Anom Surya Putra. Juli 2022. ------------ Abstrak Konstitusionalisme deliberatif merupakan bidang yang muncul yang menggabungkan teori konstitusi –-dan penekanannya pada batasan hukum untuk kekuasaan politik-– dengan teori demokrasi deliberatif -– dan idea-idea tentang delibera
Welcome to day ten. Although all of the events in your life are governed by the law of cause and effect, and our karmic events, there is great freedom in knowing, that if you do not like the results of a previous choice, then you can always choose again. In every situation, there are countless alternatives that affect you and those around you. When you go to make that singular choice, it should nourish you, and everyone else, influenced by your actions. This, is the law of karma or conscious choice making. True abundance or affluence is the ability to fulfill one's desires with minimal effort. When we speak of abundance as it relates to the law of karma, we can look to the concept of stewardship, responsibly caring for something we value, as a path to realizing our dreams. Taking proper care of a child. Making healthy choices for our bodies. Or using Earth's natural resources responsibly. All these are examples of good stewardship. Every action we take, generates a force of en
Welcome to day six. We are born with everything we need, the life of fulfillment and success. But often we measure our love, joy, health, vitality, and other positive qualities, by comparing ourselves to someone or something else. Perhaps thinking thoughts like, I have a loving relationship, but not as loving as my friends. Or, I live in a nice house, but not as big as my brothers. Or, I have a good job, and I don't make as much money as my colleague. Such comparisons, stem from object referral, looking outside oneself for validation. But an abundant life is not about external comparisons. Instead, a life of fulfillment comes from within, through the knowledge that you were created with everything you need to be happy and successful, and can access those seeds of abundance, at any time. Currently all over the world many people are experiencing difficult times. When we experience such setbacks, we sometimes feel like we will never achieve success. Yet, in every perceived failure or
Welcome to Day 16. Experiencing gratitude, is one of the most effective ways of getting in touch with your soul. When you feel gratitude, your ego steps out of the way, enabling you to enjoy greater love, compassion, and understanding. Genuine gratitude, is also one of the most powerful ways, to invite more goodness into our lives. It's as if you are saying to the universe, please bring me more of this. Gratitude is independent of any situation, circumstance, person, or experience. When you connect with this true inner joy, you feel bliss for no reason. Simply being alive, to gaze at the Stars, and appreciating the miracle of life itself, brings you happiness. To feel gratitude, consider all the wonderful gifts you enjoy in your life. Nurturing loving relationships. Connections you have with very special beings. The miracle of your body and fertile mind, and material comforts. Appreciating your life in this manner, sweeps away any thought of lack or limitation, and reminds you
Welcome to day seven. Congratulations on completing the first week, of the Chopra Center 21-day meditation challenge, creating abundance. Over the past six days, we have discovered the reality and source of abundance, which is unlimited and eternal. We've learned that mind, matter, and spirit, work in conjunction with one another, to manifest abundance that in the silent field of all possibilities, dwell the seeds of success, and that when you live from within, your desires are fulfilled quickly, spontaneously, and with minimal effort. This week, we'll contemplate what we sometimes call a coincidence, a miracle, or just good luck. Ask yourself, how long does it take for a dream to come true. In the minds of some specific conditions must be met, plans must be in place, a certain amount of time must pass, and effort needs to be exerted. However these conditions all spring from the physical three-dimensional world. In deeper levels of consciousness, what we call a dream, miracle
Welcome to day four. Noted Swiss psychologist and psychiatrist Carl Jung, coined the term, Collective unconscious. He coined the term to signify the beliefs we hold, that are based on what others have taught us. All these beliefs, stem from object prefer, seeking answers, externally, and accepting others portrayals of how life is supposed to be. As we reconnect with the higher self, they are living within for guidance, we begin to live our lives through self-refer, detaching from external messages, and living from Pure Consciousness or the unified field. As we contemplate our understanding of abundance, We may realize that our social conditioning has led us to believe, that there is only so much to go around, a finite amount of money, or a limited number of opportunities. Whether we define abundance as material wealth, love, joy, friends for recognition, we project the idea that these resources are scarce, and when they are gone, there will be no more. If this has been your experienc
Welcome to day eight. Welcome to our second week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. This week you will learn how to attract greater abundance, by applying the laws from my book, the seven spiritual laws of success to your life. Today we'll focus on the first law. The law of pure potentiality, which asserts that in our essential state, we are pure consciousness, pure potentiality and the field of all possibilities. When you discover your true nature, and know who you really are, you experience pure being, and sand fearless, in the face of any challenge. In this state, you're anchored in the unlimited and eternal power of the Self, restores people situations and circumstances to you, to help support your deepest desires. Engage in our daily activities, we sometimes hear thoughts and opinions, often expressed as fact, that do not reflect our divine essence, for instance, we may hear news that good jobs are scarce, the global financial picture is bleak, or the worl
Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris. This is a copy of an Indonesian translation of “ Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition ” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra. Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum." Blog Anom Surya Putra , Juni 2022. ------------------------------- PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Mathieu Deflem Buku ini menyajikan visi-visi sosiologi hukum yang digerakkan secara teoritis dan berorientasi pada penelitian, berdasarkan pembahasan capaian u
Welcome to Day 17. There are some who live day to day, concerned about not having enough, of whatever they feel is necessary, for their happiness and security. Their bodies most likely echo those feelings, by sending messages of discomfort, in the form of anxiety, worry, or stress. This however doesn’t have to be. Instead, if we learn to trust the intelligence of the universe, and practice living carefreeness, we can live fearlessly, without worrying, and focus on lack. We can expect only the best, and live our lives, from a place of true joy. When the mind nourishes the body, with its carefree thoughts, and feelings, the body returns to its natural state of happiness and calm. And, from this state of bliss, you’ll be able to regain the memory, of who and what you really are. A spiritual being. Inextricable interconnected, with the creative power of the universe. Reconnecting with your true nature, you cross the invisible boundary, between the ego and true self. You begin to feel more
Komentar