HUKUM KOMUNIKATIF: ADAPTASI PEMIKIRAN HUKUM DAN FILSAFAT JÜRGEN HABERMAS PENULIS: ANOM SURYA PUTRA *** Hukum Komunikatif. Istilah ini penulis peroleh setelah bongkar pasang gagasan tentang pengetahuan hukum apa yang tepat untuk mewarnai diskursus ilmu hukum ( jurisprudence ) dan ilmu sosial-hukum ( legal science ) di Indonesia. Cara berpikir Hukum Komunikatif berakar dari buku karya Habermas. Judul aslinya adalah Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats , Frankfurt a.M. 1992. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul " Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy " (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996). Buku ( online ) ini, entah suatu saat nanti akan terbit dalam versi cetak, ditulis dengan gaya rileks atau semacam humor yang belum tentu memancin...
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
OPINI Berdesa: Dua Puluh Lima Abad Badan Hukum BUM Desa
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Ditulis oleh: Naeni Amanulloh, Pengajar Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta
Banyak kalangan merasa optimis dengan kemajuan Indonesia ketika ‘Membangun dari Pinggiran’ dinyatakan sebagai salah satu komponen paradigma pembangunan oleh Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya. Tentu bukan kemajuan yang biasa-biasa saja yang diharapkan. Melainkan kemajuan yang berbasis pada kenyataan dan (potensi) kekayaan Indonesia yang terhampar di tempat-tempat yang jauh dari pusat kota. Dan bukan sekadar kemajuan objek pembangunan. Karena dengan paradigma ‘Membangun dari Pinggiran’ mereka yang berada di pinggiran itu akan menjadi subjek penting pembangunan. Mereka yang berada di pinggiran itu tidak lain adalah Desa.
‘Membangun dari pinggiran’ juga tepat momentumnya. Ia tercetus setelah Desa diakui sebagai sebentuk pemerintahan masyarakat, bentuk campuran dari self-governing community dengan local self-government, melalui terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. UU Desa mengakui kewenangan lokal skala desa, termasuk dalam membentuk dan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). BUM Desa seterusnya menjadi pusat harapan bagi bangkitnya ekonomi Desa. Letak istimewanya, badan usaha ini dibayangkan akan menjadi jelmaan daya-upaya ekonomi masyarakat Desa, yang mengoperasikan potensi ekonomi desa, bergulir dengan ciri-ciri Desa, sekaligus mampu bersaing dalam sistem ekonomi pasar. Singkatnya, BUM Desa diharapkan akan menjadi tumpuan hajat hidup Desa.
Harapan itu belum padam, namun bukan berarti masalah tidak muncul. Sebuah buku berjudul ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ (LKiS, 2020) berusaha mengurai benang kusut problematika status badan hukum BUM Desa. Buku ini ditulis oleh Anom Surya Putra, hasil dari penelitian panjangnya di BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten. Secara intensif, buku ini menginvestigasi kemelut hukum yang dialami oleh BUM Desa Tirta Mandiri, serta berbagai siasat yang ditempuh pemerintah desa serta pengelola BUM Desa dalam menghadapi kemelut itu.
MENONJOLKAN SOSIOLOGI HUKUM
Buku ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ tersusun dalam tujuh bab. Bab Pertama berisi pendahuluan, yang memaparkan latar belakang, masalah penelitian, serta diskusi teoritik. Bab Kedua memuat formasi diskursus Desa sebagai badan hukum secara kronologis, dimulai dari era pra-sejarah, era negara-kerajaan, era kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Setelah menggambarkan berbagai diskursus badan hukum desa dalam pengalaman sejarah itu, Bab Ketiga didedikasikan untuk memaparkan formasi diskursus BUM Desa. Bab ini dilanjutkan dengan Bab Keempat yang berisi pengisahan tanggapan BUM Desa Tirta Mandiri atas masalah badan hukum yang dialami.
Pada Bab Kelima buku ini menyajikan analisis upaya-upaya BUM Desa Tirta Mandiri dalam mengembalikan kemandirian ekonomi desa. Secara teliti dan terperinci, penulis buku memaparkan langkah-langkah yang diambil oleh BUM Desa Tirta Mandiri dalam menegakkan kemandirian (ekonomi) Desa dengan mengacu pada UU No. 6/2014 tentang Desa. Berpijak pada temuan empiris yang telah dipaparkan di bab-bab sebelumnya, penulis memberikan komentar serta catatan kritis atas langkah atau tindakan strategis yang diambil oleh Kementerian Desa. Sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam pengaturan tentang Desa. Buku ini diakhiri dengan kesimpulan dan saran pada Bab Ketujuh.
Telah disebut dimuka, buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang cukup panjang. Peneliti melakukan fieldwork di desa Ponggok, melakukan pengamatan dan wawancara pada sekian narasumber. Cara kerja semacam ini sengaja dipilih oleh penulis buku untuk mendapatkan pengalaman dan informasi secara langsung dan akurat dari para subjek yang selama ini cenderung berada dalam posisi sebagai ‘objek’ yang diatur. Penelitian hukum empiris – atau penelitian hukum non-doktrinal – semacam ini memaknai hukum sebagai gejala empiris, disamping sebagai doktrin. Dengan pilihan cara kerja ini, penulis menganalisis, merefleksikan, dan mengkaji ‘Cara Berhukum dari Desa’ (lihat hlm. 55).
Pendekatan Sosiologi Hukum semacam ini sangat penting dalam konteks implementasi UU Desa. Tangkapan penelitian empiris yang berbasis pada kenyataan lebih cocok dan sesuai dengan asas rekognisi UU Desa sebagai basis informasi dan analisis dalam penyusunan kebijakan. Dibanding dengan model pengaturan dan penerbitan kebijakan yang secara sepihak ditentukan dari atas oleh pemerintah pusat. Dengan mengambil pilihan pada cara kerja penelitian hukum non-doktrinal, penulis buku ini mengedepankan Cara Berhukum dari Desa sebagai sumber informasi primer yang nilai pentingnya bersifat koeksisten dengan pandangan hukum-doktrinal.
BADAN HUKUM DESA DALAM RENTANG 25 (DUAPULUH LIMA) ABAD
Selain pendekatan sosiologi hukum, penulis buku juga menunjukkan secara gamblang pergeseran dan pembentukan diskursus status badan hukum tentang Desa sepanjang sejarah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penulis buku ini mengulas secara garis besar kedudukan Desa dalam rentang 25 (duapuluh lima) abad! Terhitung sejak 500 tahun Sebelum Masehi). Deskripsi tentang badan hukum Desa ini dituangkan dalam 95 halaman bab kedua – bab terpanjang pada buku ini.
Apabila kita menyimak baik-baik bab ini, kita akan mengerti bahwa kemunduran status badan hukum tentang Desa justru dipercepat setelah Indonesia merdeka. Khususnya menjelang dan sepanjang era orde baru. Pada era Badan Hukum Desapraja misalnya, Desa diakui statusnya secara khusus – dalam istilah desapraja. Menurut penulis buku, ini adalah ‘bentuk kompromistis antara Desa-desa dan pemerintahan daerah otonomi tingkat III’ (lihat hlm. 133).
Sementara pada awal orde baru, dan dalam konteks perang dingin, Desa menjadi ‘lokus perang dingin’, simbol keterbelakangan, yang dalam posisi Indonesia sebagai bagian dari negara non-komunis, ‘telah membuka peluang hadirnya kalangan ahli dan teknokrat untuk mengubah Desa sesuai agenda modernisasi dan pembangunanisme’ (lihat hlm. 137). Ini adalah era ketika Desa yang mandiri seperti pada masa-masa negara-kerajaan, serta Desa yang memiliki status otonom seperti pada masa kolonial, merosot statusnya menjadi objek intervensi negara. Desa yang secara historis adalah satuan sosio-kultural dan unit sosio-politik yang jauh lebih tua dibanding negara Indonesia-modern, ditaklukkan dan dihapus keunikannya.
Pendekatan historis yang tampaknya menjadi perhatian khusus penulis ini hendak mengingatkan para pembaca bahwa lapis-lapis masalah yang tertimbun dalam konteks pengaturan dan kehidupan Desa, terbentuk dalam rentang abad namun diakselerasi hanya dalam rentang waktu dasawarsa. Pada era Majapahit, ‘Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri’ (lihat hlm. 81). Sementara dalam era orde baru, Desa tidak kurang menjadi titik sangga intervensi negara, simbol keterbelakangan, dan titik mula bagi proyek modernisasi dan pembangunan.
HUBUNGAN TRIADIK
Anom Surya Putra mengajukan konsep Restorasi Republik Desa. Dengan membuat hubungan triadik antara konsep ini dengan diskursus badan hukum Desa yang dipaparkan dalam Bab Dua dan dengan kasus empiris terkait status BUM Desa Tirta Mandiri, konsep Restorasi Republik Desa sangat menarik dan dapat menjadi pijakan naratif dalam mengarahkan trayek perjalanan BUM Desa di bawah UU Desa.
Sayangnya, sejauh pemeriksaan saya, Anom tidak memberikan paparan yang terang mengenai konsep ini dalam bukunya. Namun kita dapat menangkap bahwa agenda restorasi yang ia maksud kurang lebih adalah rangkaian praktik yang secara konsisten berjalan dalam aras rekognisi dan subsidiaritas – dua asas terpenting dalam UU Desa.
Restorasi Republik Desa menunjuk pada pentingnya ‘Cara Berhukum dari Desa’, atau Desa sebagai subjek yang basis legalnya telah begitu terang-benderang dalam UU Desa itu sendiri. Dengan agenda restorasi ini, Anom tengah menegaskan kembali tuntutan banyak aktivis atau pejuang Desa yang bercita tentang Desa sebagai ‘badan hukum yang berhak melakukan perbuatan hukum publik maupun privat, memiliki kekayaan dan harta benda bangunan, menuntut dan dituntut di pengadilan, dan kepala Desa berwenang melakukan perjanjian atas persetujuan Badan Permusyawaratan Desa’ (lihat hlm. 66).
Ini agenda besar yang tentu saja tidak mudah. Dan dari sinilah kita dapat memposisikan kasus BUM Desa Tirta Mandiri dalam buku ini sebagai kisah yang (tampaknya) mewakili pengalaman BUM Desa di tempat lain.
Secara sederhana, kasus BUM Desa Tirta Mandiri dapat dibahasakan dengan cara seperti ini. Progresifitas praktik ekonomi di tingkat lokal dan progresifitas payung hukum di tingkat nasional (UU Desa), secara empiris belum cukup menjamin mulus dan lancarnya aktivitas ekonomi desa melalui BUM Desa. Salah satu pengalaman BUM Desa Tirta Mandiri adalah penolakan oleh calon mitra (bank) ketika BUM Desa di Ponggok ini mengajukan proposal kredit. Anom menuliskan pernyataan salah seorang informannya: “Desa Ponggok dikenalkan oleh Kementerian Desa ke BUMN dan kami tindaklanjuti melalui kerjasama dengan BNI di daerah. Tetapi, tanggapannya kalau dibahasakan begini, mau pinjem, legalmu opo, asetmo opo…” (hal. 221). Pengalaman semacam ini memperlihatkan bahwa sementara Desa dan BUM Desa Tirta Mandiri telah berada dalam rel progresif UU Desa, calon mitra mereka masih menggunakan acuan payung hukum lama.
Melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri, Anom sampai pada sebuah definisi – sekaligus poin yang ia advokasi – bahwa BUM Desa tidak lain adalah ‘Badan Hukum Publik bercirikan Desa’. Secara historis, Desa memiliki asal-usul panjang yang karena itu Desa memiliki latar belakang keberadaannya yang jauh lebih tua dan khas. Pada saat yang sama asal-usul tersebut telah diakui oleh UU Desa. Dengan melakukan pelacakan historis, investigasi atas pengaturan tentang desa dan status badan hukum BUM Desa, dan dengan melalui pendekatan empiris, Anom tengah memastikan agar rekognisi (recognition) tidak terpeleset menjadi misrekognisi (misrecognition). Misrekognisi mungkin terjadi apabila pengaturan-pengaturan dari pusat disusun tanpa peduli dengan cara berhukum yang berkembang dalam dan dari Desa itu sendiri.
EKSTENSIFIKASI BADAN HUKUM BUM DESA
Buku ini membicarakan perihal badan hukum BUM Desa dengan sangat ekstensif. Sesungguhnya isu teoritis, baik di ranah hukum maupun sosiologi, yang digunakan untuk memandu analisis data dan informasi lapangan dalam buku hasil penelitian ini sangat menarik untuk didiskusikan. Konsep tindakan komunikatif, personalitas desa, dan Genossenschaft misalnya, tidak kurang penting untuk didiskusikan secara tersendiri. Pembaca yang ingin mendalami kontekstualisasi konsep-konsep tersebut, serta subjek penting lain, akan sangat terbantu apabila buku ini dilengkapi dengan daftar indeks.
Di bagian penutup, Anom menggarisbawahi pentingnya pendekatan diskursus teoritis badan hukum yang direfleksikan dari realitas kehidupan berdesa. Ia telah melakukannya melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri. Pendekatan empiris atau non-doktrinal semacam ini, khususnya dalam konteks implementasi UU Desa, tampaknya merupakan pendekatan yang harus diutamakan dalam penelitian terkait dengan pengaturan tentang Desa. Tuntutan atas pendekatan ini bukan semata-mata karena Desa di Indonesia demikian plural dan tidak dapat dibungkus begitu saja dalam satu karung yang sama. Melainkan juga sebagai pewujudan amanat rekognisi Desa dalam UU Desa.*
Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon ("Perkumpulan Unit Pengelola Kegiatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; disingkat UPK NKRI) pada tanggal 11 Oktober 2021. Dalam situs Mahkamah Agung (MA), Putusan MA ini telah berkekuatan hukum tetap. Konsekuensi yuridisnya, kaidah hukum Pasal 73 PP No. 11/2021 tentang BUM Desa yang mengatur tentang kaidah hukum transformasi UPK Dana Bergulir Masyarakat (UPK DBM) tetap sahih dan berlaku. Putusan MA ini penting sebagai pembelajaran berhukum dalam konteks transformasi organisasi eks proyek PNPM-Mandiri Perdesaan ke institusi kerjasama usaha antar-Desa, sehingga menarik untuk menelusuri pertimbangan para hakim agung dalam Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 32 P/HUM/2021 antara PERKUMPULAN UNIT PENGELOLA KEGIATAN NEGARA KESATUAN RI (ASOSIASI UPK NKRI) VS PRESIDEN RI. Argumen Hukum yang Ditolak Para pembaca dipersilahkan untuk mengunduh naskah putusan MA tersebut melalui alamat ini. Dalam bahasa yang lebih mudah di...
This is a copy of an Indonesian translation of "Gaga: Notes on the Management of Public Identity (Persona Studies, 2019). Translated by Anom Surya Putra. Click here for the original post . Please cite as: Deflem, Mathieu. 2019. "Lady Gaga: Catatan tentang Manajemen Identitas Publik.” June 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/lady-gaga-catatan-tentang-manajemen.html -------------------------------------------- Lady Gaga mencontohkan selebriti kontemporer dalam budaya populer karena tingkat ketenarannya dan juga karena kepribadiannya yang ia hadirkan kepada pendengarnya baik penggemar maupun penonton. Dalam makalah ini, saya membahas bagaimana kepribadian seseorang yang terlahir sebagai Stefani Germanotta diciptakan dan kemudian dipelihara dalam berbagai cara terkait dengan penamaannya sebagai Lady Gaga. Mengutip karya Erving Goffman, diskusi saya melampaui analisis efektivitas dan ketenaran dari presentasi-diri Lady Gaga dengan esensi lanjutan dari kepribadian it...
Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Drs., M.Ec., Ph.D., Ak. Dosen Pengajar Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Diskursus studi akuntansi kritis ditulis oleh Tjiptohadi Sawarjuwono dengan merefleksikan filsafat Jürgen Habermas. Sungguh unik dan fundamental bagi perkembangan diskursus filsafat "Teori Kritis" dan ilmu pengetahuan akuntansi. Karya beliau, saya terjemahkan untuk kepentingan pengembangan diskursus filsafat "Teori Kritis", filsafat hukum Jürgen Habermas , diskursus Berdesa , praksis akuntansi maupun akuntansi keuangan BUM Desa yang sedang disusun dalam blog ini. Sumber: Sawarjuwono, Tjiptohadi, Accounting language change: a critical study of Habermas's theory of communicative action, Doctor of Philosophy thesis, Department of Accounting and Finance, University of Wollongong, 1995. https://ro.uow.edu.au/theses/1012 ----------- Bab 1 Kompetensi Komunikatif Bahasa Akuntansi Metodologi Penelitian Metodolo...
Welcome to Day 11. The universe is an elegantly orchestrated symphony. When our body mind is in concert with the universe, everything becomes spontaneous and effortless, and the exuberance of the universe flows through us, in joyful ecstasy. This is the essence of the law of least effort, trusting that everything in the universe, is as it should be in perfect harmony. Knowing this, we dance to the rhythm of the cosmos, living life in comfort and ease, shedding the belief that abundance is the result of struggle. The law of least effort tells us, that we can do less and accomplish more, but first we must practice acceptance, the more readily you accept the circumstances of your life as they are in this moment, the easier your life becomes. When you struggle against this moment, you're actually struggling against the entire universe, and while you may have the intention for your life to change in some way, accepting it as it is right now, places you in the best position to attain you...
Artikel politik hukum ini semula diajukan untuk menjawab beberapa pertanyaan empiris dan teoritis: Kebijakan Dana Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan hak dan kewenangan Desa. Pada tahun 2015-2016 terdapat perintah penggunaan Dana Desa untuk infrastruktur. Berlanjut pada 4 (empat) prioritas Dana Desa untuk embung desa, BUM Desa dan lainnya (2016-2017). Selanjutnya, kebijakan padat karya tunai pada tahun 2018. Bagaimana menurut Anda terhadap kebijakan tersebut yang diatur melalui perintah presiden dan menteri? Setelah Anda membaca konsep kunci ini tentang kekuasaan komunikatif, apakah kebijakan itu hasil proses deliberasi? Bagaimana kontestasi yang terjadi di Desa selama pelaksanaan program? Bagaimana cara Desa mengupayakan konsensus? Setelah anda membaca konsep kunci di bawah ini tentang kekuasaan administratif, apakah program berjalan sukses, efisien, dan presisi di Desa? Bagaimana tanggapan warga Desa terhadap program itu di Desa? Apakah terdapat penolakan yang d...
Welcome to day eight. Welcome to our second week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. This week you will learn how to attract greater abundance, by applying the laws from my book, the seven spiritual laws of success to your life. Today we'll focus on the first law. The law of pure potentiality, which asserts that in our essential state, we are pure consciousness, pure potentiality and the field of all possibilities. When you discover your true nature, and know who you really are, you experience pure being, and sand fearless, in the face of any challenge. In this state, you're anchored in the unlimited and eternal power of the Self, restores people situations and circumstances to you, to help support your deepest desires. Engage in our daily activities, we sometimes hear thoughts and opinions, often expressed as fact, that do not reflect our divine essence, for instance, we may hear news that good jobs are scarce, the global financial picture is bleak, or the wor...
BUM Desa tidak identik hanya dengan Dana Desa. Justru, Sumberdaya Bersama ( common pool resources ) menjadi tenaga utamanya. BUM Desa Madani, Desa Jayagiri, Bandung Barat, salah satu BUM Desa yang mulai memetakan potensi aset Sumberdaya Bersama. Lili Suharli, Ketua BUM Desa Madani, Desa Jayagiri, Bandung Barat, menjelaskan, "Potensi Wana Wisata Pasir Ipis sudah dikelola oleh Karang Taruna dan Perhutani, kedepan akan dikonsolidasi bersama BUM Desa." Potensi aset atau sumberdaya bersama di sekitar Desa Jayagiri. Sumberdaya Bersama ibarat "dicintai tapi tak bisa dimiliki". Pasir Ipis dan Pamunduran Jayagiri. Taman Junghuhn dikelola oleh BKSDA. Bersesambungan dengan sumberdaya bersama, ada pula Aset Desa seperti tanah carik dan aula Desa. Ditambah dengan Aset Masyarakat Desa warung jajanan (ketan bakar, nasi goreng, bakso, dan lainnya). Penginapan dan rumah makan yang dijalankan oleh sebagian warga Desa. Peternakan sapi, pertanian, pengelolaan air bersih dan pengelolaa...
Welcome to day one. Welcome to the Chopra Center 21-Day Meditation Challenge, Creating Abundance. We are very happy you've decided to embark on this journey, into stillness and silence, to experience authentic abundance consciousness. Over the next three weeks, we'll focus on different aspects of abundance. In our first week, preparing for abundance, we'll consider the promise of unlimited potential. During this time, we learn what true abundance ism the infinite source from which it springs, how consciousness and the mind affect its flow, and how we can more deeply understand that abundance is a divine right, bestowed upon each, and every one of us. During our second week, we'll show how abundance relates to the seven spiritual laws of success, beginning with the law of pure potentiality, what exactly is possible, and ending with the law of dharma, how to increase abundance in our lives, by serving humanity, with our unique skills and talents. In our third week, we...
Setelah mempelajari artikel tentang ini para pembaca (khususnya legislative drafter ) diharapkan mampu menjelaskan tahapan metode Evidence-Based Policymaking (EBP) dalam penyusunan aturan perundang-undangan, yakni mampu menjelaskan cara meletakkan : (1) bukti ( evidence ) dalam agenda setting (prioritas isu/masalah); (2) bukti ( evidence ) dalam formulasi kebijakan (opsi kebijakan dan strategi); (3) bukti ( evidence ) dalam implementasi kebijakan (aktivitas, program); dan (4) bukti ( evidence ) dalam pemantauan dan evaluasi (kebutuhan, desain, implementasi dan dampak kebijakan dan/atau aturan perundang-undangan). A. Pendahuluan Pendekatan Evidence-Based Policymaking (EBP) meletakkan bukti ( evidence ) yang telah diperoleh, dikumpulkan dan disistematisasi, ke dalam siklus kebijakan ( policy cycle ). Siklus kebijakan berikut ini tidak bersifat kaku dan linier, namun bebas dalam menentukan agenda setting, terjadi koreksi terus menerus selama proses dialog/konsu...
This is a copy of an Indonesian translation of “ Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition ” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra. Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris. Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition , by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (36): Teori Konflik Sosiologis." Blog Anom Surya Putra , Agustus 2022. ------------- Bagian II Perkembangan dan Variasi-variasi Sosiologi Hukum 6. Sosiologi Hukum dan Antinomi Pemikiran Modern Teori Konflik Sosiologis Cara yang berguna untuk menjembatani pendekatan dalam sosiologi hukum yang ...
Komentar