HUKUM KOMUNIKATIF: ADAPTASI PEMIKIRAN HUKUM DAN FILSAFAT JÜRGEN HABERMAS PENULIS: ANOM SURYA PUTRA *** Hukum Komunikatif. Istilah ini penulis peroleh setelah bongkar pasang gagasan tentang pengetahuan hukum apa yang tepat untuk mewarnai diskursus ilmu hukum ( jurisprudence ) dan ilmu sosial-hukum ( legal science ) di Indonesia. Cara berpikir Hukum Komunikatif berakar dari buku karya Habermas. Judul aslinya adalah Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats , Frankfurt a.M. 1992. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul " Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy " (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996). Buku ( online ) ini, entah suatu saat nanti akan terbit dalam versi cetak, ditulis dengan gaya rileks atau semacam humor yang belum tentu memancin...
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
OPINI Berdesa: Dua Puluh Lima Abad Badan Hukum BUM Desa
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Ditulis oleh: Naeni Amanulloh, Pengajar Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta
Banyak kalangan merasa optimis dengan kemajuan Indonesia ketika ‘Membangun dari Pinggiran’ dinyatakan sebagai salah satu komponen paradigma pembangunan oleh Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya. Tentu bukan kemajuan yang biasa-biasa saja yang diharapkan. Melainkan kemajuan yang berbasis pada kenyataan dan (potensi) kekayaan Indonesia yang terhampar di tempat-tempat yang jauh dari pusat kota. Dan bukan sekadar kemajuan objek pembangunan. Karena dengan paradigma ‘Membangun dari Pinggiran’ mereka yang berada di pinggiran itu akan menjadi subjek penting pembangunan. Mereka yang berada di pinggiran itu tidak lain adalah Desa.
‘Membangun dari pinggiran’ juga tepat momentumnya. Ia tercetus setelah Desa diakui sebagai sebentuk pemerintahan masyarakat, bentuk campuran dari self-governing community dengan local self-government, melalui terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. UU Desa mengakui kewenangan lokal skala desa, termasuk dalam membentuk dan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). BUM Desa seterusnya menjadi pusat harapan bagi bangkitnya ekonomi Desa. Letak istimewanya, badan usaha ini dibayangkan akan menjadi jelmaan daya-upaya ekonomi masyarakat Desa, yang mengoperasikan potensi ekonomi desa, bergulir dengan ciri-ciri Desa, sekaligus mampu bersaing dalam sistem ekonomi pasar. Singkatnya, BUM Desa diharapkan akan menjadi tumpuan hajat hidup Desa.
Harapan itu belum padam, namun bukan berarti masalah tidak muncul. Sebuah buku berjudul ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ (LKiS, 2020) berusaha mengurai benang kusut problematika status badan hukum BUM Desa. Buku ini ditulis oleh Anom Surya Putra, hasil dari penelitian panjangnya di BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten. Secara intensif, buku ini menginvestigasi kemelut hukum yang dialami oleh BUM Desa Tirta Mandiri, serta berbagai siasat yang ditempuh pemerintah desa serta pengelola BUM Desa dalam menghadapi kemelut itu.
MENONJOLKAN SOSIOLOGI HUKUM
Buku ‘Ponggok: Inspirasi Kemandirian Desa’ tersusun dalam tujuh bab. Bab Pertama berisi pendahuluan, yang memaparkan latar belakang, masalah penelitian, serta diskusi teoritik. Bab Kedua memuat formasi diskursus Desa sebagai badan hukum secara kronologis, dimulai dari era pra-sejarah, era negara-kerajaan, era kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Setelah menggambarkan berbagai diskursus badan hukum desa dalam pengalaman sejarah itu, Bab Ketiga didedikasikan untuk memaparkan formasi diskursus BUM Desa. Bab ini dilanjutkan dengan Bab Keempat yang berisi pengisahan tanggapan BUM Desa Tirta Mandiri atas masalah badan hukum yang dialami.
Pada Bab Kelima buku ini menyajikan analisis upaya-upaya BUM Desa Tirta Mandiri dalam mengembalikan kemandirian ekonomi desa. Secara teliti dan terperinci, penulis buku memaparkan langkah-langkah yang diambil oleh BUM Desa Tirta Mandiri dalam menegakkan kemandirian (ekonomi) Desa dengan mengacu pada UU No. 6/2014 tentang Desa. Berpijak pada temuan empiris yang telah dipaparkan di bab-bab sebelumnya, penulis memberikan komentar serta catatan kritis atas langkah atau tindakan strategis yang diambil oleh Kementerian Desa. Sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam pengaturan tentang Desa. Buku ini diakhiri dengan kesimpulan dan saran pada Bab Ketujuh.
Telah disebut dimuka, buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang cukup panjang. Peneliti melakukan fieldwork di desa Ponggok, melakukan pengamatan dan wawancara pada sekian narasumber. Cara kerja semacam ini sengaja dipilih oleh penulis buku untuk mendapatkan pengalaman dan informasi secara langsung dan akurat dari para subjek yang selama ini cenderung berada dalam posisi sebagai ‘objek’ yang diatur. Penelitian hukum empiris – atau penelitian hukum non-doktrinal – semacam ini memaknai hukum sebagai gejala empiris, disamping sebagai doktrin. Dengan pilihan cara kerja ini, penulis menganalisis, merefleksikan, dan mengkaji ‘Cara Berhukum dari Desa’ (lihat hlm. 55).
Pendekatan Sosiologi Hukum semacam ini sangat penting dalam konteks implementasi UU Desa. Tangkapan penelitian empiris yang berbasis pada kenyataan lebih cocok dan sesuai dengan asas rekognisi UU Desa sebagai basis informasi dan analisis dalam penyusunan kebijakan. Dibanding dengan model pengaturan dan penerbitan kebijakan yang secara sepihak ditentukan dari atas oleh pemerintah pusat. Dengan mengambil pilihan pada cara kerja penelitian hukum non-doktrinal, penulis buku ini mengedepankan Cara Berhukum dari Desa sebagai sumber informasi primer yang nilai pentingnya bersifat koeksisten dengan pandangan hukum-doktrinal.
BADAN HUKUM DESA DALAM RENTANG 25 (DUAPULUH LIMA) ABAD
Selain pendekatan sosiologi hukum, penulis buku juga menunjukkan secara gamblang pergeseran dan pembentukan diskursus status badan hukum tentang Desa sepanjang sejarah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penulis buku ini mengulas secara garis besar kedudukan Desa dalam rentang 25 (duapuluh lima) abad! Terhitung sejak 500 tahun Sebelum Masehi). Deskripsi tentang badan hukum Desa ini dituangkan dalam 95 halaman bab kedua – bab terpanjang pada buku ini.
Apabila kita menyimak baik-baik bab ini, kita akan mengerti bahwa kemunduran status badan hukum tentang Desa justru dipercepat setelah Indonesia merdeka. Khususnya menjelang dan sepanjang era orde baru. Pada era Badan Hukum Desapraja misalnya, Desa diakui statusnya secara khusus – dalam istilah desapraja. Menurut penulis buku, ini adalah ‘bentuk kompromistis antara Desa-desa dan pemerintahan daerah otonomi tingkat III’ (lihat hlm. 133).
Sementara pada awal orde baru, dan dalam konteks perang dingin, Desa menjadi ‘lokus perang dingin’, simbol keterbelakangan, yang dalam posisi Indonesia sebagai bagian dari negara non-komunis, ‘telah membuka peluang hadirnya kalangan ahli dan teknokrat untuk mengubah Desa sesuai agenda modernisasi dan pembangunanisme’ (lihat hlm. 137). Ini adalah era ketika Desa yang mandiri seperti pada masa-masa negara-kerajaan, serta Desa yang memiliki status otonom seperti pada masa kolonial, merosot statusnya menjadi objek intervensi negara. Desa yang secara historis adalah satuan sosio-kultural dan unit sosio-politik yang jauh lebih tua dibanding negara Indonesia-modern, ditaklukkan dan dihapus keunikannya.
Pendekatan historis yang tampaknya menjadi perhatian khusus penulis ini hendak mengingatkan para pembaca bahwa lapis-lapis masalah yang tertimbun dalam konteks pengaturan dan kehidupan Desa, terbentuk dalam rentang abad namun diakselerasi hanya dalam rentang waktu dasawarsa. Pada era Majapahit, ‘Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri’ (lihat hlm. 81). Sementara dalam era orde baru, Desa tidak kurang menjadi titik sangga intervensi negara, simbol keterbelakangan, dan titik mula bagi proyek modernisasi dan pembangunan.
HUBUNGAN TRIADIK
Anom Surya Putra mengajukan konsep Restorasi Republik Desa. Dengan membuat hubungan triadik antara konsep ini dengan diskursus badan hukum Desa yang dipaparkan dalam Bab Dua dan dengan kasus empiris terkait status BUM Desa Tirta Mandiri, konsep Restorasi Republik Desa sangat menarik dan dapat menjadi pijakan naratif dalam mengarahkan trayek perjalanan BUM Desa di bawah UU Desa.
Sayangnya, sejauh pemeriksaan saya, Anom tidak memberikan paparan yang terang mengenai konsep ini dalam bukunya. Namun kita dapat menangkap bahwa agenda restorasi yang ia maksud kurang lebih adalah rangkaian praktik yang secara konsisten berjalan dalam aras rekognisi dan subsidiaritas – dua asas terpenting dalam UU Desa.
Restorasi Republik Desa menunjuk pada pentingnya ‘Cara Berhukum dari Desa’, atau Desa sebagai subjek yang basis legalnya telah begitu terang-benderang dalam UU Desa itu sendiri. Dengan agenda restorasi ini, Anom tengah menegaskan kembali tuntutan banyak aktivis atau pejuang Desa yang bercita tentang Desa sebagai ‘badan hukum yang berhak melakukan perbuatan hukum publik maupun privat, memiliki kekayaan dan harta benda bangunan, menuntut dan dituntut di pengadilan, dan kepala Desa berwenang melakukan perjanjian atas persetujuan Badan Permusyawaratan Desa’ (lihat hlm. 66).
Ini agenda besar yang tentu saja tidak mudah. Dan dari sinilah kita dapat memposisikan kasus BUM Desa Tirta Mandiri dalam buku ini sebagai kisah yang (tampaknya) mewakili pengalaman BUM Desa di tempat lain.
Secara sederhana, kasus BUM Desa Tirta Mandiri dapat dibahasakan dengan cara seperti ini. Progresifitas praktik ekonomi di tingkat lokal dan progresifitas payung hukum di tingkat nasional (UU Desa), secara empiris belum cukup menjamin mulus dan lancarnya aktivitas ekonomi desa melalui BUM Desa. Salah satu pengalaman BUM Desa Tirta Mandiri adalah penolakan oleh calon mitra (bank) ketika BUM Desa di Ponggok ini mengajukan proposal kredit. Anom menuliskan pernyataan salah seorang informannya: “Desa Ponggok dikenalkan oleh Kementerian Desa ke BUMN dan kami tindaklanjuti melalui kerjasama dengan BNI di daerah. Tetapi, tanggapannya kalau dibahasakan begini, mau pinjem, legalmu opo, asetmo opo…” (hal. 221). Pengalaman semacam ini memperlihatkan bahwa sementara Desa dan BUM Desa Tirta Mandiri telah berada dalam rel progresif UU Desa, calon mitra mereka masih menggunakan acuan payung hukum lama.
Melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri, Anom sampai pada sebuah definisi – sekaligus poin yang ia advokasi – bahwa BUM Desa tidak lain adalah ‘Badan Hukum Publik bercirikan Desa’. Secara historis, Desa memiliki asal-usul panjang yang karena itu Desa memiliki latar belakang keberadaannya yang jauh lebih tua dan khas. Pada saat yang sama asal-usul tersebut telah diakui oleh UU Desa. Dengan melakukan pelacakan historis, investigasi atas pengaturan tentang desa dan status badan hukum BUM Desa, dan dengan melalui pendekatan empiris, Anom tengah memastikan agar rekognisi (recognition) tidak terpeleset menjadi misrekognisi (misrecognition). Misrekognisi mungkin terjadi apabila pengaturan-pengaturan dari pusat disusun tanpa peduli dengan cara berhukum yang berkembang dalam dan dari Desa itu sendiri.
EKSTENSIFIKASI BADAN HUKUM BUM DESA
Buku ini membicarakan perihal badan hukum BUM Desa dengan sangat ekstensif. Sesungguhnya isu teoritis, baik di ranah hukum maupun sosiologi, yang digunakan untuk memandu analisis data dan informasi lapangan dalam buku hasil penelitian ini sangat menarik untuk didiskusikan. Konsep tindakan komunikatif, personalitas desa, dan Genossenschaft misalnya, tidak kurang penting untuk didiskusikan secara tersendiri. Pembaca yang ingin mendalami kontekstualisasi konsep-konsep tersebut, serta subjek penting lain, akan sangat terbantu apabila buku ini dilengkapi dengan daftar indeks.
Di bagian penutup, Anom menggarisbawahi pentingnya pendekatan diskursus teoritis badan hukum yang direfleksikan dari realitas kehidupan berdesa. Ia telah melakukannya melalui kasus BUM Desa Tirta Mandiri. Pendekatan empiris atau non-doktrinal semacam ini, khususnya dalam konteks implementasi UU Desa, tampaknya merupakan pendekatan yang harus diutamakan dalam penelitian terkait dengan pengaturan tentang Desa. Tuntutan atas pendekatan ini bukan semata-mata karena Desa di Indonesia demikian plural dan tidak dapat dibungkus begitu saja dalam satu karung yang sama. Melainkan juga sebagai pewujudan amanat rekognisi Desa dalam UU Desa.*
Day 1 DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge - So Hum The Reality of Abundance DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge. Day 1 Here we go! After you complete the task, please write: "Day 1 Done." You can leave the group if you decide not to continue. I highly recommend doing the meditation and the task at the beginning of the day, if possible. It changes the course of the day! Task In your new notebook, make a list of 50 people that have influenced your life. They can be both living and already departed people, your relatives, friends, and celebrities, writers and personalities whom you do not necessarily know personally. Everyone who has influenced you, and contributed to your growth & development. The list must have at least 50 names. In the process of making a list, think about why you chose the person. What has changed in your life for the better? Move calmly and thoughtfully. Remember the best things about each person in the list and w...
Artikel politik hukum ini semula diajukan untuk menjawab beberapa pertanyaan empiris dan teoritis: Kebijakan Dana Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan hak dan kewenangan Desa. Pada tahun 2015-2016 terdapat perintah penggunaan Dana Desa untuk infrastruktur. Berlanjut pada 4 (empat) prioritas Dana Desa untuk embung desa, BUM Desa dan lainnya (2016-2017). Selanjutnya, kebijakan padat karya tunai pada tahun 2018. Bagaimana menurut Anda terhadap kebijakan tersebut yang diatur melalui perintah presiden dan menteri? Setelah Anda membaca konsep kunci ini tentang kekuasaan komunikatif, apakah kebijakan itu hasil proses deliberasi? Bagaimana kontestasi yang terjadi di Desa selama pelaksanaan program? Bagaimana cara Desa mengupayakan konsensus? Setelah anda membaca konsep kunci di bawah ini tentang kekuasaan administratif, apakah program berjalan sukses, efisien, dan presisi di Desa? Bagaimana tanggapan warga Desa terhadap program itu di Desa? Apakah terdapat penolakan yang d...
Tulisan ini awalnya ditulis oleh salah seorang penyusun modul Peningkatan Kapasitas Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa Tahun 2022, yakni (Romo) Ibe Karyanto . Diterbitkan dalam skala terbatas pada pertengahan tahun 2022 oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Desa PDTT. Anom Surya Putra Saya ucapkan terima kasih sehormat-hormatnya atas persetujuan (Romo) Ibe Karyanto dan Zaini Mustakim (P3PD) terhadap penayangan materi ini, setelah diadaptasi dari berbagai perbincangan selama MoT dan ToT. Setelah saya mengikuti beberapa aktivitas mulai MoT, ToT daring dan ToT tatap muka, terdapat perubahan penting dalam "membaca", "membatinkan" dan "mengkomunikasikan" bahan bacaan tentang "Citra Pendamping Desa". Pertama, bahan bacaan ini berada dalam pertimbangan paradigmatik, dan bukan pertimbangan bimbingan teknis (bimtek). "Bahan bacaan modul" ini bukan digun...
Welcome to Day 11. The universe is an elegantly orchestrated symphony. When our body mind is in concert with the universe, everything becomes spontaneous and effortless, and the exuberance of the universe flows through us, in joyful ecstasy. This is the essence of the law of least effort, trusting that everything in the universe, is as it should be in perfect harmony. Knowing this, we dance to the rhythm of the cosmos, living life in comfort and ease, shedding the belief that abundance is the result of struggle. The law of least effort tells us, that we can do less and accomplish more, but first we must practice acceptance, the more readily you accept the circumstances of your life as they are in this moment, the easier your life becomes. When you struggle against this moment, you're actually struggling against the entire universe, and while you may have the intention for your life to change in some way, accepting it as it is right now, places you in the best position to attain you...
Metode Penilaian Dampak Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( Regulatory Impact Assessment ; RIA) merupakan salah satu pendekatan atau metode perancangan regulasi hukum kontemporer. Metode ini menambahkan analisis biaya dan manfaat ( cost and benefit analysis ) pada perancangan regulasi hukum, yang memadukan faktor subjektif-objektif pada regulasi hukum melalui analisis biaya dan manfaat. Metode RIA dapat digunakan oleh birokrasi sebagai institusi perancang regulasi hukum yang efisien, dan disisi lain metode RIA dapat digunakan sebagai instrumen penguat argumentasi (opini publik dan aspirasi politis) oleh komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Metode RIA mendorong publikasi kepada publik baik rencana perancangan regulasi hukum maupun pemantauan dan evaluasi regulasi hukum. Materi penerapan RIA di Indonesia selama ini tertuju pada kebijakan perdagangan, perindustrian dan diskursus kebijakan untuk memacu daya saing pasca krisis. Diskursus penerapan RIA di Indo...
Anom Surya Putra Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia mayoritas dilakukan secara normatif. Hukum dimaknai sebagai produk dari hukum positif atau hukum yang berlaku di wilayah negara tertentu. Pendekatan positivisme-legal dari Hans Kelsen itu amat mendominasi metode penyusunan peraturan perundang-undangan. Karakteristik metodenya dipengaruhi jurisprudence (ilmu hukum normatif-doktrinal). Lingkup pembahasannya meliputi asas hukum, norma hukum, bahasa hukum yang pragmatis dan kewenangan institusi hukum. Awalnya penyusunan peraturan perundang-undangan dalam pandangan normatif-doktrinal disebut legal drafting . Pengaruh hukum bisnis dan masyarakat pasar sangat kuat terhadap terminologi ini. Seluruh objek pengaturan ditundukkan pada kehendak individu yang bebas, otoritatif, dan berlangsung melalui hubungan kontraktual. Tapi diferensiasi sosial bergerak cepat, sehingga terjadi pemisahan kerangka teoritik normatif yakni munculnya legislative drafting selain legal drafting . ...
Welcome to day ten. Although all of the events in your life are governed by the law of cause and effect, and our karmic events, there is great freedom in knowing, that if you do not like the results of a previous choice, then you can always choose again. In every situation, there are countless alternatives that affect you and those around you. When you go to make that singular choice, it should nourish you, and everyone else, influenced by your actions. This, is the law of karma or conscious choice making. True abundance or affluence is the ability to fulfill one's desires with minimal effort. When we speak of abundance as it relates to the law of karma, we can look to the concept of stewardship, responsibly caring for something we value, as a path to realizing our dreams. Taking proper care of a child. Making healthy choices for our bodies. Or using Earth's natural resources responsibly. All these are examples of good stewardship. Every action we take, generates a force of en...
Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon ("Perkumpulan Unit Pengelola Kegiatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; disingkat UPK NKRI) pada tanggal 11 Oktober 2021. Dalam situs Mahkamah Agung (MA), Putusan MA ini telah berkekuatan hukum tetap. Konsekuensi yuridisnya, kaidah hukum Pasal 73 PP No. 11/2021 tentang BUM Desa yang mengatur tentang kaidah hukum transformasi UPK Dana Bergulir Masyarakat (UPK DBM) tetap sahih dan berlaku. Putusan MA ini penting sebagai pembelajaran berhukum dalam konteks transformasi organisasi eks proyek PNPM-Mandiri Perdesaan ke institusi kerjasama usaha antar-Desa, sehingga menarik untuk menelusuri pertimbangan para hakim agung dalam Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 32 P/HUM/2021 antara PERKUMPULAN UNIT PENGELOLA KEGIATAN NEGARA KESATUAN RI (ASOSIASI UPK NKRI) VS PRESIDEN RI. Argumen Hukum yang Ditolak Para pembaca dipersilahkan untuk mengunduh naskah putusan MA tersebut melalui alamat ini. Dalam bahasa yang lebih mudah di...
Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris. This is a copy of an Indonesian translation of “ Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition ” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra. Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition , by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (65): Pascamodernisme dan Dekonstruksi dalam Hukum." Blog Anom Surya Putra , Agustus 2022. ------------- Bagian III Dimensi-dimensi Sosiologis Hukum 10. Hukum dan Budaya: Keseimbangan Nilai-nilai Melalui Norma-norma Pascamodernisme dan Dekonstruksi dalam Hukum Sehubungan dengan studi hu...
Welcome to Day 15. Welcome to our final week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. During our first week together we explored the reality of abundance, its original source which is the universe, and how we attract it through our consciousness. Last week we learn how to attract more abundance, by applying the seven spiritual laws of success. This week we'll expand on our foundation, and discuss the many ways abundance can manifest in our lives. Beginning with an understanding of how the effortless flow, that occurs as seemingly unrelated events, coming together, can bring fulfillment to our lives. I call this merging of coincidence and destiny: synchro destiny; powerfully leveraging the intelligence of the universe, that orchestrates the whole dance of creation, on every scale, from the farthest reaches of the cosmos to the events of our own daily lives. One of the main principles of synchrodestiny, is recognizing and celebrating this cosmic dance. Tru...
Komentar