Opini Terbaru
Hukum Republik Desa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mengapa buku ini penting bagi ilmuwan hukum, peneliti hukum, legislative drafter, birokrasi kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah, pendamping masyarakat Desa, dan masyarakat Desa itu sendiri?
Tujuan penulisan buku "Republik Desa" ini lugas mengkritik kebijakan hukum (legal policy) otonomi Desa yang fluktuatif, cenderung sentralistik, tidak memberikan pertimbangan terhadap hak masyarakat adat yang terorganisasi melalui Desa atau sebutan lain (nagari, kampung, gampong, dan seterusnya).
POLITIK HUKUM
Studi politik hukum merupakan term utama dalam buku "Republik Desa" ini, seperti kita jumpai dalam ulasan sosiologis Nonet-Selznick tentang hukum represif, otonom dan responsif. Pergulatan hukum tradisional dan hukum modern dalam kajian sosiologis diserap dalam lingkup kajian normatif untuk memberi makna terhadap "Republik Desa".
Politik Hukum memang belum disepakati oleh ilmuwan hukum untuk menjadi bagian dari "Ilmu Hukum", terutama di kalangan jurist yang dogmatik. Karakter politik hukum yang menggunakan data empiris cenderung dinilai secara epistemologis merupakan cabang ilmu politik, ketimbang ilmu hukum. Ini tidak terlepas dari karakter Ilmu Hukum sebagai rechtswetenschap atau jurisprudence yang menekankan normativitas-dogmatik, serba kontrol, dan serba rekayasa atas kondisi masyarakat di Indonesia. Meski buku Republik Desa ini ditulis tanpa kekuatan data empiris, alur gagasannya menarik dipelajari agar karakter Ilmu Hukum dalam artian rechtswetenschap atau jurisprudence tidak mendominasi paradigma hukum di Indonesia.
Melampaui perdebatan epistemologis yang klasik tentang politik hukum, Prof. Ateng Syafruddin dan Dr. Suprin Na'a memulai penelusurannya dengan menghadirkan teks yang membahas Republik Desa (Dorpsrepubliek) secara historis. Van Vollenhoven dalam karyanya berjudul Staatsrecht Overzee (1934) dikutip dalam buku ini sebagai argumentasi awal. Van Vollenhoven menyatakan, pada tahun 1596 ketika kapal berbendera tiga warna memasuki wilayah kepulauan Hindia (mungkin maksudnya kapal Belanda: het eerste schip met de driekleur aan den mast in den Indischen archipel binnenvalt), kondisi wilayah kepulauan Hindia (baca: Nusantara) merupakan wilayah hukum tata negara (staatsrechtelijk). Ia bukanlah tanah kosong nan tandus, tapi dipenuhi institusi pengaturan masyarakat, pemerintahan, perkampungan asli (dorpen), kerajaan, dan republik-republik (republieken).
Term republik-republik (republieken) menunjuk pada kesatuan masyarakat hukum yang punya kuasa atas dirinya, meski Kerajaan Majapahit tegak berdiri. Kutipan dari Van Vollenhoven ini menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) struktur utama di Nusantara yakni perkampungan, kerajaan, dan republik. Menurut penulis, ungkapan term republieken dari Van Vollenhoven ini dipengaruhi cara pandang Eropa atas enclave yang diandaikan punya kapasitas bawaan dalam mengatur dan mengurus diri sendiri. Republik Desa diposisikan sebagai pemerintahan asli di Nusantara, dan bukan kerajaan maupun perkampungan biasa. Sekalipun dalam studi yang lebih kritis term enclave lebih melekat pada ruralisme daripada Desa sebagai self-governing community dan local self-government yang dipositivisasi ke dalam UU No. 6/2014 tentang Desa.
Teks Van Vollenhoven menjadi pilar utama bagi Republik Desa khususnya terkait dengan sejarah hukum. Kajian politik hukum kedua penulis ini bergerak maju ke politik unifikasi dan kodifikasi hukum Belanda atas Nusantara. Kondisi Republik Desa mengalami positivisasi kedalam berbagai aturan hukum yang diproduksi rezim kolonial, terutama politik etis yang berkorelasi dengan kebijakan hukum desentralisasi dan otonomi daerah, namun Desa tetap dibiarkan (gelaten) untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri (huishouding gelaten).
KRITIK ATAS OTONOMI DESA
Kebijakan hukum desentralisasi dan otonomi daerah diulas oleh kedua penulis tersebut secara lugas yang mana otonomi Desa justru merupakan masalah pada masa politik kodifikasi-unifikasi aturan hukum (baca: warisan negara hukum liberal Perancis). Namun demikian buku ini terbatasi pada eksplorasi sejarah internal hukum otonomi Desa. Oleh karena itu, ulasan berikut ini menambahkan perspektif sejarah internal hukum Republik Desa.
Pada masa kolonial Belanda membuat dua jalur politik hukum yakni di satu sisi mengatur penyerahan atau pelimpahan residual dari Kerajaan Belanda kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda dalam mengatur daerah, sedangkan di sisi lain mengakui kesatuan masyarakat hukum adat yang mengorganisir dirinya dalam "Desa" atau sebutan lain sebagai inlandsche gementeen.
Van Vollenhoven dan Ter Haar hadir mengkritik kodifikasi-unifikasi Desa dalam peraturan perundang-undangan Belanda, sehingga mereka memilih untuk menjalankan kodifikasi atas putusan Inlandsche Gemeente dan Inlandsche Gemeente voor buitengeweesten yang berbasis adat-recht. Pada masa kolonial Jepang nama Desa dan jabatan di Desa secara keseluruhan diubah sentralistik, berbahasa Jepang, dan Desa diperintah oleh militerisme Jepang. Republik Desa mengalami kemunduran pada masa Jepang namun tidak mengalami kematian total.
Teks Soepomo dan M. Yamin merupakan acuan penting perdebatan konstitusional tentang Desa. Soepomo mengenalkan gagasan penyatuan (integralistik) antara kepala Desa dan warganya. Kritik Marsillam Simanjuntak pernah diajukan terhadap usulan Soepomo ini bahwa bila penyatuan itu diserap oleh hukum tata negara, maka pemerintah Indonesia akan menjadi totaliter. Belakangan muncul kritik baru dari Rizal S Gueci bahwa gagasan Soepomo itu tidak bersifat ideologis dalam artian integralisme, namun merupakan jalan tengah "Hukum Kekeluargaan" untuk mengatasi perdebatan tentang negara konstitusional, hukum adat dan cooperative theory:
Untuk itu saya mencoba membahas asas kekeluargaan Supomo sama dengan Genossenschaft dalam arti luas, yang mencakup badan hukum privat dan badan hukum publik. Bdk. Rizal Sofyan Gueci, Verfassungstaat, traditionelles Recht und Genossenschaftstheorie in Indonesien, Peter Lang, Franfurt, 1999 (Diss. 1997), lagi lagi soal bahasa dan pengertian.
Intelektual seperti M. Yamin menekankan kesatuan Desa dengan hak otonomi maupun susunan sosialnya yang dibuktikan sejak prasasti di masa hukum tata negara Majapahit sampai dengan kepentingan Desa mengurus kehidupannya sendiri. Republik Desa diangkat dalam perdebatan konstitusional awal kemerdekaan dengan mengakui "Desa" sebagai entitas hukum dan politik, tapi tidak tuntas pada positivisasi sebagai norma dasar dalam UUD'45. Desa tidak identik dengan zelfbestuurende lanschappen seperti daerah kerajaan dan kesultanan, namun lebih identik dengan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri (huisholding gelaten).
Ulasan sosiologis tentang kekuasaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri itu ditambahkan oleh kedua penulis ini dengan mengutip buku "Desa" karangan Soetardjo Kartohadikoesoeomo yang kaya data maupun perspektif Desa sehingga wajib dibaca siapapun yang peduli dengan studi tentang Desa. Keterbatasan data, informasi, dan analisa legal studies dalam buku ini terlihat berpengaruh pada pengembangan Republik Desa sebagai paradigma hukum, namun hal ini sudah cukup membuka wawasan kita untuk melakukan dialog dengan legal studies yang empiris.
KONTESTASI PARADIGMA HUKUM
Buku "Republik Desa" ini dapat anda ikuti lebih lanjut ulasannya pada kontestasi antara paradigma desentralisasi dan otonomi daerah dengan otonomi desa. Referensi hukum yang digunakan memang masih menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda jo. PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Analisa politik hukum dan pluralisme hukum dalam buku ini akan membuat anda tegak lurus memahami pentingnya kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal skala Desa yang kini hadir dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kesantunan kedua penulis diperlihatkan tatkala menghormati perbedaan pendapat atas posisi dan kewenangan Desa. Bagir Manan mengkritik bahwa otonomi Desa bukanlah untuk mengembalikan "Republik Desa" tetapi meletakkan Desa sebagai bagian dari desentralisasi dan otonomi daerah. Pendapat Bagir Manan ini tetap dihormati oleh analisa kedua penulis itu, dan saat ini kita menjumpai norma kompromistis: kewenangan penugasan (medebewind) dan kewenangan asli/bawaan disatukan dalam satu term yakni kewenangan Desa. Begitulah operasionalisasi Republik Desa "zaman old" itu.
PENUTUP
Pendapat asas hukum yang preskriptif, normatif, dan cenderung abstrak dalam buku ini perlu diuji dengan kerangka hukum empiris, tapi keduanya berjalan seiring (co-existence). Republik Desa "zaman old" rentan pula mengalami defisit evidence dan diserap kembali ke dalam desentralisasi-otonomi daerah. Sutoro Eko dalam "Desa Baru, Negara Lama" (Yogyakarta: STPMD-"APMD", 2017) terinspirasi dari Boeke yang melakukan restorasi 'dualisme ekonomi' --maupun fakta dari Desa pasca UU Desa terbit-- sehingga ia memilih melakukan "Restorasi Republik Desa". Urusan keuangan Desa, misalnya, yang dalam prakteknya "administrative heavy" diputarbalik ke kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal skala Desa. Urusan pembalikan ini memang bukan perkara mudah.
VIDEO PEMBAHASAN
Bagi saya sebagai pembaca awam tentang "Republik Desa" dan "Restorasi Republik Desa", sistem presidensiil sudah saatnya mengakui Desa dengan memutuskan varian kebijakan hukum Desa apa yang hendak dijalankan, pinjam istilah Sutoro Eko: Gajah India (menggerakkan aset lokal Desa) atau Naga China (korporasi Desa yang massif). Pembaca bisa melanjutkan pembacaan Republik Desa di India Selatan yang ditulis Robert Wade dengan pertimbangan empiris bertema kondisi-kondisi ekonomi pengaturan mandiri atas sumber daya bersama, tragedi sumber daya bersama dan aksi kolektif yang berlangsung di Desa.*
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar