HUKUM KOMUNIKATIF Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ BAGIAN KE-1: BANGUN DARI TIDUR YANG PANJANG Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic . Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang b...
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (4): Dualitas Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Serial tulisan ini membahas buku filsafat hukum dan sosiologi hukum "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996).
Buku Habermas dalam bahasa Inggris tersebut awalnya berjudul Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992. Habermas menulis pembahasan lengkap mengenai filsafat hukum, sosiologi hukum dan demokrasi deliberatif. Mahasiswa, praktisi hukum, ilmuwan sosial hukum dan politisi partai politik perlu membaca dan menimbang-nimbang buku ini dalam praksis berhukum kontemporer.
Please cite as: Putra, Anom Surya. “Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (4): Dalam Dualitas Paradoks Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang.” Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.
------------------------------------
Dalam Dualitas Paradoks Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang
Pemikiran filsafat hukum Jurgen Habermas bisa kita kaji dari perspektif ketika Teori Demokrasi dan Teori Hukum berada di persimpangan jalan. Ada tekanan-tekanan sehingga paradigma konstitusional lama tidak mampu menyelesaikan kompleksitas persoalan sosial, pluralisme dan negara kesejahteraan. Paradigma yang sangat normatif. Tidak bisa satu pasal dalam konstitusi menyelesaikan perkara-perkara sosial yang ada di masyarakat.
Lalu, mengapa kita berlanjut dengan pembahasan Dualitas Hukum Modern?
Pada sesi sebelumnya terdapat closing statement bahwa untuk memahami pemikiran Filsafat Hukum Jurgen Habermas kita perlu mendalami kerangka teoritis dari Jurgen Habermas. Jendela pemahamannya terletak pada tema Dualitas Hukum Modern sebagaimana diuraikan oleh William Rehg dalam pengantar Between Facts and Norms berikut ini.
William Rehg menyatakan, dalam pembahasan hukum, filsuf Anglo-Amerika bersepakat untuk membahas hukum berawal dari pengertian tentang konsep hukum itu sendiri. Dalam Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), konsep dasar mengenai hukum sebagai sistem hak-hak (system of rights) tidak nampak diulas sepenuhnya sampai dengan Bab 3. William Rehg berpendapat, hal ini menunjukkan skala ambisius dari usaha Habermas ketika menjelaskan konsep dasar hukum. Usaha Habermas ini tampak membutuhkan persiapan yang cukup matang. Sehingga dua bab pertama dalam buku iBetween Facts and Norms menyajikan kerangka konseptual dari Habermas sendiri dan lanskap perdebatan hukum sebagai sistem hak.
Kerangka konseptual Habermas tentang hukum sepenuhnya telah dibahas dalam buku sebelumnya, dua volume dari Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), dan karya Between Facts and Norms ini cenderung membahas implikasi-implikasi hukum, politik dan kelembagaan dari karya sebelumnya. William Rehg mengenalkan kerangka konseptual hukum dari Habermas dan memotivasi kita untuk meluaskan cara menganalisis Hukum Modern dan Demokrasi. Kita akan menelusuri teka-teki yang dibuat Habermas yaitu dualitas paradoks hukum modern. Selanjutnya barulah kita akan bisa memahami Teori Tindakan Komunikatif secara partikular untuk memahami ketegangan dalam hukum dan melakukan pembahasan secara konstruktif.
Dualitas Hukum Modern
Untuk melihat dari dekat, analisis hukum modern dalam konteks ketegangan antara fakta-fakta dan keabsahan normatif, bukanlah hal mengejutkan. Ruang hukum (legal sphere) sudah sejak lama dikarakterisasikan oleh teoritisi pada konteks dualitas itu. Lazim kita saksikan, ketegangan antara fakta-fakta dan norma-norma atau ketegangan antara fakta-fakta dan keabsahan normatif berada pada beberapa level. Tetapi pada masing-masing level kita menemukan realitas sosial di satu sisi dan klaim nalar (yang terkadang ditolak realitas) di sisi lain.
Sebagai contoh, aturan hukum yang mengatur sanksi-sanksi. Di satu sisi, hukum merupakan kehendak dari pembentuk aturan hukum yang berkuasa untuk menghukum siapapun yang tidak patuh. Penegakan hukum dan kepatuhan hukum itu memiliki eksistensi dalam fakta-fakta sosial. Di sisi lain, hukum tidak hanya berisi perintah yang didukung dengan ancaman tetapi juga mewujudkan klaim legitimasi.
Desakan dari Oliver Wendell Holmes bahwa kita harus memahami hukum sebagai "orang jahat" atau tidak, yaitu melihat hukum hanya dengan mengingat kemungkinan konsekuensi negatif dari tertangkapnya seseorang ketika melakukan peelanggaran hukum. Ini tidak bisa lagi menjadi narasi lengkap dari cara berhukum. Banyak warga negara tidak secara konsisten "melakukan perbuatan buruk" dalam pengertian pelanggaran hukum, dan diragukan pula apakah sistem hukum dapat bertahan lama bila semua orang mengambil pendekatan eksternal ini sepanjang waktu.
Setidaknya sebagian dari (mayoritas) populasi harus melihat aturan hukum sebagai standar yang harus diikuti semua orang, apakah karena aturan hukum itu mencerminkan cara-cara leluhurnya, struktur kosmos, atau hak Tuhan, atau karena hukum telah disetujui secara demokratis, atau hukum hanya diberlakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Kita ingat pandangan H. L. A. Hart bahwa "aspek internal" hukum adalah fungsi legitimasi atau pengakuan sosialnya. Persis bagaimana legitimasi tersebut harus ditafsirkan, jelas merupakan pertanyaan lebih lanjut. Poin pentingnya adalah ini: hukum merupakan sistem aturan yang dapat dipaksakan dan prosedur impersonal yang juga melibatkan imbauan untuk alasan bahwa semua warga negara harus (setidaknya secara ideal) menerima sistem aturan, sekaligus warga negara dapat menerima sistem aturan.
Habermas sangat berutang budi pada konsep legitimasi Immanuel Kant, yang memunculkan ketegangan hukum dengan sangat baik. Pertimbangkan, misalnya, hak dasar yang sama dari kebebasan individu, seperti properti dan hak kontrak. Kant membumikan legitimasi hukum dalam prinsip hukum universal (Rechtsprinzip, sering diterjemahkan sebagai "prinsip hak"), yang dapat ditafsirkan sebagai kondisi yang mana dimungkinkan bagi subjek yang berorientasi moral, untuk memaknai dan menguniversalisasi batas-batas pada perilaku eksternal individu yang berorientasi strategis.
Menurut Kant, "konsepsi moral" hukum adalah "jumlah dari kondisi kehendak bebas (Willkur) dari seseorang yang dapat bergabung dengan kehendak bebas orang lain, sesuai dengan hukum kebebasan universal." Analisis hak ini memunculkan ketegangan internal antara faktisitas dan validitas yang menghuni hukum secara umum: sebagai tindakan yang mampu dan ditegakkan, hak-hak tersebut (dan norma hukum secara umum) mewakili fakta sosial yang mendemarkasi area yang mana individu yang berorientasi keberhasilan dapat memilih dan bertindak sesuai keinginan mereka (terkait dengan kebebasan yang universal, hak layak untuk dihormati sebagai subjek moral), dan dengan demikian membawa klaim legitimasi.
Namun, ketika Habermas membaca ulang legitimasi dari Immanuel Kant, pada akhirnya hukum merupakan bawahan (sub-ordinasi) terhadap moralitas. Kant juga mengandalkan kerangka metafisik yang tidak lagi masuk akal: pada beberapa pendapat Kant, kemungkinan aksesibilitas rasionalitas universal tergantung pada harmoni rasionalitas yang telah ditetapkan sebelumnya di luar dunia empiris.
Cara pandang Immanuel Kant bahwa hukum subordinasi dari moralitas telah menyederhanakan basis rasionalitas legitimasi. Rasionalitas yang disatukan secara transendental telah menganggap ada konsensus sebelum diskursus publik yang sebenarnya. Meskipun demikian, daya tarik Kant terhadap konsensus rasional sebagai cita-cita berhukum, telah menangkap bagian penting dari ketegangan dalam berhukum.
Jika hukum pada dasarnya dibentuk oleh ketegangan antara faktisitas dan validitas (antara fakta-fakta, administrasi, dan penegakan hukum di institusi sosial di satu sisi, dan klaimnya untuk layak mendapatkan pengakuan umum di sisi lain), maka teori yang berkarakter idealisasi klaim validitas dalam konteks sosial konkret, merekomendasikan dirinya sebagai analisis hukum. Inilah yang memungkinkan Teori Tindakan Komunikatif dalam cara berhukum, tanpa pretensi metafisik dan penyederhanaan berlebihan yang moralistik, sebagaimana kita temukan dalam pemikiran filsafat Immanuel Kant.
Perilaku Paradoks
Kita akan membahas contoh perilaku tertentu supaya memudahkan pembahasan Dualitas Hukum Modern. Perilaku yang satu sama lain berbeda secara ekstrim.
Perilaku pertama, seorang teman saya nekad melakukan mudik di masa pandemi Covid-19. Dia tahu ada aturan yang melarang mudik. Tapi dia malah menyiapkan sepeda motor dan sampailah dia ke tujuan, meskipun beberapa kali dicegat polisi, diperiksa polisi, dan seterusnya. Pada waktu pemeriksaan, dia mulai merasakan kekuatan hukum. Praktik kekuasaan. Kekuatan paksaan. Hukum yang mengandung paksaan.
Dia menerima sanksi yang diterapkan oleh aparatur penegak hukum. Teman saya yang nekad mudik itu mulai menemukan makna hukum. Uniknya, dia menjadi "bad man". Orang yang berperilaku buruk. Tapi karena perilakunya buruk karena dia melanggar hukum atau melanggar larangan mudik, dia justru menemukan makna dari Hukum itu sendiri.
Perilaku kedua, teman saya berlatarbelakang pendidikan Fakultas Hukum dan paham aturan hukum tentang larangan mudik. Dia menyelidiki norma-norma penanganan pandemi Covid-19, himbauan Presiden, Menteri dan seterusnya. Kesimpulannya, dia harus punya ketaatan terhadap norma-norma larangan mudik di masa pandemi Covid-19.
Alasan ketaatannya bermacam-macam. "Ini mungkin kehendak Tuhan, saya nggak bisa pulang ke kampung.” Kebetulan dia berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN)) yang mengalami kemiskinan temporal Tunjangan kinerja atau "Gaji Ke-13" tidak kunjung diterima. Alasan lain, dia tidak punya uang saku yang cukup dan bahkan satu hari menjelang lebaran Idul Fitri dia masih rapat di kantor sehingga tidak mungkin dia menyiapkan energinya secara mendadak untuk mudik. Ketaatan ini akhirnya muncul dan menguat dalam dirinya, dan ujungnya dia tidak mudik. Fenomena atau perilaku semacam ini menunjukkan bahwa hukum dimaknai secara Nalar.
Pada contoh perilaku pertama, temen saya mengetahui adanya larangan mudik tapi tetap ia terjang atau ia langgar, sehingga peristiwa pelanggaran hukum itu memiliki eksistensi dalam fakta sosialnya.
Dalam konteks contoh perilaku kedua, teman saya yang mempunyai Nalar yang kuat tentang hukum, terutama hukum yang positivistik berkaitan dengan peraturan-peraturan, kaidah-kaidah dan kewenangan, akhirnya dia menaati peraturan itu.
Para pembaca yang budiman kedua contoh itulah merefleksikan Dualitas Hukum Modern. Selama ini, kita cenderung memahami hukum seperti gaya kaum filsuf hukum Anglo-Amerika, yang membahas hukum diawali dari pengertian-pengertian hukum. Pengertian hukum berbasis fakta atau berbasis norma. Selain itu peristiwa peritama bisa kita maknai dalam Realisme Hukum. Oliver Holmes atau Lawrence Friedmann, para ilmuwan Realisme Hukum, banyak memberikan contoh tentang Struktur, Kultur, dan Substansi Hukum. Friedmann mencontohkan banyak peristiwa-peristiwa nyata yang menyebabkan seseorang tahu Sistem Hukum.
Peristiwa kedua kita maknai dalam Klaim Nalar. Orang yang bermain di wilayah norma. Gampangnya, kalau anda saksikan ada teman anda ketika berdiskusi lalu berkata, "Berdasarkan pasal sekian, kaidah hukumnya adalah Kaidah Larangan, sehingga siapapun yang melakukan perbuatan mudik tadi itu akan dikenai Kaidah Hukum Larangan." Lalu, perdebatan berlanjut, siapa yang berwenang? Polisi. Untuk melakukan tilang atau memerintahkan pemudik memutar balik arah perjalanannya. Dan seterusnya.
Klaim Legitimasi
Para pembaca budiman, Anda akan saksikan kurang lebih setelah sekian ratus halaman dari bukunya, mulai Bab 1 sampai dengan Bab 3 dalam Between Facts and Norms, Habermas mulai mengenalkan dan memosisikan Teori Tindakan Komunikatif yang selama ini sudah membahas hukum. Tetapi Habermas menarik implikasi dari Teori Tindakan Komunikatif pada karya sebelumnya itu secara politik, sosiologis dan filosofis.
Teori Tindakan Komunikatif akan menyebabkan kita merasa terlempar ke lautan perdebatan hukum. Hukum selama ini ternyata dimaknai sebagai Sistem Hak atau Sistem Hak-hak, System of Rights, karena kita selalu mengenal hukum melalui hak-hak, definisi-definisi tentang hak, misalnya:
apakah hak pengemudi itu dilanggar atau tidak oleh Polisi?
apakah ada penegak hukum yang berhak dan sekaligus berwenang untuk melakukan penegakan hukum kepada pengemudi yang mudik?
adakah hak dari seseorang yang taat aturan akan tetap terjaga dari gangguan oleh perilaku nekad mudik?
Melalui Teori Tindakan Komunikatif, Habermas melampaui cara berhukum sepihak hanya melalui hak-hak atau definisi tentang hak. Dalam Dualitas Hukum Modern selalu terjadi ketegangan antara cara berhukum dari fakta-fakta dan cara berhukum dari norma-norma, sehingga melalui ciri khas dalam Teori Tindakan Komunikatif perihal legitimasi, bagaimana klaim legitimasi hukum berlangsung?
Dalam cara berhukum dari fakta-fakta terdapat kekuasaan, kekuatan, paksaan dan sanksi-sanksi di alam fakta. Orang memahami hukum setelah mengalami langsung praktik kekuasaan, kekuatan, paksaan, dan sanksi-sanksi di alam fakta, bukan alam aturan. Pada contoh perilaku pertama, seseorang nekad mudik walaupun tahu ada aturan yang melarangnya, itu adalah fakta. Ia memahami hukum itu berasal dari kekuasaan. Kekuasaan terdekat tentu saja polisi yang melakukan sanksi tilang terhadapnya.
Kita catat pembelajaran pertama dari Habermas: klaim legitimasi hukum muncul dari fakta-fakta kekuasaan.
Kritik diajukan dalam hal ini, bukankah dalam contoh perilaku kedua, tidak selamanya orang berpikir tentang hukum setelah ia melakukan pelanggaran hukum terlebih dahulu? Orang memahami hukum juga melalui cara lain yakni klaim legitimasi hukum dari nilai.
Perilaku seseorang yang tidak mudik karena tahu aturan dan ditambah alasan tidak punya uang, pada contoh perilaku kedua, merupakan cara berhukum dari nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Cara berhukumnya berlangsung melalui Klaim Nalar. Nalarnya berpikir ada kaidah-kaidah hukum tertentu dari dalam aturan hukum yang melarang mudik.
Kita catat pembelajaran kedua dari Habermas: klaim legitimasi hukum muncul dari dalam aturan hukum.
Sampai di penghujung penjelasan Dualitas Hukum Modern, para pembaca budiman mudah untuk memahami bahwa cara berhukum dari nilai-nilai, norma, atau kaidah-kaidah hukum, hanyalah salah satu cara berhukum. Klaim legitimasi hukum tidak mutlak muncul dari dalam aturan hukum.
Klaim legitimasi hukum bisa muncul baik dari klaim legitimasi hukum yang bersumber dari klaim nalar atas norma-norma maupun klaim atas fakta-fakta.*
HUKUM KOMUNIKATIF Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ BAGIAN KE-1: BANGUN DARI TIDUR YANG PANJANG Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic . Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang b...
Day 1 DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge - So Hum The Reality of Abundance DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge. Day 1 Here we go! After you complete the task, please write: "Day 1 Done." You can leave the group if you decide not to continue. I highly recommend doing the meditation and the task at the beginning of the day, if possible. It changes the course of the day! Task In your new notebook, make a list of 50 people that have influenced your life. They can be both living and already departed people, your relatives, friends, and celebrities, writers and personalities whom you do not necessarily know personally. Everyone who has influenced you, and contributed to your growth & development. The list must have at least 50 names. In the process of making a list, think about why you chose the person. What has changed in your life for the better? Move calmly and thoughtfully. Remember the best things about each person in the list and w...
Tulisan serial yang dirancang menjadi buku filsafat hukum ini menceburkan pembaca pada obrolan atau diskursus filsafat hukum di masa ambyar. Setiap pembaca bebas memaknai situasi, gagasan, kondisi dan apapun namanya tentang "ambyar" pada judul buku ini. Untaian kata yang ketat dan melelahkan akan terjumpai secara tematik: Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana Menziarahi Ius, Lex dan Codex Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Hirarki dan Ko-Eksistensi Gagasan Berhukum Deliberatif Please cite as: Putra, Anom Surya. “Filsafat Hukum di Masa Ambyar: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex.” Blog Anom Surya Putra , Juni 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/opini-filsafat-hukum-bagian-ke-2.html ------------------------------------ Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex Theo Huijbers (1982) membangun proposisi teoritik yang tepat untuk meletakkan Filsafat Hukum dalam penghampiran filsafat yang reflektif. Filsafat Hukum merupakan bagian dari filsafat yakni ...
Welcome to day one. Welcome to the Chopra Center 21-Day Meditation Challenge, Creating Abundance. We are very happy you've decided to embark on this journey, into stillness and silence, to experience authentic abundance consciousness. Over the next three weeks, we'll focus on different aspects of abundance. In our first week, preparing for abundance, we'll consider the promise of unlimited potential. During this time, we learn what true abundance ism the infinite source from which it springs, how consciousness and the mind affect its flow, and how we can more deeply understand that abundance is a divine right, bestowed upon each, and every one of us. During our second week, we'll show how abundance relates to the seven spiritual laws of success, beginning with the law of pure potentiality, what exactly is possible, and ending with the law of dharma, how to increase abundance in our lives, by serving humanity, with our unique skills and talents. In our third week, we...
Welcome today twelve. Having an abundance consciousness, allows us to view life as a magical adventure, where our needs are met with grace, and ease. It includes the ability to see beauty, wherever we go, have gratitude as our primary emotion, hold open our hearts to everyone we meet, and trust in the cosmic plan. According to the law of intention and desire, we recognized that at the deepest level of reality is a field of energy, that gives rise to all the forms of creation. Placing your attention on exactly what you want to create in your life, beauty, love, prosperity, will energize that object of your desire, and draw it to you. Attention energizes, intention transforms. Once you clarify your intentions, surrender them into the silence, and allow the universe to work out the details. Today I will guide you through a visualization meditation, where we'll create our intentions and release them. So let's begin. Please find a comfortable position, placing your hands gently in y...
This is a copy of an Indonesian translation of "Gaga: Notes on the Management of Public Identity (Persona Studies, 2019). Translated by Anom Surya Putra. Click here for the original post . Please cite as: Deflem, Mathieu. 2019. "Lady Gaga: Catatan tentang Manajemen Identitas Publik.” June 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/lady-gaga-catatan-tentang-manajemen.html -------------------------------------------- Lady Gaga mencontohkan selebriti kontemporer dalam budaya populer karena tingkat ketenarannya dan juga karena kepribadiannya yang ia hadirkan kepada pendengarnya baik penggemar maupun penonton. Dalam makalah ini, saya membahas bagaimana kepribadian seseorang yang terlahir sebagai Stefani Germanotta diciptakan dan kemudian dipelihara dalam berbagai cara terkait dengan penamaannya sebagai Lady Gaga. Mengutip karya Erving Goffman, diskusi saya melampaui analisis efektivitas dan ketenaran dari presentasi-diri Lady Gaga dengan esensi lanjutan dari kepribadian it...
Welcome to day nine. Life blooms through the flow of giving and receiving. Nothing is static. Our bodies flourished through dynamic and constant exchange with the universe. Cells thrive through cooperation with one another, as do all organs. Blood must flow freely and stopping its flow, creates coagulation, just as twatting the flow of a river creates stagnation. Nature similarly, provides us with a perfect symphony. The Sun provides warmth for seed pots to sprout. Tain brings much needed moisture to crops which subsequently give us food to nourish our bodies. Nowhere in the natural world does hoarding exist. The process of giving and receiving, is a crucial part of nature's rich abundance. In this way, the law of giving is very simple. If you want joy give joy to others, if love is what you seek offer love, if you crave material affluence then help others become prosperous. The easiest way is to get what you want, is to circulate the flow of abundance and help others get what the...
Welcome to Day 14. Congratulations. Today you're completing the second week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. And you are well on your way to attracting the abundance that is waiting for you. This past week we've explored the topic of abundance, as it relates to the seven spiritual laws of success. Now we'll consider how the Law of Dharma, has the greatest influence, on your ability to fulfill your deepest desires. The first component of the Law of Dharma, is to discover your true self. The second and third components are inextricably intertwined. They are to express your unique talents, and share those gifts to bring happiness to you and others. Explore all the things that make your heart sing, and enable you to make a life, not just a living. Ask yourself how can I help, how can I serve. Expressing your gifts and service to others, is the highest expression of the law of Dharma, when your creative expressions match the needs of those...
Mazhab Timoho Berdesa dibahas kali pertama di dalam Jurnal Governabilitas Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Publik lebih akrab dengan istilah “pakar politik” daripada “pakar pemerintahan”. Istilah “pengamat politik” lebih sering kita dengar daripada “pengamat pemerintahan”. Padahal, para pakar tersebut sedang mengamati proses berpemerintahan, membahas orang-orang yang diberi kuasa untuk memerintah, seni dan cara memerintah, kebijakan pemerintah, dan seterusnya. Posisi Ilmu Pemerintahan selama ini seolah-olah ada dalam kendali ilmu Politik. Pada saat yang sama, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia kebanyakan terjebak pada “ilmu perkantoran” yang sangat bermuatan administrasi. Jika Ilmu Hukum berbicara soal legalitas, dan Ilmu Politik berbicara soal legitimasi yang demokratis, maka apa sesungguhnya yang dibahas oleh Ilmu Pemerintahan? Bagaimana pula Ilmu Hukum dan Sosiologi Hukum berdialog dengan Ilmu...
Welcome to day three. What is reality? Is it what we can experience with our senses? Or is it something else, something deeper. Consider for a moment, where was the chair you were sitting on before it was created, where was your newborn before she came into this world? Just because we cannot see or touch something, does not mean it doesn't exist. It simply means we can't experience it, in a three-dimensional world, at this moment. The same holds true for whatever you consider abundance, limitless love, unbounded joy, optimal health, our greater material possessions. Just because you're not experiencing what you desire in this moment, doesn't mean it can't exist, for you. We live our lives primarily on the physical plane, which includes everything that has form or substance, what we commonly refer to as mater. Some look at this physical realm, and see lack, others, see abundance. Some feel abundant, others feel limited, based on certain messages they may have receive...
Komentar