PENGANTAR Jürgen Habermas | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse
Dapatkan link
Facebook
Twitter
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (4): Dualitas Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang
Dapatkan link
Facebook
Twitter
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Serial tulisan ini membahas buku filsafat hukum dan sosiologi hukum "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996).
Buku Habermas dalam bahasa Inggris tersebut awalnya berjudul Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992. Habermas menulis pembahasan lengkap mengenai filsafat hukum, sosiologi hukum dan demokrasi deliberatif. Mahasiswa, praktisi hukum, ilmuwan sosial hukum dan politisi partai politik perlu membaca dan menimbang-nimbang buku ini dalam praksis berhukum kontemporer.
Please cite as: Putra, Anom Surya. “Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (4): Dalam Dualitas Paradoks Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang.” Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.
------------------------------------
Dalam Dualitas Paradoks Hukum Modern, Fakta dan Norma Selalu Bersitegang
Pemikiran filsafat hukum Jurgen Habermas bisa kita kaji dari perspektif ketika Teori Demokrasi dan Teori Hukum berada di persimpangan jalan. Ada tekanan-tekanan sehingga paradigma konstitusional lama tidak mampu menyelesaikan kompleksitas persoalan sosial, pluralisme dan negara kesejahteraan. Paradigma yang sangat normatif. Tidak bisa satu pasal dalam konstitusi menyelesaikan perkara-perkara sosial yang ada di masyarakat.
Lalu, mengapa kita berlanjut dengan pembahasan Dualitas Hukum Modern?
Pada sesi sebelumnya terdapat closing statement bahwa untuk memahami pemikiran Filsafat Hukum Jurgen Habermas kita perlu mendalami kerangka teoritis dari Jurgen Habermas. Jendela pemahamannya terletak pada tema Dualitas Hukum Modern sebagaimana diuraikan oleh William Rehg dalam pengantar Between Facts and Norms berikut ini.
William Rehg menyatakan, dalam pembahasan hukum, filsuf Anglo-Amerika bersepakat untuk membahas hukum berawal dari pengertian tentang konsep hukum itu sendiri. Dalam Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), konsep dasar mengenai hukum sebagai sistem hak-hak (system of rights) tidak nampak diulas sepenuhnya sampai dengan Bab 3. William Rehg berpendapat, hal ini menunjukkan skala ambisius dari usaha Habermas ketika menjelaskan konsep dasar hukum. Usaha Habermas ini tampak membutuhkan persiapan yang cukup matang. Sehingga dua bab pertama dalam buku iBetween Facts and Norms menyajikan kerangka konseptual dari Habermas sendiri dan lanskap perdebatan hukum sebagai sistem hak.
Kerangka konseptual Habermas tentang hukum sepenuhnya telah dibahas dalam buku sebelumnya, dua volume dari Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), dan karya Between Facts and Norms ini cenderung membahas implikasi-implikasi hukum, politik dan kelembagaan dari karya sebelumnya. William Rehg mengenalkan kerangka konseptual hukum dari Habermas dan memotivasi kita untuk meluaskan cara menganalisis Hukum Modern dan Demokrasi. Kita akan menelusuri teka-teki yang dibuat Habermas yaitu dualitas paradoks hukum modern. Selanjutnya barulah kita akan bisa memahami Teori Tindakan Komunikatif secara partikular untuk memahami ketegangan dalam hukum dan melakukan pembahasan secara konstruktif.
Dualitas Hukum Modern
Untuk melihat dari dekat, analisis hukum modern dalam konteks ketegangan antara fakta-fakta dan keabsahan normatif, bukanlah hal mengejutkan. Ruang hukum (legal sphere) sudah sejak lama dikarakterisasikan oleh teoritisi pada konteks dualitas itu. Lazim kita saksikan, ketegangan antara fakta-fakta dan norma-norma atau ketegangan antara fakta-fakta dan keabsahan normatif berada pada beberapa level. Tetapi pada masing-masing level kita menemukan realitas sosial di satu sisi dan klaim nalar (yang terkadang ditolak realitas) di sisi lain.
Sebagai contoh, aturan hukum yang mengatur sanksi-sanksi. Di satu sisi, hukum merupakan kehendak dari pembentuk aturan hukum yang berkuasa untuk menghukum siapapun yang tidak patuh. Penegakan hukum dan kepatuhan hukum itu memiliki eksistensi dalam fakta-fakta sosial. Di sisi lain, hukum tidak hanya berisi perintah yang didukung dengan ancaman tetapi juga mewujudkan klaim legitimasi.
Desakan dari Oliver Wendell Holmes bahwa kita harus memahami hukum sebagai "orang jahat" atau tidak, yaitu melihat hukum hanya dengan mengingat kemungkinan konsekuensi negatif dari tertangkapnya seseorang ketika melakukan peelanggaran hukum. Ini tidak bisa lagi menjadi narasi lengkap dari cara berhukum. Banyak warga negara tidak secara konsisten "melakukan perbuatan buruk" dalam pengertian pelanggaran hukum, dan diragukan pula apakah sistem hukum dapat bertahan lama bila semua orang mengambil pendekatan eksternal ini sepanjang waktu.
Setidaknya sebagian dari (mayoritas) populasi harus melihat aturan hukum sebagai standar yang harus diikuti semua orang, apakah karena aturan hukum itu mencerminkan cara-cara leluhurnya, struktur kosmos, atau hak Tuhan, atau karena hukum telah disetujui secara demokratis, atau hukum hanya diberlakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Kita ingat pandangan H. L. A. Hart bahwa "aspek internal" hukum adalah fungsi legitimasi atau pengakuan sosialnya. Persis bagaimana legitimasi tersebut harus ditafsirkan, jelas merupakan pertanyaan lebih lanjut. Poin pentingnya adalah ini: hukum merupakan sistem aturan yang dapat dipaksakan dan prosedur impersonal yang juga melibatkan imbauan untuk alasan bahwa semua warga negara harus (setidaknya secara ideal) menerima sistem aturan, sekaligus warga negara dapat menerima sistem aturan.
Habermas sangat berutang budi pada konsep legitimasi Immanuel Kant, yang memunculkan ketegangan hukum dengan sangat baik. Pertimbangkan, misalnya, hak dasar yang sama dari kebebasan individu, seperti properti dan hak kontrak. Kant membumikan legitimasi hukum dalam prinsip hukum universal (Rechtsprinzip, sering diterjemahkan sebagai "prinsip hak"), yang dapat ditafsirkan sebagai kondisi yang mana dimungkinkan bagi subjek yang berorientasi moral, untuk memaknai dan menguniversalisasi batas-batas pada perilaku eksternal individu yang berorientasi strategis.
Menurut Kant, "konsepsi moral" hukum adalah "jumlah dari kondisi kehendak bebas (Willkur) dari seseorang yang dapat bergabung dengan kehendak bebas orang lain, sesuai dengan hukum kebebasan universal." Analisis hak ini memunculkan ketegangan internal antara faktisitas dan validitas yang menghuni hukum secara umum: sebagai tindakan yang mampu dan ditegakkan, hak-hak tersebut (dan norma hukum secara umum) mewakili fakta sosial yang mendemarkasi area yang mana individu yang berorientasi keberhasilan dapat memilih dan bertindak sesuai keinginan mereka (terkait dengan kebebasan yang universal, hak layak untuk dihormati sebagai subjek moral), dan dengan demikian membawa klaim legitimasi.
Namun, ketika Habermas membaca ulang legitimasi dari Immanuel Kant, pada akhirnya hukum merupakan bawahan (sub-ordinasi) terhadap moralitas. Kant juga mengandalkan kerangka metafisik yang tidak lagi masuk akal: pada beberapa pendapat Kant, kemungkinan aksesibilitas rasionalitas universal tergantung pada harmoni rasionalitas yang telah ditetapkan sebelumnya di luar dunia empiris.
Cara pandang Immanuel Kant bahwa hukum subordinasi dari moralitas telah menyederhanakan basis rasionalitas legitimasi. Rasionalitas yang disatukan secara transendental telah menganggap ada konsensus sebelum diskursus publik yang sebenarnya. Meskipun demikian, daya tarik Kant terhadap konsensus rasional sebagai cita-cita berhukum, telah menangkap bagian penting dari ketegangan dalam berhukum.
Jika hukum pada dasarnya dibentuk oleh ketegangan antara faktisitas dan validitas (antara fakta-fakta, administrasi, dan penegakan hukum di institusi sosial di satu sisi, dan klaimnya untuk layak mendapatkan pengakuan umum di sisi lain), maka teori yang berkarakter idealisasi klaim validitas dalam konteks sosial konkret, merekomendasikan dirinya sebagai analisis hukum. Inilah yang memungkinkan Teori Tindakan Komunikatif dalam cara berhukum, tanpa pretensi metafisik dan penyederhanaan berlebihan yang moralistik, sebagaimana kita temukan dalam pemikiran filsafat Immanuel Kant.
Perilaku Paradoks
Kita akan membahas contoh perilaku tertentu supaya memudahkan pembahasan Dualitas Hukum Modern. Perilaku yang satu sama lain berbeda secara ekstrim.
Perilaku pertama, seorang teman saya nekad melakukan mudik di masa pandemi Covid-19. Dia tahu ada aturan yang melarang mudik. Tapi dia malah menyiapkan sepeda motor dan sampailah dia ke tujuan, meskipun beberapa kali dicegat polisi, diperiksa polisi, dan seterusnya. Pada waktu pemeriksaan, dia mulai merasakan kekuatan hukum. Praktik kekuasaan. Kekuatan paksaan. Hukum yang mengandung paksaan.
Dia menerima sanksi yang diterapkan oleh aparatur penegak hukum. Teman saya yang nekad mudik itu mulai menemukan makna hukum. Uniknya, dia menjadi "bad man". Orang yang berperilaku buruk. Tapi karena perilakunya buruk karena dia melanggar hukum atau melanggar larangan mudik, dia justru menemukan makna dari Hukum itu sendiri.
Perilaku kedua, teman saya berlatarbelakang pendidikan Fakultas Hukum dan paham aturan hukum tentang larangan mudik. Dia menyelidiki norma-norma penanganan pandemi Covid-19, himbauan Presiden, Menteri dan seterusnya. Kesimpulannya, dia harus punya ketaatan terhadap norma-norma larangan mudik di masa pandemi Covid-19.
Alasan ketaatannya bermacam-macam. "Ini mungkin kehendak Tuhan, saya nggak bisa pulang ke kampung.” Kebetulan dia berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN)) yang mengalami kemiskinan temporal Tunjangan kinerja atau "Gaji Ke-13" tidak kunjung diterima. Alasan lain, dia tidak punya uang saku yang cukup dan bahkan satu hari menjelang lebaran Idul Fitri dia masih rapat di kantor sehingga tidak mungkin dia menyiapkan energinya secara mendadak untuk mudik. Ketaatan ini akhirnya muncul dan menguat dalam dirinya, dan ujungnya dia tidak mudik. Fenomena atau perilaku semacam ini menunjukkan bahwa hukum dimaknai secara Nalar.
Pada contoh perilaku pertama, temen saya mengetahui adanya larangan mudik tapi tetap ia terjang atau ia langgar, sehingga peristiwa pelanggaran hukum itu memiliki eksistensi dalam fakta sosialnya.
Dalam konteks contoh perilaku kedua, teman saya yang mempunyai Nalar yang kuat tentang hukum, terutama hukum yang positivistik berkaitan dengan peraturan-peraturan, kaidah-kaidah dan kewenangan, akhirnya dia menaati peraturan itu.
Para pembaca yang budiman kedua contoh itulah merefleksikan Dualitas Hukum Modern. Selama ini, kita cenderung memahami hukum seperti gaya kaum filsuf hukum Anglo-Amerika, yang membahas hukum diawali dari pengertian-pengertian hukum. Pengertian hukum berbasis fakta atau berbasis norma. Selain itu peristiwa peritama bisa kita maknai dalam Realisme Hukum. Oliver Holmes atau Lawrence Friedmann, para ilmuwan Realisme Hukum, banyak memberikan contoh tentang Struktur, Kultur, dan Substansi Hukum. Friedmann mencontohkan banyak peristiwa-peristiwa nyata yang menyebabkan seseorang tahu Sistem Hukum.
Peristiwa kedua kita maknai dalam Klaim Nalar. Orang yang bermain di wilayah norma. Gampangnya, kalau anda saksikan ada teman anda ketika berdiskusi lalu berkata, "Berdasarkan pasal sekian, kaidah hukumnya adalah Kaidah Larangan, sehingga siapapun yang melakukan perbuatan mudik tadi itu akan dikenai Kaidah Hukum Larangan." Lalu, perdebatan berlanjut, siapa yang berwenang? Polisi. Untuk melakukan tilang atau memerintahkan pemudik memutar balik arah perjalanannya. Dan seterusnya.
Klaim Legitimasi
Para pembaca budiman, Anda akan saksikan kurang lebih setelah sekian ratus halaman dari bukunya, mulai Bab 1 sampai dengan Bab 3 dalam Between Facts and Norms, Habermas mulai mengenalkan dan memosisikan Teori Tindakan Komunikatif yang selama ini sudah membahas hukum. Tetapi Habermas menarik implikasi dari Teori Tindakan Komunikatif pada karya sebelumnya itu secara politik, sosiologis dan filosofis.
Teori Tindakan Komunikatif akan menyebabkan kita merasa terlempar ke lautan perdebatan hukum. Hukum selama ini ternyata dimaknai sebagai Sistem Hak atau Sistem Hak-hak, System of Rights, karena kita selalu mengenal hukum melalui hak-hak, definisi-definisi tentang hak, misalnya:
apakah hak pengemudi itu dilanggar atau tidak oleh Polisi?
apakah ada penegak hukum yang berhak dan sekaligus berwenang untuk melakukan penegakan hukum kepada pengemudi yang mudik?
adakah hak dari seseorang yang taat aturan akan tetap terjaga dari gangguan oleh perilaku nekad mudik?
Melalui Teori Tindakan Komunikatif, Habermas melampaui cara berhukum sepihak hanya melalui hak-hak atau definisi tentang hak. Dalam Dualitas Hukum Modern selalu terjadi ketegangan antara cara berhukum dari fakta-fakta dan cara berhukum dari norma-norma, sehingga melalui ciri khas dalam Teori Tindakan Komunikatif perihal legitimasi, bagaimana klaim legitimasi hukum berlangsung?
Dalam cara berhukum dari fakta-fakta terdapat kekuasaan, kekuatan, paksaan dan sanksi-sanksi di alam fakta. Orang memahami hukum setelah mengalami langsung praktik kekuasaan, kekuatan, paksaan, dan sanksi-sanksi di alam fakta, bukan alam aturan. Pada contoh perilaku pertama, seseorang nekad mudik walaupun tahu ada aturan yang melarangnya, itu adalah fakta. Ia memahami hukum itu berasal dari kekuasaan. Kekuasaan terdekat tentu saja polisi yang melakukan sanksi tilang terhadapnya.
Kita catat pembelajaran pertama dari Habermas: klaim legitimasi hukum muncul dari fakta-fakta kekuasaan.
Kritik diajukan dalam hal ini, bukankah dalam contoh perilaku kedua, tidak selamanya orang berpikir tentang hukum setelah ia melakukan pelanggaran hukum terlebih dahulu? Orang memahami hukum juga melalui cara lain yakni klaim legitimasi hukum dari nilai.
Perilaku seseorang yang tidak mudik karena tahu aturan dan ditambah alasan tidak punya uang, pada contoh perilaku kedua, merupakan cara berhukum dari nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Cara berhukumnya berlangsung melalui Klaim Nalar. Nalarnya berpikir ada kaidah-kaidah hukum tertentu dari dalam aturan hukum yang melarang mudik.
Kita catat pembelajaran kedua dari Habermas: klaim legitimasi hukum muncul dari dalam aturan hukum.
Sampai di penghujung penjelasan Dualitas Hukum Modern, para pembaca budiman mudah untuk memahami bahwa cara berhukum dari nilai-nilai, norma, atau kaidah-kaidah hukum, hanyalah salah satu cara berhukum. Klaim legitimasi hukum tidak mutlak muncul dari dalam aturan hukum.
Klaim legitimasi hukum bisa muncul baik dari klaim legitimasi hukum yang bersumber dari klaim nalar atas norma-norma maupun klaim atas fakta-fakta.*
Day 1 DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge - So Hum The Reality of Abundance DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge. Day 1 Here we go! After you complete the task, please write: "Day 1 Done." You can leave the group if you decide not to continue. I highly recommend doing the meditation and the task at the beginning of the day, if possible. It changes the course of the day! Task In your new notebook, make a list of 50 people that have influenced your life. They can be both living and already departed people, your relatives, friends, and celebrities, writers and personalities whom you do not necessarily know personally. Everyone who has influenced you, and contributed to your growth & development. The list must have at least 50 names. In the process of making a list, think about why you chose the person. What has changed in your life for the better? Move calmly and thoughtfully. Remember the best things about each person in the list and w
Tulisan ini merupakan translasi dari tulisan Chiara Valentini , Senior Researcher in Philosophy of Law , Department of Legal Studies and Alma Human AI, University of Bologna (Italy). Source: Chiara Valentini, “ Deliberative constitutionalism and judicial review ”, Revus [Online], 47 | 2022, Online since 20 March 2022, connection on 25 July 2022. URL: http://journals.openedition.org/revus/8030; DOI: https://doi.org/10.4000/revus.8030 This is a copy of an Indonesian translation of “Deliberative constitutionalism and judicial review” (2022), Chiara Valentini, Revus [Online], Translated by Anom Surya Putra. Please cite as: Chiara Valentini, 2022. "Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review ." Blog Anom Surya Putra. Juli 2022. ------------ Abstrak Konstitusionalisme deliberatif merupakan bidang yang muncul yang menggabungkan teori konstitusi –-dan penekanannya pada batasan hukum untuk kekuasaan politik-– dengan teori demokrasi deliberatif -– dan idea-idea tentang delibera
Welcome to day ten. Although all of the events in your life are governed by the law of cause and effect, and our karmic events, there is great freedom in knowing, that if you do not like the results of a previous choice, then you can always choose again. In every situation, there are countless alternatives that affect you and those around you. When you go to make that singular choice, it should nourish you, and everyone else, influenced by your actions. This, is the law of karma or conscious choice making. True abundance or affluence is the ability to fulfill one's desires with minimal effort. When we speak of abundance as it relates to the law of karma, we can look to the concept of stewardship, responsibly caring for something we value, as a path to realizing our dreams. Taking proper care of a child. Making healthy choices for our bodies. Or using Earth's natural resources responsibly. All these are examples of good stewardship. Every action we take, generates a force of en
Welcome to Day 16. Experiencing gratitude, is one of the most effective ways of getting in touch with your soul. When you feel gratitude, your ego steps out of the way, enabling you to enjoy greater love, compassion, and understanding. Genuine gratitude, is also one of the most powerful ways, to invite more goodness into our lives. It's as if you are saying to the universe, please bring me more of this. Gratitude is independent of any situation, circumstance, person, or experience. When you connect with this true inner joy, you feel bliss for no reason. Simply being alive, to gaze at the Stars, and appreciating the miracle of life itself, brings you happiness. To feel gratitude, consider all the wonderful gifts you enjoy in your life. Nurturing loving relationships. Connections you have with very special beings. The miracle of your body and fertile mind, and material comforts. Appreciating your life in this manner, sweeps away any thought of lack or limitation, and reminds you
Welcome to day six. We are born with everything we need, the life of fulfillment and success. But often we measure our love, joy, health, vitality, and other positive qualities, by comparing ourselves to someone or something else. Perhaps thinking thoughts like, I have a loving relationship, but not as loving as my friends. Or, I live in a nice house, but not as big as my brothers. Or, I have a good job, and I don't make as much money as my colleague. Such comparisons, stem from object referral, looking outside oneself for validation. But an abundant life is not about external comparisons. Instead, a life of fulfillment comes from within, through the knowledge that you were created with everything you need to be happy and successful, and can access those seeds of abundance, at any time. Currently all over the world many people are experiencing difficult times. When we experience such setbacks, we sometimes feel like we will never achieve success. Yet, in every perceived failure or
Welcome to day four. Noted Swiss psychologist and psychiatrist Carl Jung, coined the term, Collective unconscious. He coined the term to signify the beliefs we hold, that are based on what others have taught us. All these beliefs, stem from object prefer, seeking answers, externally, and accepting others portrayals of how life is supposed to be. As we reconnect with the higher self, they are living within for guidance, we begin to live our lives through self-refer, detaching from external messages, and living from Pure Consciousness or the unified field. As we contemplate our understanding of abundance, We may realize that our social conditioning has led us to believe, that there is only so much to go around, a finite amount of money, or a limited number of opportunities. Whether we define abundance as material wealth, love, joy, friends for recognition, we project the idea that these resources are scarce, and when they are gone, there will be no more. If this has been your experienc
Welcome to day eight. Welcome to our second week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. This week you will learn how to attract greater abundance, by applying the laws from my book, the seven spiritual laws of success to your life. Today we'll focus on the first law. The law of pure potentiality, which asserts that in our essential state, we are pure consciousness, pure potentiality and the field of all possibilities. When you discover your true nature, and know who you really are, you experience pure being, and sand fearless, in the face of any challenge. In this state, you're anchored in the unlimited and eternal power of the Self, restores people situations and circumstances to you, to help support your deepest desires. Engage in our daily activities, we sometimes hear thoughts and opinions, often expressed as fact, that do not reflect our divine essence, for instance, we may hear news that good jobs are scarce, the global financial picture is bleak, or the worl
Welcome to day seven. Congratulations on completing the first week, of the Chopra Center 21-day meditation challenge, creating abundance. Over the past six days, we have discovered the reality and source of abundance, which is unlimited and eternal. We've learned that mind, matter, and spirit, work in conjunction with one another, to manifest abundance that in the silent field of all possibilities, dwell the seeds of success, and that when you live from within, your desires are fulfilled quickly, spontaneously, and with minimal effort. This week, we'll contemplate what we sometimes call a coincidence, a miracle, or just good luck. Ask yourself, how long does it take for a dream to come true. In the minds of some specific conditions must be met, plans must be in place, a certain amount of time must pass, and effort needs to be exerted. However these conditions all spring from the physical three-dimensional world. In deeper levels of consciousness, what we call a dream, miracle
Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris. This is a copy of an Indonesian translation of “ Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition ” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra. Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum." Blog Anom Surya Putra , Juni 2022. ------------------------------- PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Mathieu Deflem Buku ini menyajikan visi-visi sosiologi hukum yang digerakkan secara teoritis dan berorientasi pada penelitian, berdasarkan pembahasan capaian u
Welcome to Day 17. There are some who live day to day, concerned about not having enough, of whatever they feel is necessary, for their happiness and security. Their bodies most likely echo those feelings, by sending messages of discomfort, in the form of anxiety, worry, or stress. This however doesn’t have to be. Instead, if we learn to trust the intelligence of the universe, and practice living carefreeness, we can live fearlessly, without worrying, and focus on lack. We can expect only the best, and live our lives, from a place of true joy. When the mind nourishes the body, with its carefree thoughts, and feelings, the body returns to its natural state of happiness and calm. And, from this state of bliss, you’ll be able to regain the memory, of who and what you really are. A spiritual being. Inextricable interconnected, with the creative power of the universe. Reconnecting with your true nature, you cross the invisible boundary, between the ego and true self. You begin to feel more
Komentar