Opini Terbaru
OPINI Sosiologi Hukum: Kewenangan DESA Berdasar Hak Asal Usul (Masa Majapahit) 👉Pancasila Bersumber dari DESA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pancasila bersumber dari Desa. Anom Surya Putra. Menit 06:10 dan menit 08:05.
Dari cara berhukum melalui historisitas Desa dalam Deśawarṇana dan ekonomi Desa skala lokal pada masa Majapahit terdapat keragaman Desa di Nusantara. Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Diskursus Deça mendekati fenomena Desa sebagai komunitas-organik di wilayah administratif yang mandiri, sedangkan diskursus Thani dan Dhapur mendekati fenomena komunitas-organik pada Desa Adat. Keduanya menyatu dalam skala yang lebih luas di wilayah kerajaan Majapahit. Poros komunikasi antara Negara dan masyarakat secara etis dirumuskan melalui Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa. Menjelang surutnya kekuasaan pemerintahan, negara-Majapahit menyusun hukum tertulis antara lain Gajamada, Adhigama (pidana), dan Kutaramanawa.
Pancasila telah ratusan tahun lebih eksis pada Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) Desa. Pancasila bersumber dari Desa dan diakui pada Sistem kekuasaan negara-Majapahit maupun norma fundamental NKRI. Melalui Deśawarṇana kita mengetahui Pancasila dipegang teguh oleh elit (datu) Majapahit (yatnagegwan i pancaçila krtasaskarabhisekakrama) untuk menghadapi situasi bergolak (zaman kali) di kerajaan (kedatuan). Elit Majapahit menekuni filsafat, ilmu bahasa, agama Shiwa-Buddha, laku utama, dan upacara suci (Pupuh 43 Deśawarṇana).
Selain itu terdapat teks Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang menguatkan sinyalemen tentang situasi yang bergolak di Majapahit. Mpu Tantular menulis kakawin untuk menyatukan masyarakat pengikut Buddha (Hyāng Buddha) dan Shiwa Rajadewa (Çiva rajādeva). Frasa “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” merepresentasikan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt): solidaritas antara masyarakat pengikut Buddha dan Shiwa di Desa teritorial Majapahit. Frasa tersebut merupakan frasa penutup untuk menyatukan keduanya (Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā), sehingga tidak mungkin terpisah satu sama lain (Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal).
Sutasoma merupakan tokoh simbolik elit kraton dan titisan Buddha yang pergi ke hutan untuk menemukan jati dirinya. Sutasoma bertarung mengatasi raksasa berbentuk gajah dan naga maupun harimau yang akan memakan anaknya sendiri. Hutan adalah simbol bagi Deśa (wilayah dan komunitas-organik) dalam Kakawin Deśawarnana, sedangkan hutan dalam Kakawin merupakan simbol dari tempat pertarungan antara pengikut Shiwa dan Buddha di Desa. Setiap tindakan yang dilakukan raja berujung pada perbaikan nilai-nilai kepemimpinan moral bagi dirinya sendiri dan memancar ke Desa.
Metafor dalam Kakawin Sutasoma menunjukkan upaya integrasi sosial masyarakat Majapahit pada lingkup Etis. Orientasinya adalah mencapai kebaikan bersama (common good) antara pengikut Shiwa dan Buddha demi menguatkan kerajaan Majapahit. Teks Sutasoma setidaknya mengenalkan filsafat komunitarian sebagaimana digagas oleh Aristotle. Masyarakat era Majapahit rawan mengalami konflik antar pengikut agama dan sekaligus berkapasitas untuk melakukan konsensus demi kebaikan bersama. Fenomena konflik antar pengikut agama terus berulang pada era kerajaan Demak dan sampai sekarang. Konflik pengikut agama di Deśa diwarnai persaingan sesama penguasa (Raka atau Rakryan) untuk membangun bangunan suci di Desa.
Singkat kata, pada masa Majapahit terdapat keragaman Desa di Nusantara. Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Diskursus Deça mendekati fenomena Desa sebagai komunitas-organik di wilayah administratif yang mandiri. Sedangkan diskursus Thani dan Dhapur mendekati fenomena komunitas-organik pada Desa Adat. Keduanya menyatu dalam skala yang lebih luas di wilayah kerajaan Majapahit. Poros komunikasi antara Negara dan masyarakat secara etis dirumuskan melalui Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.
Diskursus Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika turut mewarnai perdebatan ideologis pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Meskipun demikian nilai-nilai Pancasila dari Desa tetap hidup dalam batin warga Desa dengan segala hiruk pikuk perdebatan kritik ideologi di kalangan intelektual dan aktivis.*
Ponggok, Inspirasi Kemandirian Desa,
Menjelajahi Badan Hukum BUM Desa
Penulis: Anom Surya Putra
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Tahun Terbit: 2020
ISBN: 978-623-7177-33-3
Tebal Buku: xviii + 334 halaman
Ukuran: 14,5 x 21 cm
Harga: Rp 120.000
Pemesanan Buku:
LKiS Yogyakarta 0812-3427-2873
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar