Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Desa Dalam Pandangan Soekarno: Komunitas Karakter dan Kekuatan Politik Kebangsaan


Syahdan, pada tanggal 31 Mei 1945 pidato Soepomo direspons oleh Yamin dengan mengusulkan wilayah Negara Persatuan Indonesia. Sumber pengetahuan yang meyakinkan dari Yamin adalah Kakawin Nāgarakrětāgama (atau Desawarnana) yang dibuat pada masa Majapahit abad ke-14. Daerah kedaulatan negara Republik Indonesia adalah daerah pusaka bangsa Indonesia yang sejak dahulu terdapat pada Pupuh XIII-XV dalam Kakawin Nāgarakrětāgama. 

Data sejarah ini memang penting dan terlebih menguatkan pendapat Yamin sebelumnya tentang wilayah atau daerah mana saja yang bisa menjadi kekuasaan pemerintahan-bawahan. Kajian sejarah dan arkeologi yang dilakukan Yamin pada masa penyusunan UUD’45 sudah sejak awal dilandasi perspektif Desa sebagai teritorial bawahan. Yamin tidak memperhitungkan keragaman Desa dalam Nāgarakrětāgama yang mengalami rekognisi dari kraton atas nama negara-kerajaan.  

Ditengah perdebatan yang rumit dan detail tentang susunan negara, Soekarno mengawali pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato Soekarno langsung meletakkan fundasi politik kemerdekaan yang mendasar (disebut sebagai Weltanschauung; Jerman). Soekarno mengkritik susunan negara yang hanya menguntungkan keluarga-feodal dan klas borjuis seperti terjadi di Jerman, Sovyet, dan negara lainnya. 

Persatuan Nasib

Soekarno mengutip pemikiran dari Renan dan Bauer yang berbeda aliran dan diutarakan secara dialektis (Bdk. Yamin, 1971: 69-71). 

Pertama, pemikiran Ernest Renan dalam “Qu'est-ce qu'une nation” (Apakah bangsa itu?) (Bdk. Renan, 1887). Syarat bangsa adalah kehendak akan bersatu (le désir d’être ensemble; Perancis). 

Kedua, pemikiran Otto Bauer dalam “Die Nationalitätenfrage und die Sozialdemokratie” (Pertanyaan tentang Kebangsaan dan Sosial-Demokrasi) (Bdk. Bauer, 1907; Bauer, 2000). 

Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft; Jerman). Sintesis dari kehendak bersatu dan rasa persatuan nasib adalah bangsa Indonesia terikat dengan Geopolitik atau cinta tanah-air mulai dari ujung Sumatra sampai dengan Irian (sekarang disebut Papua).  

Ernest Renan (1887) bersikap kritis terhadap feodalisme. Keruntuhan imperium Romawi dan munculnya revolusi di Perancis maupun belahan dunia lain mendorong Renan mempertanyakan suatu identitas yang tidak sekedar dibuat dan diruntuhkan pula oleh sejarah. Renan memberi contoh Desa Saxony dan Lusatia ketika luluh lantak oleh pembantaian rezim imperium, akankah tetap mempunyai basis identitas yang mempersatukan populasi mereka dengan tanah-kelahirannya? 

Renan menyatakan bahwa ras, bahasa, agama, komunitas kepentingan, geografi, dan kisah heroik di masa lalu gagal mempersatukan komunitas dalam skala yang lebih luas. Sebab itu, bangsa (nation) diajukan Renan secara metafisik merupakan jiwa-spiritual (soul) dan secara politik merupakan solidaritas dalam skala-luas. Rasa penderitaan yang sama mendorong asosiasi individual untuk menjadi suatu bangsa dan bukan organisme-klasik penyatuan individu dengan kekuasaan raja yang absolutis-feodal. 

Soekarno mencermati pikiran Renan sejak tahun 1920an ketika masih aktif menulis di Suluh Indonesia Muda dan dimuat ulang dalam Dibawah Bendera Revolusi (1964). Tulisannya tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme pada tahun 1926 telah meletakkan gagasan politik kebangsaan sebagai fundamen politik pergerakan kemerdekaan. Sebab itu, Soekarno mengolah gagasan Renan mengenai Geografi menjadi Geopolitik sebagai penyatuan bangsa. 

Term populer Geopolitik yang dibawakan Soekarno adalah cinta tanah-air diatas peta negara Sriwijaya dan Majapahit. Pidato Soekarno secara tidak langsung mengambil alih pemaknaan atas usulan Yamin tentang wilayah Negara Persatuan Indonesia pada tanggal 31 Mei 1945.

Selain Renan, Soekarno mengolah gagasan Bauer tentang kebangsaan dan Marxisme. Pemikiran sosialisme-demokrasi Bauer mempengaruhi Soekarno. Soekarno mengkritik kapitalisme yang telah merusak petani di Desa dan buruh selama masa kolonial (Bdk. Soekarno, 1964; Bauer, 2000: 49), asosiasi petani-marhaen dieksploitasi oleh tuan tanah, dan sistem sewa-tanah telah merugikan dan menghisap tenaga petani (Bdk. Bauer: 240). Sebab itu, Soekarno meradikalisasi karakter kooperatif pada petani yang semula merupakan komunitas senasib (Schicksals-gemeinschaften), menjadi bangsa (nation) dalam pengertian sebagai Komunitas-karakter (Charakter­gemeinschaften; Jerman). 

Konsekuensinya, petani, suku dan kesatuan organik seperti Nagari di Minangkabau dan lainnya telah diradikalisasi oleh Soekarno bukan sebagai komunitas kecil yang senasib, satu bahasa, dan satu keturunan, melainkan sebagai satu Komunitas-karakter. 

Komunitas, Terlalu Lokal

Pemikiran Bauer berbatasan dengan pemikiran Gierke dalam Das deutsche Genossenschaftsrecht (1868). Dengan menelusuri pemikiran Gierke tentang Genossenschaft, baik asosiasi buruh, tani, masyarakat-perdesaan telah diluaskan pada teori politik dan susunan negara sebagai satu kesatuan organik. 

Soekarno secara dialektis meringkas pada pidatonya bahwa Komunitas (Gemeinschaft) membuat kita sibuk berpikir secara lokal sehingga kehilangan fokus pada kesatuan nasional, wilayah dan geografis. Nagari di Minangkabau dan komunitas-lokal seperti suku-suku di Indonesia barulah kesatuan kecil. Sehingga Soekarno meradikalisasi kesatuan-kesatuan kecil itu menjadi satu kesatuan organik yang lebih besar: 

“Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia djumlah orangnja adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 jang telah mendjadi satu…” (Bdk. Yamin, 1971: 71).   

Konsepsi pertama yang diusulkan oleh Soekarno dengan berbasis Komunitas-karakter adalah Negara-kebangsaan. Nagari di Minangkabau bukan satu kesatuan dari daerah yang kecil melainkan satu kesatuan geopolitik Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai ke Irian (sekarang bernama Papua). 

Negara-kebangsaan mempunyai dasar bernama Pancasila yang digali Soekarno dari pengetahuan sejarah Nusantara. Diskursus Pancasila (asas dan dasar berbangsa dan bernegara) merupakan sintesis dari perdebatan sebelumnya, antara (nilai-nilai) Pancasila yang diungkap oleh Yamin dan (kewajiban-kewajiban) Pantja Dharma yang diutarakan oleh Soepomo. Soekarno lebih mempertegas sila-sila dari Pancasila sebagai asas gerakan dan dasar negara.

Kekuatan Politik Kebangsaan

Diskursus Pancasila sebagai dasar negara berlanjut pada gagasan Soekarno mengenai Negara Gotong-Royong. Spirit Gotong-royong mendinamisir semangat kekeluargaan atau semangat kekeluargaan yang diutarakan oleh Soepomo sebelum Soekarno berpidato. 

Semangat kekeluargaan dan semangat Gotong-royong sama-sama bersumber dari diskursus Desa. Namun Soekarno mengembangkan diskursus Desa itu secara luas pada diskursus fundamental ketatanegaraan.

Gagasan Soekarno dan Soepomo memberikan ruang bagi diskursus Desa sebagai fundamen ketatanegaraan Indonesia yang berawal dari Desa. Desa yang semula komunitas-kultural berubah menjadi komunitas-karakter. 

Tanpa radikalisasi Soekarno atas diskursus Desa (Nagari dan sebutan lainnya) seperti itu, kita tidak akan menjadi bangsa yang akan mengubah tradisi dan kultur di Desa menjadi kekuatan politik kebangsaan yang besar. *

Anom Surya Putra.- 

Referensi

Bauer, Otto. 1907. Die Nationalitätenfrage und die Sozialdemokratie. Wien, Verlag der Wiener Volksbuchhandlung Ignaz Brand.

---------------. 2000. The Question of Nationalities and Social Democracy, diterjemah oleh Joseph O’Donnell dari judul asal Die Nationalitiitenfrage und die Sozialdemokratie (1924), Minneapolis-London: University of Minnesota Press.

Prapanca, Mpu. 2016. Kakawin Nagarakertagama, diterjemahkan oleh Damaika et.al., Yogyakarta: Narasi.

Renan, Ernest. 1887. “What is a nation? (Qu'est-ce qu'une nation?)” in Discours et Conferences, Paris, Caiman-Levy, 1887, hlm. 277-310.

Soekarno, 1964. Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

von Gierke, Otto von. 1868. Das deutsche Genossenschaftsrecht, Erster Band, Rechtsgeschichte der deutschen Genossenschaft. Berlin: Weidmannsche Buchhandlung.

Yamin, Muhammad. 1971. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Tjetakan Kedua. Djakarta: Penerbit Siguntang.


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)