Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas


- Jürgen Habermas -
Tulisan diolah Anom Surya Putra dari Stanford Encylopedia of Philosophy

Jürgen Habermas saat ini menempati peringkat sebagai salah satu filsuf paling berpengaruh di dunia. Menjembatani tradisi pemikiran Eropa dan Anglo-Amerika, ia terlibat dalam perdebatan dengan para pemikir yang beragam seperti Gadamer dan Putnam, Foucault dan Rawls, Derrida dan Brandom. Karya tulisnya yang luas membahas topik-topik yang membentang dari teori sosial-politik hingga estetika, epistemologi dan bahasa hingga filsafat agama, dan ide-idenya secara signifikan memengaruhi tidak hanya filsafat tetapi juga pemikiran politik, politik-hukum, sosiologi, studi komunikasi, teori dan retorika argumentasi, perkembangan psikologi dan teologi. Selain itu, ia mengemuka di Jerman sebagai intelektual publik, mengomentari isu-isu kontroversial harian di surat kabar Jerman seperti Die Zeit.

Namun, jika kita melihat kembali kumpulan karyanya, kita dapat melihat dua garis besar minat yang bertahan lama, yang satu berkaitan dengan domain politik, yang lain dengan masalah rasionalitas, komunikasi, dan pengetahuan.

1. Perkembangan Awal Keprihatinan Habermas dalam tema Ruang Publik dan Rasionalitas

Lahir di luar kota Düsseldorf pada tahun 1929, Habermas tumbuh dewasa di Jerman pasca-perang. Pengadilan Nuremberg adalah momen formatif kunci yang membawanya pulang ke kedalaman kegagalan moral dan politik Jerman di bawah Sosialisme Nasional (NAZI). Pengalaman ini kemudian diperkuat ketika, sebagai seorang mahasiswa pascasarjana yang tertarik pada eksistensialisme Heidegger, dia membaca Introduction to Metaphysics (Pengantar Metafisika) yang diterbitkan kembali, yang mana Heidegger telah mempertahankan (atau lebih tepatnya, memperkenalkan kembali) kiasan "kebenaran-dalam dan keagungan" (inner truth and greatness) Sosialisme Nasional (Heidegger 1959,199). Ketika Habermas (1953) secara terbuka meminta penjelasan dari Heidegger, sikap diam Heidegger menegaskan keyakinan Habermas bahwa tradisi filosofis Jerman telah gagal pada momen pembalasannya (terhadap NAZI), memberikan sumber daya bagi para intelektual untuk tidak memahami atau mengkritik Sosialisme Nasional. Pengalaman negatif hubungan antara filsafat dan politik ini kemudian memotivasi pencariannya akan sumber-sumber konseptual dari pemikiran Anglo-Amerika, khususnya tradisi pragmatis dan demokratisnya. Dalam bergerak di luar tradisi Jerman, Habermas bergabung dengan sejumlah intelektual muda pasca-perang seperti Karl-Otto Apel (untuk sketsa otobiografi Habermas, lihat 2005b, bab 1; juga Wiggershaus 2004).

Habermas menyelesaikan disertasinya pada tahun 1954 di Universitas Bonn, menulis tentang konflik antara yang absolut dan sejarah dalam pemikiran Schelling. Dia pertama kali mendapatkan perhatian publik yang serius, setidaknya di Jerman, dengan publikasi tahun 1962 tentang karya akademis utamanya (habilitattion), Strukturwandel der Öffentlichkeit (diterjemah dalam bahasa Inggris berjudul Structural Transformation of the Public Sphere; English ed., 1989), sejarah sosial perkembangan ruang publik borjuis yang terperinci sejak asal-usulnya di Abad ke-18 hingga transformasinya melalui pengaruh media massa yang digerakkan modal. Dalam uraiannya tentang hal itu, kita dengan jelas melihat keprihatinan Habermas pada ideal komunikatif yang nantinya akan memberikan standar normatif inti untuk teori moral-politiknya: idea diskusi kritis yang inklusif, bebas dari tekanan sosial dan ekonomi, yang mana lawan bicaranya memperlakukan satu sama lain sederajat dalam upaya kooperatif untuk mencapai pemahaman tentang hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama. Sebagai hal ideal di pusat budaya borjuis, pertukaran semacam ini mungkin tidak pernah sepenuhnya terwujud; namun, itu "bukan hanya ideologi" (1989, 160, juga 36). Tetapi, ketika masyarakat diskusi kecil ini tumbuh menjadi publik massa pada abad ke-19, idea-idea menjadi komoditas, berasimilasi dengan ekonomi konsumsi media massa. Alih-alih menyerah pada idea rasio publik, Habermas menyerukan konsep formasi opini publik yang layak secara sosio-institusional “yang bermakna secara historis, yang secara normatif memenuhi persyaratan negara kesejahteraan sosial, dan yang secara teoritis jelas dan dapat diidentifikasi secara empiris.” Konsep semacam itu “hanya dapat didasarkan pada transformasi struktural ruang publik itu sendiri dan dalam dimensi perkembangannya” (ibid., 244). Sketsa penutupnya tentang konsep semacam itu (ibid., 244–48) telah berisi secara garis besar model dua tingkat deliberasi demokratis yang selanjutnya Habermas uraikan dalam karyanya yang matang tentang hukum dan demokrasi, Between Facts and Norms (1996b; ed. Jerman, 1992b).

Keprihatinan Habermas dalam politik kemudian membawanya ke serangkaian studi filosofis dan analisis sosial-kritis yang akhirnya muncul dalam karyanya Toward a Rational Society (1970) dan Theory and Practice (1973b). Karya Habermas tentang "menuju masyarakat rasional" merupakan upaya Habermas untuk menerapkan teori rasionalitasnya yang muncul pada analisis kritis masyarakat kontemporer, khususnya gerakan protes mahasiswa dan target institusionalnya (struktur otoriter dan teknokratis yang memegang kekuasaan dalam pendidikan tinggi dan politik), sedangkan karya Habermas tentang "teori dan praktik" membahas refleksi tentang sejarah filsafat.

Refleksi kritis Habermas mengambil pendekatan yang bernuansa pada gejolak sosial yang menjadi ciri akhir tahun 1960-an. Meskipun bersimpati dengan tuntutan mahasiswa untuk partisipasi yang lebih demokratis dan berharap bahwa aktivisme mereka menyimpan potensi transformasi sosial yang positif, Habermas juga tidak ragu untuk mengkritik aspek militan gerakan mahasiswa, yang disebutnya menipu diri sendiri dan "merusak" (1970, 48). Dalam kritiknya terhadap teknokrasi —pemerintahan oleh para pakar ilmiah dan birokrasi— Habermas mengandalkan kerangka filosofis yang mengantisipasi kategori dalam pemikiran selanjutya, tanpa filsafat bahasa yang nantinya akan Habermas tulis pada tahun 1970-an. Secara khusus, Habermas dengan tajam membedakan antara dua cara tindakan, “kerja” dan “interaksi”, yang selaras dengan kepentingan abadi spesies manusia (ibid., bab 6). Yang pertama, "kerja", mencakup mode tindakan berdasarkan pilihan rasional sarana yang efisien, yaitu bentuk tindakan instrumental dan strategis, sedangkan yang kedua, "interaksi", mengacu pada bentuk "tindakan komunikatif" yang mana aktor mengoordinasikan perilaku mereka berdasarkan "norma konsensus" (ibid., 91-92). Distingsi Habermas itu mengadaptasi kontras klasik yang diajukan Aristoteles tentang antara techne dan praxis untuk mengembangkan teori sosial kritis (1973b, bab 1). Hasilnya adalah kritik khas Habermasian terhadap sains dan teknologi sebagai ideologi: melalui reduksi pertanyaan praktis tentang kehidupan yang baik menjadi masalah teknis bagi para ahli, elit-elit kontemporer menghilangkan kebutuhan akan diskusi nilai-nilai publik dan demokratis, dengan demikian mendepolitisasi penduduk (1970, bab. 6). Kepentingan manusia yang absah (legitimate) dalam kontrol teknis alam dengan demikian berfungsi sebagai ideologi —suatu layar monitor yang menutupi karakter pengambilan keputusan pemerintah yang sarat-nilai demi melayani status quo kapitalis. Tidak seperti pendahulunya, Herbert Marcuse (generasi Teori Kritis pertama), yang menganggap kepentingan itu khusus untuk masyarakat kapitalis, Habermas menegaskan kontrol teknis alam sebagai kepentingan spesies yang benar-benar universal; bahwa kelajuan Horkheimer dan Adorno dalam Dialektic of Enlightenment (Dialektika Pencerahan) sebelumnya menyatakan, kepentingan teknis tidak memerlukan dominasi sosial.

Habermas membela antropologi filsafat ini sepenuhnya dalam Knowledge and Human Interests (1971b; German ed., 1968b), karya yang mewakili upaya pertama Habermas untuk menyediakan kerangka kerja sistematis untuk teori sosial kritis interdisipliner. Ketika Habermas memahami tugasnya, ia harus menetapkan teori sosial kritis sebagai bentuk pengetahuan yang terhormat dan berbeda, sebagian besar melalui kritik metodologis terhadap filsafat ilmu positivis yang dominan saat itu dan hermeneutika historisis. Dengan demikian Habermas mengembangkan teori "kepentingan konstitutif-pengetahuan" yang terikat baik pada "sejarah alamiah spesies manusia" dan "keharusan bentuk kehidupan sosial-budaya", tetapi tidak dapat direduksi pada keduanya (ibid., 168).

Ada tiga kepentingan konstitutif-pengetahuan, masing-masing berakar pada keberadaan manusia dan diekspresikan dalam tipe akademis atau ilmiah tertentu. 

Yang pertama adalah "kepentingan teknis", "kepentingan yang mendalam secara antropologis" yang kita miliki dalam prediksi dan pengendalian lingkungan alam. Kepentingan ini menyusun mode-mode penyelidikan dan produksi pengetahuan dalam ilmu "empiris-analitik", yaitu ilmu alam dan tipe-tipe ilmu sosial yang bertujuan untuk menghasilkan eksplanasi umum yang dapat diuji (berlawanan dengan ilmu sosial interpretatif, yang bertujuan untuk pemahaman budaya, dan ilmu "normatif-analitik", seperti teori pilihan rasional (rational choice theory), yang mengandalkan pemodelan formal dan deduksi berdasarkan aksioma kontrafaktual; lihat 1988a, 43ff). Sebagai struktur mendalam yang membentuk pengetahuan, "kepentingan" teknis tidak mengacu pada motivasi ilmuwan atau tujuan disiplin tertentu, tetapi lebih pada cara mendekati alam dan masyarakat sebagai objek pengetahuan yang memungkinkan: untuk mengikat produksi-pengetahuan dengan kontrol observasi dan eksperimen metodis, sedangkan ilmu empiris-analitik menyebarkan kapasitas-spesies dasar untuk menguasai dunia alam melalui tindakan instrumental yang dipantau-secara-umpan balik. Yang pasti, analisis Habermas sangat bergantung pada model hipotetis-deduktif yang berada dalam masalah serius bahkan saat ia menulis. Tapi ide intinya bisa dibilang lebih luas cakupannya: ilmu empiris-analitik dibedakan oleh perlakuannya terhadap domain objek sebagaimana diatur melalui hukum pengaturan-pengaturan yang dapat diprediksi yang memungkinkan tipe-tipe tertentu dari teknik-teknik penyelidikan dikendalikan secara metodologis, yang mana metodologi itu tidak sesuai untuk ilmu-ilmu interpretatif. Dengan demikian kepentingan teknis tidak hanya berlaku pada ilmu-ilmu yang menjanjikan manfaat teknologi, tetapi juga untuk ilmu-ilmu seperti paleontologi.

Yang kedua adalah "kepentingan praktis" pada ilmu interpretatif, atau ilmu hermeneutik-budaya, dalam mengamankan dan memperluas kemungkinan pemahaman timbal-balik dan pemahaman-diri dalam perilaku hidup. Ilmu-ilmu ini mengandaikan dan mengartikulasikan cara-cara pemahaman (antar) pribadi yang berorientasi pada tindakan yang beroperasi dalam bentuk-bentuk kehidupan sosial-budaya dan tata-bahasa bahasa sehari-hari. Masyarakat manusia bergantung pada pemahaman seperti itu, dan kompetensi interpretatif yang menyertainya, sama seperti mereka bergantung pada penguasaan lingkungan alam. Ilmu hermeneutik, selanjutnya, membawa disiplin metodis ke aspek interaksi sehari-hari, dan dalam pengertian itu setara dengan ilmu empiris-analitik, yang mengangkat tindakan instrumental sehari-hari ke metode eksperimental. Dengan membuat dua kepentingan kognitif pertama ini secara eksplisit, Habermas berusaha melampaui penjelasan positivis tentang ilmu-ilmu alam dan sosial. Dalam pandangannya, catatan-catatan itu cenderung mengabaikan peran yang dimainkan oleh kepentingan manusia yang mendalam dalam pembentukan objek-objek penyelidikan  yang mungkin.

Yang ketiga, "kepentingan emansipatoris". Dalam membuat kepentingan kognitif menjadi eksplisit, Habermas juga terlibat dalam semacam refleksi-diri kritis, lebih tepatnya refleksi metodologis yang bertujuan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari ilusi positivisnya. Refleksi tersebut mencontohkan kepentingan kognitif ketiga, kepentingan emansipatoris rasionalitas dalam mengatasi dogmatisme, paksaan, dan dominasi. Untuk ekspresi ilmiah kepentingan ini, Habermas menaruh perhatian ke psikologi Freudian dan versi teori sosial Marxis. Status kepentingan emansipatoris, bagaimanapun, sejak awal bermasalah, karena menggabungkan dua tipe refleksi kritis. Sementara kritiknya terhadap positivisme dan teori kepentingan kognitif melibatkan artikulasi reflektif dari struktur formal pengetahuan, kritik Freudian dan Marxis bertujuan untuk mengungkap kasus-kasus konkret penipuan-diri dan ideologi sosial-politik (1973cd). Meski juga tidak jelas bahwa psikoanalisis memberikan model refleksi pembebasan yang tepat dalam kasus apapun, karena para kritikus menunjukkan hubungan asimetris antara pasien dan analis yang tidak dapat mewakili bentuk intersubjektif yang tepat untuk emansipasi. Defisit ini dan defisit lain dari analisisnya menimbulkan tantangan bagi Habermas yang akan memandu pencarian selama satu dekade untuk pendasaran normatif dan empiris dari kritik. Apapun jalan terbaik menuju landasan epistemis dan normatif untuk kritik, hal itu harus melewati pengujian demokratis: bahwa "dalam Pencerahan hanya ada partisipan-partisipan" (1973b, 44). Habermas tidak akan menyelesaikan masalah metodologis ini hingga serangkaian studi transisional pada tahun 1970-an yang mencapai puncaknya dalam karya sistematisnya yang matang, The Theory of Communicative Action (1984a/1987; German ed., 1981; selanjutnya disebut TCA).

Meskipun demikian, kita dapat melihat ciri-ciri yang bertahan lama dalam upaya awal Habermas pada model kritik sosial yang komprehensif. Sebagai teori rasionalitas dan pengetahuan, teorinya tentang kepentingan konstitutif-pengetahuan bersifat pragmatis dan pluralistik: pragmatis, sejauh kepentingan manusia merupakan pengetahuan; pluralistik, dalam bentuk yang berbeda dari penyelidikan dan pengetahuan muncul dari kepentingan inti yang berbeda. Dalam Knowledge and Human Interests, kita dapat melihat awal pendekatan pluralistik metodologis terhadap teori sosial kritis, yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Selain masalah yang dijelaskan sebelumnya, bagaimanapun, analisis Habermas terhambat oleh kerangka kerja yang masih mengandalkan motif dari "filsafat kesadaran" yang terpaku pada pembentukan objek pengalaman yang mungkin -suatu pendekatan yang tidak dapat adil terhadap dimensi diskursif penyelidikan (1973cd; 2000; juga Müller-Doohm 2000). Pada 1970-an Habermas menyusun perombakan mendasar kerangka kerjanya tentang teori kritis (lihat McCarthy 1978).

2. Karya Transisi Penting

Pada periode antara Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Kepentingan Manusia) dan The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), Habermas mulai mengembangkan metode khusus untuk menguraikan hubungan antara ilmu sosial teoretis masyarakat modern, di satu sisi, dan pendasaran normatif dan filsafat untuk kritik, di sisi yang lain. Mengikuti definisi Teori Kritis Horkheimer, Habermas mengejar tiga tujuan dalam usahanya untuk menggabungkan ilmu sosial dan analisis filsafat: yang sekaligus bertujuan eksplanasi, praktis, dan normatif. Ini berarti bahwa filsafat tidak bisa, seperti yang terjadi pada Kant, menjadi satu-satunya dasar bagi refleksi normatif. Sebaliknya, Habermas berpendapat, kritik yang memadai membutuhkan kerja sama yang menyeluruh antara filsafat dan ilmu sosial. Analisis semacam ini adalah karakteristik dari Legitimation Crisis (1975; German ed., 1973e), Habermas menganalisis negara modern sebagai subjek krisis endemik, yang muncul dari fakta bahwa negara tidak dapat secara bersamaan memenuhi tuntutan pemecahan masalah rasionalitas, demokrasi, dan identitas budaya. Di sini ilmu sosiai yang menjadi daya tarik Habermas lebih bersifat sosiologis dan fungsional. Demikian pula, dalam karya ini dan dalam Communication and the Evolution of Society (1979), Habermas mulai mengembangkan konsepsi khas tentang rekonstruksi rasional, yang memodelkan perkembangan masyarakat sebagai proses pembelajaran. Dalam karya-karya ini, Habermas mulai memasukkan hasil psikologi perkembangan, yang menyelaraskan tahapan perkembangan dengan perubahan tipe-tipe rasionalitas yang dianggap dapat diterima oleh individu yang matang ("akil baligh"). Secara analogi, masyarakat berkembang melalui perubahan serupa dalam basis rasional legitimasi di tingkatan kolektif. Pada titik ini dalam teorinya, apropriasi Habermas atas ilmu-ilmu sosial telah menjadi pluralistik secara metodologis dan teoritis: dalam pandangannya, teori sosial kritis tidak berbeda dalam mendukung beberapa teori atau metode tertentu tetapi juga sebagai upaya menyatukan penyelidikan normatif dan empiris.

Dalam fase transisi dari Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Kepentingan Manusia) ke The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif) ini, upaya filosofis dasar Habermas adalah mengembangkan penjelasan empiris yang lebih sederhana, fallibilis (semua pengetahuan bisa salah), mengenai klaim filosofis terhadap universalitas dan rasionalitas. Pendekatan yang lebih sederhana ini menjauhkan Teori Kritis dari kerangka transendentalnya yang kuat, yang dicontohkan dalam teori kepentingan kognitif dengan bahasa objek-konstitusi Kantian. Dalam situasi mengesampingkan proyek sebelumnya, Habermas mengadopsi pendekatan “pasca-metafisis” yang lebih naturalistik (1992a), yang dicirikan oleh penjelasan hermeneutik fallibel (yang bisa salah)  atau “rekonstruksi” kompetensi bersama dan presuposisi normatif yang memungkinkan aktor-aktor untuk terlibat dalam praktik komunikasi, diskursus, dan penyelidikan. Dalam mengartikulasikan presuposisi praktis, analisis rekonstruktif tetap transenden-yang-lemah. Tapi itu juga memenuhi syarat sebagai "naturalisme yang lemah" karena praktik yang ingin diungkapkannya, konsisten dengan evolusi alamiah spesies dan terletak di dunia empiris (2003a, 10-30, 83ff); akibatnya, rekonstruksi pasca-metafisis berhubungan dengan bentuk-bentuk khusus dari pengetahuan sosial-ilmiah dalam menganalisis kondisi umum rasionalitas yang dimanifestasikan dalam berbagai kapasitas manusia dan kekuasaan.

Pertemuan Habermas dengan teori tindakan-tutur (speech-act) terbukti sangat menentukan untuk proyek ini. Dalam teori tindakan-tutur, Habermas menemukan dasar untuk konsepsi kompetensi komunikatif (pada model kompetensi linguistik Chomsky). Mengingat penekanan pada bahasa ini, Habermas sering dikatakan telah mengambil semacam "perhatian linguistik" (linguistic turn) pada periode ini. Dia membingkai esai pertamanya tentang pragmatik formal (1976ab) sebagai alternatif dari teori sistem Niklas Luhmann. Habermas memahami pragmatik formal sebagai salah satu "ilmu rekonstruktif," yang bertujuan untuk membuat pengetahuan-intuitif eksplisit secara teoritis, suatu prateoretis yang mendasari kompetensi dasar manusia seperti berbicara dan memahami, menilai dan bertindak. Tidak seperti analisis transendental Kant tentang kondisi rasionalitas, ilmu-ilmu rekonstruktif menghasilkan pengetahuan yang tidak perlu tetapi hipotetis, bukan apriori tetapi empiris, tidak pasti tetapi bisa salah. Meskipun demikian, mereka diarahkan pada struktur dan kondisi yang tidak berubah-ubah dan memunculkan klaim universal, tetapi dapat ditolak untuk rasio praktis.

Dengan beralih ke bahasa dan ilmu rekonstruktif, Habermas merusak peran Kant yang tradisional pada filsafat: filsafat sebagai satu-satunya hakim dalam masalah normatif dan sebagai otoritas metodologis yang menetapkan berbagai domain penyelidikan terhadap pertanyaan penyelidikan yang tepat. Dalam pandangan Habermas, filsafat harus terlibat dalam hubungan kooperatif sepenuhnya dengan ilmu-ilmu sosial dan disiplin empiris pada umumnya. Langkah ini diselesaikan dalam The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), yang sekarang kita tuju.

3. Posisi Kematangan

Untuk memahami posisi kematangan pemikiran Habermas, kita harus memulainya dengan Theory of Communicative Action (TCA), studi kritis dua-volume teori rasionalitas yang menginformasikan sosiologi klasik Weber, Durkheim, Parsons, dan teori kritis neo-Marxis (terutama Lukács, Horkheimer, Adorno). Dalam TCA kita menemukan konsepsi Habermas tentang tugas filsafat dan hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial —suatu konsepsi yang masih memandu sebagian besar karyanya. Sementara TCA membela penekanan pada normativitas dan ambisi universalis yang ditemukan dalam tradisi filosofis, Habermas melakukannya dalam kerangka kerja yang mencakup tipe penelitian sosial empiris tertentu, yang dengannya filsafat harus berinteraksi. Para filsuf, harus bekerjasama dengan ilmuwan sosial jika mereka ingin memahami klaim normatif dalam konteks historis saat ini, konteks masyarakat modern yang kompleks yang dicirikan oleh mode integrasi sosial dan sistemik. Dengan mengenali kedua mode integrasi, hal ini menghindari pesimisme sepihak atas teori-teori modernitas, utamanya konsepsi rasionalitas instrumental yang telah meminggirkan dimensi budaya modernisasi.

3.1 Teori Tindakan Komunikatif

Dimulai dengan materialisme historis Marx, teori makro-sosiologis dan sejarah berskala besar telah lama dianggap sebagai dasar penjelasan yang paling tepat untuk ilmu sosial kritis. Namun, teori tersebut memiliki dua kelemahan untuk proyek (Teori, atau, ilmu-ilmu sosial) kritis. Pertama, kelengkapan tidak menjamin kekuatan penjelas. Memang, ada banyak teori berskala besar seperti itu, masing-masing dengan distingsi-distingsinya dan fenomena sosial keteladanan yang memandu upaya mereka pada unifikasi. Kedua, eksaminasi yang cermat terhadap penjelasan kritis standar, seperti teori ideologi, menunjukkan bahwa penjelasan semacam itu biasanya menarik bagi berbagai teori sosial yang berbeda (Bohman 1999). Penggunaan penjelasan kritis Habermas yang sebenarnya mendukung hal ini. Kritiknya terhadap masyarakat modern beralih pada penjelasan tentang hubungan antara dua istilah teoretis yang sangat berbeda: teori mikro tentang rasionalitas berdasarkan koordinasi komunikatif dan teori makro tentang integrasi sistemik masyarakat modern melalui mekanisme seperti pasar (TCA, jilid 2). Secara konkret, ini berarti bahwa Habermas mengembangkan teori sosial dua-tingkat yang mencakup analisis rasionalitas komunikatif, potensi rasional yang dibangun ke dalam percakapan sehari-hari, di satu sisi; dan teori masyarakat modern dan modernisasi, di sisi lain (White 1989). Atas dasar teori ini, Habermas berharap dapat menilai untung ruginya modernisasi dan mengatasi rasionalisasi versi sepihaknya.

Teori kritis komprehensif membuat dua asumsi bermasalah: bahwa ada satu mode penjelasan kritis yang lebih disukai, dan bahwa ada satu tujuan kritik sosial yang lebih disukai, yang dinamakan masyarakat sosialis yang memenuhi norma emansipasi manusia. Hanya dengan latar belakang tujuan seperti itu, proses dua-tahap penggunaan materialisme historis untuk membangun sikap independen secara epistemik dan normatif menjadi masuk akal. Kebenaran atau ketidaktepatan model kritis semacam itu tidak tergantung pada penerimaan atau penolakannya oleh para penerimanya, tetapi pada kecukupan teori untuk kebutuhan atau mekanisme historis objektif (yang mana teori kritis menuduhnya memiliki wawasan superior). Cara penyelidikan kritis yang pluralistik menunjukkan norma kebenaran yang berbeda: bahwa kritik harus diverifikasi oleh mereka yang berpartisipasi dalam praktik dan bahwa tuntutan untuk verifikasi praktik ini adalah bagian dari proses penyelidikan itu sendiri.

Meskipun sikap Habermas terhadap model teori kritis yang berbeda ini agak ambivalen, ia telah memberikan alasan yang baik untuk menerima pendekatan praktis dan pluralis. Sama seperti dalam analisis mode penyelidikan yang terkait dengan kepentingan konstitutif-pengetahuan yang berbeda, Habermas menerima bahwa berbagai teori dan metode masing-masing memiliki "legitimasi relatif." Memang, seperti Dewey, Habermas melangkah lebih jauh dengan menyatakan logika penjelasan sosial adalah pluralistik dan menghindari "perangkat teori umum". Dengan tidak adanya teori-teori umum semacam itu, pendekatan yang paling bermanfaat bagi pengetahuan sosial-ilmiah adalah dengan menghubungkan semua metode dan teori yang berbeda satu sama lain: “Sedangkan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu budaya atau hermeneutik mampu hidup dalam keadaan saling acuh tak acuh, meskipun lebih bermusuhan daripada hidup berdampingan secara damai, ilmu-ilmu sosial harus menanggung ketegangan pendekatan yang berbeda di bawah satu atap” (1988a, 3). Dalam TCA, Habermas melemparkan teori sosial kritis dengan cara yang sama, pluralistik, namun menyatukan. Dalam membahas berbagai catatan modernisasi masyarakat, misalnya, Habermas berpendapat bahwa teori-teori utama yang ada memiliki "legitimasi khusus"-nya sendiri sebagai jalur penelitian empiris yang dikembangkan, dan bahwa Teori Kritis mengambil tugas untuk menyatukan secara kritis berbagai teori dan metode heterogennya dan presuposisi. “Teori sosial kritis tidak berhubungan dengan jalur penelitian yang mapan sebagai pesaing; dimulai dari konsep kebangkitan masyarakat modern, Teori sosial kritis mencoba menjelaskan batasan-batasan khusus dan hak-hak relatif pendekatan-pendekatan itu” (TCA, 2: 375).

Untuk mencapai tujuan teoretis dan metodologis tersebut, Habermas memulai dengan pembahasan teori-teori rasionalitas dan menawarkan definisi rasionalitasnya sendiri yang khas, yang bersifat epistemik, praktis, dan intersubjektif. Bagi Habermas, rasionalitas tidak begitu banyak terdiri dari kepemilikan pengetahuan tertentu, tetapi lebih pada "bagaimana subjek yang berbicara dan bertindak memperoleh dan menggunakan pengetahuan" (TCA, 1:11). Setiap pendapat tersebut "pragmatis" karena berbagi sejumlah aspek khas dengan pandangan lain yang melihat penerjemah sebagai agen yang kompeten dan berpengetahuan. Yang paling penting, pendekatan pragmatis mengembangkan penjelasan tentang pengetahuan praktis dalam "sikap performatif", yaitu, dari sudut pandang pembicara yang kompeten. Suatu teori rasionalitas dengan demikian mencoba untuk merekonstruksi pengetahuan praktis yang diperlukan untuk menjadi aktor sosial yang berpengetahuan di antara aktor sosial berpengetahuan lainnya. Seperti yang telah disebutkan, rekonstruksi Habermas mencoba untuk mengartikulasikan struktur komunikasi yang tidak berubah, dan dengan demikian memenuhi syarat sebagai "pragmatik formal."

Apakah "sikap performatif" yang akan direkonstruksi dalam teori seperti itu? Dari sudut pandang sosial-ilmiah, bahasa adalah media untuk mengoordinasikan tindakan, meskipun bukan satu-satunya media tersebut. Bentuk dasar koordinasi melalui bahasa, menurut Habermas, mengharuskan penutur untuk mengambil sikap praktis yang berorientasi untuk “mencapai pemahaman”, yang ia anggap sebagai “tujuan (telos) bawaan” dari tuturan. Ketika para aktor saling menyapa dengan sikap praktis semacam ini, mereka terlibat dalam apa yang disebut Habermas sebagai “tindakan komunikatif”, yang Habermas bedakan dari bentuk-bentuk strategis tindakan sosial. Karena perbedaan ini memainkan peran mendasar dalam TCA, maka hal itu perlu mendapat perhatian.

Dalam aksi strategis, para aktor tidak begitu tertarik pada pemahaman timbal-balik, seperti dalam contoh  berikut ini, mengejar tujuan individu yang dibawa ke situasi masing-masing. Aktor A, misalnya, dengan demikian akan menarik keinginan dan ketakutan B untuk memotivasi perilaku B yang diperlukan untuk keberhasilan A. Sebagai alasan yang memotivasi kerja sama B, keinginan dan ketakutan B hanya terkait dengan tujuan A. B bekerjasama dengan A, dengan kata lain, bukan karena B menganggap proyek A secara inheren menarik atau layak, tetapi karena apa yang B dapatkan dari tawar-menawar: menghindari beberapa ancaman yang dapat dibuat A, atau mendapatkan sesuatu yang telah dijanjikan A (yang mungkin bersifat inheren bagi B, tetapi bagi A hanyalah sarana untuk memotivasi B).

Dalam tindakan komunikatif, atau yang kemudian disebut Habermas sebagai "tindakan komunikatif yang kuat" dalam "Some Further Clarifications of the Concept of Communicative Rationality" (1998b, bab 7; edisi bahasa Jerman, 1999b), para pembicara mengoordinasi tindakan mereka dan mengejar tujuan-tujuan individu (atau bergabung) pada dasar pemahaman bersama bahwa tujuan secara inheren masuk akal atau layak (merit-worthy). Sedangkan tindakan strategis berhasil sejauh para aktor mencapai tujuan individualnya, tindakan komunikatif berhasil sejauh para aktor secara bebas setuju bahwa tujuan (atau sasaran) mereka masuk akal, bahwa tujuan itu layak untuk memperoleh perilaku kooperatif. Tindakan komunikatif dengan demikian merupakan bentuk koordinasi sosial yang secara inheren konsensual yang mana para aktor "memobilisasi potensi rasionalitas" yang diberikan dengan bahasa biasa dan adanya tujuan kesepakatan yang dimotivasi secara rasional.

Untuk mendukung konsepsinya tentang tindakan komunikarif, Habermas harus menentukan mekanisme yang memungkinkan kesepakatan yang dimotivasi secara rasional. Menjelang akhir, Habermas berpendapat terhadap penjelasan tertentu tentang makna ucapan yang didasarkan pada “kondisi penerimaan”, dengan analogi, penjelasan tentang kondisi-kebenaran makna kalimat. Namun alih-alih mengaitkan makna dengan semantik representasional, Habermas mengambil pendekatan pragmatis, menganalisis kondisi kesuksesan tindakan-tutur yang spesifik (illocutionary). Menurut prinsip inti teori makna pragmatiknya, “kita memahami suatu tindakan-tutur ketika kita mengetahui tipe-tipe rasio yang dapat diberikan pembicara untuk meyakinkan pendengar bahwa dia berhak dalam keadaan tertentu untuk mengklaim validitas ucapannya —singkatnya, ketika kita tahu apa yang membuatnya dapat diterima” (1998b, 232). Dengan prinsip ini, Habermas mengaitkan makna tindakan-tutur dengan praktik pemberian alasan: tindakan-tutur secara inheren melibatkan klaim yang membutuhkan alasan —klaim yang terbuka untuk kritik dan pembenaran. Dalam tuturan kita sehari-hari (dan dalam berbagai tindakan kita), pembicara secara diam-diam berkomitmen untuk menjelaskan dan membenarkan diri mereka sendiri, bila perlu. Oleh karena itu, untuk memahami apa yang dilakukan seseorang dalam membuat suatu tindakan-tutur, seseorang harus memiliki pengertian tentang tanggapan yang tepat yang akan membenarkan tindakan-tutur seseorang, bila ia ditantang untuk melakukannya. Suatu tindakan-tutur berhasil mencapai pemahaman ketika pendengar mengambil "posisi afirmatif" terhadap klaim yang dibuat oleh pembicara (TCA 1: 95-97; 282; 297). Dengan demikian, pendengar menganggap bahwa klaim dalam tindakan-tutur dapat didukung oleh alasan yang baik (bahkan bila dia tidak memintanya). Ketika tawaran yang dibuat oleh pembicara gagal untuk menerima serapan, pembicara dan pendengar dapat menggeser tingkat refleksif, dari tuturan biasa ke “diskursus”—proses argumentasi dan dialog yang mana klaim implisit dalam tindakan-tutur diuji untuk pembenaran rasional mereka sebagai benar, tepat atau otentik. Dengan demikian, rasionalitas tindakan komunikatif terkait dengan rasionalitas diskursus, lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian 3.2.

Apa klaim yang terbuka untuk kritik dan pembenaran? Bertentangan dengan fiksasi positivis pada mode diskursus yang menyatakan fakta, Habermas tidak membatasi klaim yang valid secara intersubjektif, atau dapat dibenarkan, pada kategori kebenaran empiris, tetapi sebaliknya mengakui spektrum "klaim validitas (atau klaim kesahihan)" yang juga mencakup, setidaknya, mengklaim kebenaran moral, kebaikan atau keaslian etis, ketulusan pribadi, dan nilai estetika (TCA 1: 8-23; 1993, bab 1). Meskipun Habermas tidak menganggap klaim semacam itu untuk mewakili dunia pikiran-independen yang bebas dengan cara klaim kebenaran empiris, klaim tersebut dapat dikritik secara publik sebagai yang tidak dapat dibenarkan dan dipertahankan oleh argumen yang meyakinkan secara publik. Sejauh ini, validitas melibatkan idea ketepatan yang analogis dengan idea kebenaran. Dalam konteks ini, frasa “klaim validitas”, sebagai terjemahan dari istilah Jerman Geltungsanspruch, tidak memiliki arti logis yang sempit (bentuk-bentuk argumen-yang mempertahankan-kebenaran), melainkan berkonotasi pada idea sosial yang lebih kaya —bahwa suatu klaim (pernyataan) berciri penerimaan penerima karena dibenarkan atau benar dalam beberapa hal, yang dapat bervariasi sesuai dengan lingkup validitas dan konteks dialogis.

Dengan menghubungkan makna dengan akseptabilitas tindakan-tutur, Habermas memindahkan analisis melampaui fokus sempit pada semantik representasi kebenaran-kondisional ke kejelasan interaksi sosial. Kompleksitas interaksi sosial selanjutnya memungkinkan Habermas untuk menemukan tiga klaim validitas dasar yang berpotensi dipertaruhkan dalam setiap tindakan-tutur yang digunakan untuk tujuan-tujuan kooperatif (yaitu, dalam tindakan komunikatif yang kuat). Argumennya bergantung pada tiga "hubungan dunia" yang berpotensi terlibat dalam tindakan komunikatif yang kuat yang mana seorang pembicara bermaksud mengatakan sesuatu kepada seseorang tentang sesuatu (TCA 1: 275 dst). Misalnya, tindakan-tutur konstatif (menyatakan fakta): (a) mengungkapkan dunia dalam (niat untuk mengomunikasikan suatu keyakinan); (b) membangun hubungan komunikatif dengan pendengar (dan dengan demikian berhubungan dengan dunia sosial, khususnya dunia yang mana kedua orang berbagi sepotong informasi, dan tahu bahwa mereka melakukannya); dan (c) upaya untuk mewakili dunia eksternal. Struktur triadik ini menunjukkan bahwa banyak tindakan-tutur, termasuk non-konstatif, melibatkan serangkaian klaim validitas tersembunyi (tacit validity claims): klaim bahwa tindakan-tutur itu tulus (tidak menipu), tepat (appropriate or right) secara sosial, dan benar (true) secara faktual (atau lebih luas lagi: cukup representatif). Sebaliknya, tindakan-tutur dapat dikritik karena gagal pada satu atau lebih skor-skor ini. Jadi tindakan-tutur yang sepenuhnya berhasil, sejauh melibatkan tiga hubungan dunia tersebut, harus memenuhi tuntutan yang terkait dengan tiga klaim validitas dasar (ketulusan, ketepatan, dan kebenaran) agar dapat diterima.

Kita dapat menganggap tindakan komunikatif yang kuat dalam pengertian di atas sebagai mendefinisikan akhir dari spektrum kemungkinan komunikatif. Pada akhirnya, kerja sama sosial sangat konsensual dan masuk akal: para aktor dengan tulus setuju bahwa cara kerja sama mereka dapat dibenarkan sebagai baik, benar, dan bebas dari kesalahan empiris. Mengingat kesulitan mempertahankan konsensus yang mendalam, bagaimanapun, masuk akal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan pluralistik, untuk mengendurkan tuntutan komunikatif terhadap  tipe situasi tertentu, memungkinkan bagi bentuk tindakan komunikatif yang lebih lemah (yang mana bukan ketiga jenis klaim validitas yang dipertaruhkan) atau tindakan strategis (yang mana para aktor memahami bahwa setiap orang berorientasi pada kesuksesan individu).

Habermas membedakan "sistem" sebagai situasi yang telah ditentukan sebelumnya, atau mode koordinasi, yang mana tuntutan tindakan komunikatif dilonggarkan dengan cara ini, dalam batas-batas yang ditentukan secara hukum. Contoh utama dari koordinasi sistemik adalah pasar dan birokrasi. Dalam konteks yang terstruktur secara sistematis ini, media non-linguistik mengambil kelambanan dalam mengoordinasikan tindakan, yang berlangsung atas dasar uang dan kekuatan institusional —media ini seolah-olah berbicara, sehingga membebaskan aktor dari tuntutan tindakan yang sangat komunikatif. Istilah "dunia-kehidupan" (lifeworld), sebaliknya, mengacu pada domain tindakan yang mana mode koordinasi tindakan konsensual mendominasi. Faktanya, perbedaan antara dunia-kehidupan (lifeworld) dan sistem lebih baik dipahami sebagai perbedaan analitik yang mengidentifikasi berbagai aspek interaksi sosial dan kerjasama (1991b). “Lifeworld” (Dunia-Kehidupan) selanjutnya mengacu pada berbagai sumber daya latar belakang, konteks, dan dimensi tindakan sosial yang memungkinkan aktor untuk bekerjasama atas dasar pemahaman timbal-balik: sistem makna budaya bersama (shared cultural systems of meaning), tatanan kelembagaan yang menstabilkan pola tindakan, dan struktur kepribadian yang diperoleh dalam keluarga, gereja, lingkungan, dan sekolah (TCA 1: bab 6; 1998b, bab 4).

Pembedaan Sistem dan Dunia-Kehidupan Habermas telah dikritik dari sejumlah perspektif. Beberapa berpendapat bahwa perbedaan itu terlalu menyederhanakan dinamika inter-penetrasi institusi sosial (misalnya, McCarthy 1991, 152-80). Yang lain menyerang pembedaan tersebut sebagai bentuk ideologis yang terselubung, menyembunyikan bentuk dominasi patriarki dan ekonomi (misalnya, Fraser 1985). Upaya Habermas untuk mengklarifikasi karakter analitik dari distingis-distingsi itu hanya separuh jalan untuk menjawab kritik-kritik ini (1991b).

TCA juga menghadapi cuaca yang agak berat sebagai teori makna. Dalam filsafat analitik-linguistik, salah satu persyaratan standar adalah untuk memperhitungkan komposisi bahasa, fakta bahwa suatu kumpulan kata yang terbatas dapat digunakan untuk membentuk jumlah kalimat yang tidak terbatas. Dari perspektif itu, teori Habermas gagal (Heath 2001, bab 3). Tapi mungkin kita akan lebih baik menilai teori makna Habermas dari perspektif yang berbeda. Persyaratan komposisi penting bila seseorang ingin menjelaskan kompetensi gramatikal. Tapi di awal karyanya, Habermas (1976b) menyatakan keprihatinan yang lebih besar dalam menjelaskan kompetensi komunikatif, daripada tata bahasa, kompetensi: kemampuan pembicara untuk menggunakan kalimat-kalimat gramatikal yang-terbentuk-dengan-baik dalam konteks sosial. Meskipun Habermas sering menyajikan pragmatiknya sebagai pengembangan lebih lanjut dalam teori analitik makna, analisisnya berfokus terutama pada penerimaan yang peka terhadap konteks dari tindakan-tutur: kondisi penerimaan sebagai fungsi aspek formal yang membedakan situasi-situasi tutur yang berlainan. Ini menunjukkan teorinya tentang makna melibatkan tipe proyek yang amat berbeda: untuk mengartikulasi "basis validitas" tatanan sosial.

Signifikansi konsepsi pencapaian pemahaman dan kesepakatan yang dimotivasi secara rasional ini juga dapat dilihat dengan membandingkan penjelasan ini dengan konsepsi pemahaman dan interpretasi lainnya, seperti hermeneutika Gadamer. Mengingat konsepsi Habermas tentang tindakan-tutur dan hubungannya dengan klaim validitas, tidak mengherankan bahwa ia berpendapat, "tindakan komunikatif selalu membutuhkan interpretasi yang rasional dalam pendekatan" (TCA 1: 106), yaitu yang dibuat dalam sikap performatif oleh seorang penerjemah. Secara umum, Habermas sependapat dengan hermeneutika bahwa seluruh ranah ilmu-ilmu sosial hanya dapat diakses melalui interpretasi, justru karena proses-proses pencapaian pemahaman yang sudah bekerja dalam ilmu-ilmu sosial telah terlebih dahulu membentuknya (ibid., 107). Tapi dia menarik kesimpulan yang khas. Meskipun ilmuwan sosial bukan aktor, mereka harus menggunakan pengetahuan prateoretis mereka sendiri untuk mendapatkan akses interpretatif melalui pengalaman komunikatif. Sebagai “partisipan virtual”, ilmuwan sosial harus mengambil posisi pada klaim yang dibuat oleh orang-orang yang dia amati: dia memiliki akses melalui pengalaman komunikatif hanya “di bawah pengandaian bahwa dia menilai kesepakatan dan ketidaksetujuan, klaim validitas dan alasan potensial yang dia dihadapkan” (ibid., 116). Maka tidak ada disjungsi (perpecahan) antara sikap kritikus dan penafsir sebagai partisipan reflektif. Ilmuwan sosial dapat menahan penilaian, tetapi hanya dengan mengorbankan interpretasi dan mengesampingkan pengetahuan prateoretis dan praktis yang mereka miliki bersama orang lain, akan mampu mencapai pemahaman. Dengan demikian, berbagai bentuk rasionalitas menjadi esensial bagi ilmu-ilmu sosial, karena sifat domain sosial.

Menolak garis argumen Habermas, McCarthy dan yang lainnya berpendapat bahwa bukanlah kondisi yang perlu bahwa penafsir mengambil posisi untuk memahami alasan-alasan, bahkan jika kita harus mengandalkan kompetensi kita sendiri untuk menilai validitas dan keabsahan alasan-alasan dan untuk mengidentifikasinya sebagai alasan-alasan secara keseluruhan. Meskipun demikian, Habermas menggunakan konsepsi ini dalam teori sosialnya tentang modernitas untuk menunjukkan cara-cara yang mana budaya modern telah melepaskan rasionalitas komunikatif dari hambatan budaya dan ideologis sebelumnya. Dalam masyarakat modern, norma-norma sosial tidak lagi dianggap valid, melainkan menjadi sasaran refleksi kritis, misalnya ketika kehidupan etis budaya tertentu dikritik dari sudut pandang keadilan. Dalam arti konsisten dengan keharusan Pencerahan untuk menggunakan akal sehatnya sendiri, “dunia-kehidupan” pengalaman sosial sehari-hari telah dirasionalisasikan, terutama dalam bentuk diskursus yang melembagakan tindakan komunikatif reflektif, seperti dalam institusi ilmiah dan demokrasi.

Rasionalisasi dunia-kehidupan dalam modernitas Barat berjalan seiring dengan pertumbuhan mekanisme koordinasi sistemik yang telah disebutkan di atas, yang mana tuntutan konsensus komunikatif sepenuhnya dilonggarkan. Jika masyarakat modern yang besar dan kompleks tidak dapat lagi diintegrasikan semata-mata berdasarkan nilai dan norma budaya bersama, maka mekanisme koordinasi baru yang tidak disengaja harus muncul, yang berbentuk media uang dan kekuasaan nonlinguistik. Misalnya, pasar mengoordinasikan produksi kolektif dan distribusi barang secara tidak sengaja, bahkan jika pasar seperti itu didasarkan pada institusi budaya dan politik seperti perusahaan (firms) dan negara. Modernisasi dapat menjadi patologis, seperti ketika uang dan kekuasaan “menjajah dunia-kehidupan” dan menggantikan bentuk-bentuk solidaritas komunikatif dan menghambat reproduksi dunia-kehidupan (misalnya, ketika kampus/universitas diatur oleh strategi pasar). "Yuridifikasi" adalah bentuk patologis lainnya, ketika hukum datang untuk menyerang lebih banyak dan lebih banyak lagi area kehidupan sosial, mengubah warga negara menjadi klien birokrasi dengan apa yang Foucault mungkin sebut efek "normalisasi". Aspek TCA ini kurang berdampak pada karya Habermas saat ini, yang kembali ke tema perbaikan praktik demokrasi sebagai sarana untuk melawan yuridifikasi dan kolonisasi. Institusi-institusi demokratis, jika dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan kokoh, seharusnya memastikan bahwa hukum tidak mengambil bentuk patologis ini, tetapi tunduk pada deliberasi warga negara, yang dengan demikian pembuat Undang-undang menjadi subjeknya (lihat bagian 3.4).

Setelah TCA, Habermas mulai melihat hukum bukan sebagai bagian dari masalah, tetapi sebagai bagian dari solusi, begitu ia menawarkan kumpulan teori-diskursus yang lebih lengkap tentang hukum dan demokrasi. Meskipun demikian teori modernitas masih tetap menggunakan teori sistem dan pemahamannya tentang integrasi yang tidak disengaja. Dengan menegaskan kedaulatan rakyat sebagai hasil pembangkitan “kekuatan komunikatif” di ruang publik, Habermas berusaha menyelamatkan substansi demokrasi radikal. Kesulitan yang belum terpecahkan adalah bahwa dalam masyarakat yang kompleks, seperti yang ditegaskan Habermas, “opini publik tidak mengatur” melainkan mengarahkan kekuasaan administratif ke arah tertentu; atau, seperti yang Habermas katakan, opini publik tidak "mengarahkan" tetapi "menghambat" kompleksitas institusional (1996b, bab 8). Artinya, warga negara tidak mengontrol proses sosial; mereka menjalankan pengaruh melalui mekanisme dan saluran komunikasi tertentu yang dilembagakan. Betapapun suksesnya demokrasi dalam menciptakan legitimasi, demokrasi tidak dapat memperoleh kendali penuh atas masyarakat kompleks berskala besar, atau bahkan kondisi yang diperlukan untuk realisasinya sendiri. Dalam pengertian ini, penekanan Habermas pada efek pembatasan kompleksitas pada demokrasi dan penolakannya terhadap bentuk masyarakat yang sepenuhnya demokratis melanjutkan argumen dasar tentang perlunya integrasi sistem, bahkan dengan biayanya. Demokrasi radikal mungkin tidak lagi menjadi satu-satunya sarana untuk transformasi sosial, meskipun jelas bahwa demokrasi radikal tetap menjadi “proyek modernitas yang belum selesai”: mewujudkan dan mentransformasi demokrasi masih merupakan tujuan sejati bahkan untuk masyarakat yang kompleks dan mengglobal.

3.2 Teori Diskursus

Teori Habermas tentang tindakan komunikatif bersandar pada idea bahwa tatanan sosial pada akhirnya bergantung pada kapasitas aktor untuk mengenali validitas intersubjektif dari klaim berbeda yang menjadi sandaran kerja sama sosial. Dalam memahami kerja sama dalam kaitannya dengan klaim validitas, Habermas menyoroti karakter rasional dan kognitifnya: mengakui validitas klaim semacam itu berarti menganggap bahwa alasan-alasan yang baik dapat diberikan untuk membenarkannya di hadapan kritik. Dengan demikian TCA menunjuk dan bergantung pada penjelasan tentang pembenaran semacam itu —yaitu, pada teori argumentasi atau diskursus, yang disebut Habermas sebagai “bentuk reflektif” dari tindakan komunikatif.

Seperti disebutkan di atas, Habermas mengusulkan konsepsi multi-dimensi tentang rasio yang mengekspresikan dirinya dalam berbagai bentuk validitas kognitif: tidak hanya dalam klaim kebenaran tentang dunia empiris, tetapi juga dalam klaim kebenaran tentang tipe-tipe perlakuan yang kita miliki satu sama lain sebagai pribadi, klaim keaslian tentang kehidupan yang baik, klaim teknis-pragmatis tentang sarana yang cocok untuk tujuan yang berbeda, dan sebagainya. Seperti yang Habermas akui, tata bahasa permukaan dari tindakan-tutur tidak cukup untuk menetapkan kisaran tipe-tipe validitas ini. Sebaliknya, untuk mendasarkan sistem klaim validitas multi-dimensi, seseorang harus melengkapi analisis semantik dengan analisis pragmatis dari berbagai tipe diskursus argumentatif —“logika argumentasi” yang berbeda— yang melaluinya setiap tipe dapat dibenarkan secara intersubjektif (TCA 1: 8–42). Jadi, tipe klaim validitas dianggap berbeda dari tipe lain hanya jika seseorang dapat menetapkan bahwa pembenaran diskursifnya melibatkan aspek yang membedakannya dari tipe pembenaran lainnya. Apakah teori pragmatisnya tentang makna berhasil atau tidak, analisis diskursif tentang validitas menjelaskan perbedaan penting dalam tuntutan argumentatif yang datang dengan berbagai jenis klaim yang dapat dibenarkan. Untuk melihat bagaimana Habermas mengidentifikasi ciri-ciri yang berbeda ini, pertama-tama perlu dipahami struktur umum argumentasi.

Analisis pragmatis argumentasi secara umum. Teori diskursus Habermas mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari validitas klaim yang bertujuan untuk membenarkan —tujuan kognitif atau topik argumentasi— menentukan praktik argumentatif spesifik yang sesuai untuk pembenaran tersebut. Dengan demikian, teori diskursus membutuhkan analisis pragmatis tentang argumentasi sebagai praktik sosial. Analisis tersebut bertujuan untuk merekonstruksi presuposisi normatif yang menyusun diskursus para pendebat yang kompeten. Untuk mendapatkan presuposisi ini, seseorang tidak bisa begitu saja menggambarkan argumentasi seperti yang terjadi secara empiris; sebagaimana kita lihat di TCA, seseorang harus mengadopsi sikap performatif dari seorang partisipan dan mengartikulasikan ideal-ideal dan aturan bersama, meskipun seringkali tersembunyi, yang memberikan dasar untuk menganggap beberapa argumen lebih baik daripada yang lain. Mengikuti teori argumentasi kontemporer, Habermas berasumsi bahwa seseorang tidak dapat sepenuhnya mengartikulasikan presuposisi normatif ini hanya dalam hal sifat logis dari argumen. Sebaliknya, ia membedakan tiga aspek praktik pembuatan argumen: argumen sebagai produk, sebagai prosedur, dan sebagai proses, yang secara longgar Habermas selaraskan dengan perspektif tradisional tentang evaluasi argumen logika, dialektika, dan retorika. Secara pragmatis, masing-masing perspektif ini berfungsi sebagai "tingkat pengandaian" yang terlibat dalam penilaian keteraturan —kebaikan atau kekuatan— argumen. Habermas tampaknya menganggap perspektif ini, secara bersama-sama, sebagai idea pragmatis tentang kepastian: "tidak ada satu pun dari tingkat analitik ini yang dapat mengembangkan gagasan intrinsik dari tuturan argumentatif secara memadai" (TCA 1:26).

Pada tingkat logis, partisipan memperhatikan argumen sebagai produk, yaitu serangkaian alasan yang mendukung kesimpulan. Dari perspektif ini, para pendebat bertujuan untuk membangun “argumen-argumen beralasan yang meyakinkan berdasarkan sifat-sifat intrinsiknya dan yang dengannya klaim validitas dapat diterima/ditebus (redeemed) atau ditolak” (ibid., 25). Mengikuti karya Stephen Toulmin dan ahli logika informal lainnya, Habermas menganggap sebagian besar bila tidak semua argumentasi pada akhirnya bertumpu pada argumen ampliatif (memperbesar atau memperluas) yang kesimpulannya tidak mengikuti dengan kepastian deduktif tetapi hanya lebih atau kurang masuk akal atau mungkin. Kekuatan logis dari argumen semacam itu tergantung pada seberapa baik seseorang memperhitungkan semua informasi yang relevan dan kemungkinan keberatan. Dengan demikian istilah "logis" memiliki arti luas yang mencakup tidak hanya logika formal tetapi juga logika informal, yang mana kekuatannya tergantung pada makna yang saling terkait dari istilah dan informasi latar belakang yang menolak formalisasi lengkap: induksi, analogi, narasi (narrative), dan sebagainya.

Mengingat karakter ampliatif dari sebagian besar argumen, penilaian logis mengandaikan kecukupan dialektis dari prosedur argumentatif. Artinya, kita dapat menganggap produk dari praktik pembuatan argumen kita kuat secara logis hanya bila kita menganggap, pada tingkat dialektis, bahwa kita telah mengajukan argumen dan kontra argumen ke prosedur diskusi kritis —seperti Habermas (TCA 1:26) menempatkannya, "kompetisi ritual untuk argumen yang lebih baik." Perlakuan dialektis dari argumentasi biasanya menguraikan "kewajiban dialektis" dari pembahas: bahwa ketika seseorang harus mengatasi masalah yang dihadapi, harus menanggapi tantangan yang relevan, memenuhi beban pembuktian yang ditentukan, dan seterusnya.

Namun, pengujian kritis yang kuat dari argumen yang bersaing pada gilirannya tergantung pada kualitas retorika dari proses persuasif. Habermas memahami tingkat retorika dalam hal sifat-sifat komunikasi yang sangat ideal, yang awalnya ia sajikan sebagai kondisi "situasi tutur/ujaran yang ideal" (1973a; juga 1971/2001). Cara berbicara itu sekarang menurut dia terlalu direifikasi, menunjukkan kondisi ideal bahwa diskursus nyata harus memenuhi, atau setidaknya kira-kira memuaskan motif yang Habermas sendiri gunakan sampai baru-baru ini (lih. 1993, 54–55; 1996b, 322– 23). Habermas saat ini memahami idea tentang proses yang memadai secara retoris sebagai seperangkat "presuposisi pragmatis" yang tidak dapat dihindari namun kontrafaktual yang harus dibuat oleh para partisipan bila partisipan ingin menganggap pelaksanaan prosedur dialektis yang sebenarnya sebagai pengujian kritis. Habermas (2005b, 89) mengidentifikasi empat presuposisi  yang paling penting: (i) tidak ada seorang pun yang mampu memberikan kontribusi yang relevan telah dikecualikan, (ii) partisipan memiliki suara yang sama, (iii) partisipan secara internal bebas untuk mengungkapkan pendapat jujurnya tanpa penipuan atau penipuan diri sendiri, dan (iv) tidak ada sumber paksaan yang dibangun ke dalam proses dan prosedur diskursus. Kondisi seperti itu, pada dasarnya, mengartikulasikan apa artinya menilai semua informasi dan argumen yang relevan (untuk tingkat pengetahuan dan penyelidikan tertentu) seakurat mungkin, menimbang argumen secara murni pada manfaat dalam pencarian kebenaran tanpa pamrih. Kondisi ini kontrafaktual dalam arti bahwa diskursus aktual jarang dapat mewujudkan —dan tidak pernah dapat secara empiris mengesahkan—inklusi penuh, tanpa-paksaan, dan kesetaraan. Pada saat yang sama, pengandaian idealisasi ini memiliki efek operatif pada diskursus aktual: kita dapat menganggap hasil (baik konsensual dan non-konsensual) sebagai masuk akal hanya jika pengamatan kita terhadap proses tidak mengungkap pengecualian yang jelas, penekanan argumen, manipulasi, penipuan diri, dan sejenisnya (2003a, 108). Dalam pengertian ini, idealisasi pragmatis ini berfungsi sebagai "standar untuk proses pembelajaran yang mengoreksi diri" (2005b, 91).

Sebagai pemahaman tentang perspektif retoris, model Habermas yang sangat ideal dan formal hampir tidak adil terhadap kekayaan substantif dari tradisi retorika. Namun, seseorang dapat melengkapi modelnya dengan retorika yang lebih substantif yang mengacu pada catatan Aristoteles tentang etos dan pathos (Rehg 1997). Dalam hal ini, perspektif retoris berkaitan dengan merancang argumen untuk kemampuan mereka menempatkan audiens tertentu dalam ruang sosial-psikologis yang tepat untuk membuat penilaian kolektif yang bertanggung jawab. Namun "ruang penilaian yang bertanggung jawab" masih tetap merupakan idealisasi yang tidak dapat direduksi menjadi perilaku aktual apa pun yang dapat diamati, tetapi paling banyak dapat dianggap tidak mungkin. Hal yang sama mungkin berlaku untuk prosedur dialektis. Meskipun perspektif dialektis mengacu pada tradisi debat publik, norma-norma dialektis, ketika dipahami sebagai praanggapan pragmatis, tidak identik dengan aturan debat yang dilembagakan (1990a, 91). Seorang pengamat yang netral dapat menilai apakah lawan bicara telah secara eksternal mematuhi prosedur institusional, sedangkan partisipan yang terlibat harus menilai seberapa baik mereka telah memenuhi praanggapan dialektis dari pengujian kritis yang serius.

Diferensiasi diskursus argumentatif. Jika klaim validitas yang berbeda memerlukan tipe-tipe argumentasi yang berbeda, maka perbedaan yang relevan harus muncul melalui analisis yang lebih dekat tentang cara aspek-aspek praktik argumentatif di atas menyesuaikan dengan berbagai konten yang berbeda, yaitu, klaim validitas yang berbeda yang dipermasalahkan (lih. 2008, bab 3). Yang pasti, Habermas tidak menganggap setiap klaim validitas terbuka untuk diskursus yang tepat. Klaim ketulusan (atau "klaim kebenaran," seperti terkadang diterjemahkan demikian) adalah contoh utama. Ini adalah klaim yang dibuat aktor tentang subjektivitas interiornya: perasaan, suasana hati, keinginan, keyakinan, dan sejenisnya. Klaim semacam itu terbuka untuk penilaian rasional, bukan dalam diskursus tetapi dengan perbandingan dengan perilaku aktor: misalnya, jika seorang anak laki-laki mengaku sangat peduli pada orang tuanya tetapi tidak pernah memberi mereka perhatian, kita akan memiliki alasan untuk meragukan ketulusan klaimnya. Perhatikan bahwa ketidaktulusan semacam itu mungkin melibatkan penipuan diri sendiri daripada kebohongan yang disengaja.

Klaim kebenaran dan kebenaran, sebaliknya, rentan terhadap pembenaran argumentatif dalam arti yang tepat, melalui apa yang disebut Habermas sebagai "diskursus ketat." Saat Habermas pertama kali menganalisis diskursus yang berhubungan dengan dua jenis validitas ini (1973a), keduanya memiliki banyak kesamaan. Meskipun tipe-tipe alasan terbedakan -diskursus moral bertumpu terutama pada interpretasi kebutuhan, diskursus empiris-teoretis pada induksi empiris- dalam kedua kasus, alasan yang relevan harus, pada prinsipnya, dapat diterima oleh agen yang masuk akal. Dalam kasus klaim kebenaran empiris, presuposisi konsensus tingkat proses ini bertumpu pada idea bahwa dunia objektif adalah sama untuk semua; dalam hal kebenaran moral, itu bersandar pada gagasan bahwa aturan dan prinsip moral yang valid berlaku untuk semua orang. Dalam kedua kasus, audiens yang tepat untuk pengujian klaim adalah universal, dan dalam membuat klaim kebenaran atau kebenaran, seseorang secara kontrafaktual mengandaikan bahwa konsensus universal akan dihasilkan, jika para partisipan mampu mengejar diskursus yang cukup inklusif dan masuk akal untuk waktu yang cukup lama. Meskipun pernyataan awalnya agak tidak jelas, dalam satu bacaan Habermas mendefinisikan tidak hanya kebenaran moral tetapi juga kebenaran empiris dalam kerangka konsensus ideal tersebut (mirip dengan C. S. Peirce). Habermas lebih jauh membedakan kebenaran dari kebenaran moral dengan mendefinisikan yang terakhir, tetapi bukan yang pertama, dalam hal konsensus yang diidealkan. Lebih lanjut tentang itu di bawah ini.

Klaim keaslian, tidak seperti klaim kebenaran dan kebenaran, tidak datang dengan harapan konsensual yang begitu kuat. Habermas mengaitkan tipe klaim ini dengan diskursus "etis". Tidak seperti diskursus moral, yang mana peserta berusaha untuk membenarkan norma dan tindakan yang sesuai dengan keprihatinan dan rasa hormat terhadap orang-orang pada umumnya, diskursus etis fokus pada pertanyaan tentang kehidupan yang baik, baik untuk individu tertentu (diskursus "etika-eksistensial") atau untuk kelompok atau masyarakat berpemerintahan tertentu (diskursus “etika-politik”). Akibatnya, tipe alasan yang membentuk argumen yang meyakinkan dalam diskursus etis bergantung pada sejarah kehidupan, tradisi, dan nilai-nilai tertentu dari mereka yang kebaikannya dipermasalahkan. Acuan pada kekhususan yang berhubungan dengan individu dan kelompok ini berarti bahwa seseorang seharusnya tidak mengharapkan alasan tersebut untuk memenangkan konsensus universal (1993, 1–18; 1996b, 162–68). Namun, Habermas (2003b) tampaknya mengakui satu klas pertanyaan etis yang mengakui konsensus universal. Pilihan teknologi yang memengaruhi masa depan sifat manusia, seperti rekayasa peningkatan genetika, menimbulkan masalah etika di seluruh spesies. Isu-isu tersebut tidak hanya menyangkut pemahaman diri kita sebagai anggota budaya atau tradisi tertentu, tetapi bagaimana kita harus memahami martabat dasar manusia kita. Dalam pandangannya, inti dari martabat manusia, dan dengan demikian menjadi dasar bagi etika spesies manusia, terletak pada kapasitas manusia untuk menentukan nasib sendiri secara otonom.

Singkatnya, teori diskursus Habermas menyelaraskan berbagai tipe klaim validitas dengan berbagai tipe diskursus pembenaran. Pada tingkat logis, argumen yang meyakinkan harus menggunakan tipe alasan yang agak berbeda untuk membenarkan tipe klaim yang berbeda. Meskipun beberapa tipe alasan mungkin masuk ke dalam setiap tipe diskursus (misalnya, klaim empiris), serangkaian pertimbangan relevan yang secara individual diperlukan dan cukup digabungkan untuk membuat argumen-argumen kuat yang secara logis akan berbeda. Dengan demikian, klaim tentang apa yang dibutuhkan manusia adalah alasan yang relevan dalam argumen moral tentang kewajiban kesejahteraan, tetapi tidak untuk mendukung klaim kebenaran bahwa quark (baca: secara inti, tidak sendirian dan berkelompok) eksis. Pada tingkat dialektis, seseorang harus memenuhi beban pembuktian yang berbeda dengan menjawab berbagai tipe tantangan. Misalnya, dalam mempertahankan otentisitas etis dari Tom untuk berkarir di bidang kedokteran, seseorang tidak perlu menunjukkan bahwa kedokteran adalah karier yang harus diikuti semua orang, tetapi hanya karier seperti itu yang masuk akal, mengingat latar belakang, bakat, dan keinginan pribadi Tom. Seseorang juga dapat memeriksa pilihan karier Tom dari sudut pandang moral, tetapi dalam kasus itu seseorang hanya perlu menunjukkan bahwa siapapun dalam keadaannya secara moral diizinkan untuk mengejar kedokteran. Pada tataran retorika, akhirnya, ruang lingkup dan kedalaman kesepakatan berbeda menurut tipe klaimnya. Klaim kebenaran moral dan klaim kebenaran empiris dibenarkan oleh alasan-alasan yang seharusnya dapat diterima oleh khalayak universal, sedangkan klaim etis ditujukan kepada mereka yang memiliki sejarah dan tradisi nilai tertentu.

Setelah membedakan tipe diskursus, Habermas harus mengatakan sesuatu tentang bagaimana tipe-tipe diskursus saling terkait. Jelas, beberapa diskursus bergantung pada tipe lain: yang paling jelas, diskursus moral dan etika sebagian bergantung pada klaim empiris, dan dengan demikian bergantung pada hasil diskursus empiris tentang keadaan dan konsekuensi aturan perilaku dan pengejaran kolektif atas kehidupan yang baik. Pertanyaan tentang keterkaitan menjadi sangat mendesak di bidang politik, yang mana diskursus yang berbeda saling terkait dan mengarah pada kesimpulan yang bersaing, atau ketika masalah muncul yang mana tipe-tipe diskursus tidak dapat dipisahkan secara jelas, sehingga standar keyakinan menjadi kabur atau sangat diperebutkan (McCarthy 1991, bab 7; 1998). Karena Habermas (1996c, 1534f) menolak gagasan meta-diskursus yang memilah isu-isu batas ini, maka Habermas harus menjawab tantangan ini dalam teori demokrasinya. Sebelum membahas topik itu, teori kebenaran Habermas patut dicermati.

3.3 Teori Kebenaran dan Pengetahuan

Dalam berbagai esainya tentang kebenaran empiris, Habermas biasanya menganggap proposisi sebagai pembawa kebenaran: dalam membuat pernyataan, "Saya mengklaim bahwa proposisi [Aussage] yang saya nyatakan adalah benar" (1971/2001, 86; lih. 2003a , 249 dst). Namun, dalam perlakuan awalnya, Habermas segera menyamakan kebenaran empiris dengan pembenaran ideal —teori kebenaran konsensus yang disebutkan di atas. Menurut teori itu, "kondisi kebenaran proposisi adalah persetujuan potensial dari semua yang lain"; dengan demikian "makna kebenaran yang universal-pragmatis ... ditentukan oleh tuntutan untuk mencapai konsensus rasional" (1971/2001, 89; lih. 86). Formulasi semacam itu menunjukkan bahwa Habermas menyamakan makna kebenaran dengan hasil konsensus rasional yang universal, yang Habermas pahami dengan mengacu pada situasi perbincangan yang ideal (ibid., 97-98). Namun, Habermas segera melihat kesulitan dengan teori konsensus, dan Habermas tidak pernah mengizinkan "Wahrheitstheorien" (1973a), esai utamanya tentang teori kebenaran konsensus, muncul dalam bahasa Inggris. Seperti teori-teori kebenaran "epistemis" yang menghubungkan kebenaran dengan ketegasan (aseeribility) yang dijamin ideal (misalnya, Hilary Putnam, Crispin Wright), teori konsensus meremehkan karakter kebenaran dari transendensi-pembenaran (2003a, 250-52).

Habermas sekarang mengusulkan "realisme epistemologis pragmatis" (2003a, 7; 1998b, bab 8). Teori kebenarannya adalah realis dalam berpendapat bahwa dunia objektif (bukan konsensus ideal) adalah pembuat kebenaran. Jika sebuah proposisi (atau kalimat, pernyataan) yang kita klaim kebenarannya memang benar, hal itu terjadi karena secara akurat mengacu pada objek yang ada, atau secara akurat mewakili keadaan sebenarnya —walaupun objek dan keadaan yang tentangnya kita hanya dapat menyatakan fakta. di bawah deskripsi yang bergantung pada sumber linguistik kita. Ketakterhindaran bahasa menentukan karakter epistemologis pragmatis dari realismenya. Secara khusus, Habermas menghindari upaya untuk menjelaskan hubungan antara proposisi dan dunia secara metafisis (misalnya, seperti dalam teori korespondensi). Sebaliknya, ia menjelaskan makna representasi akurat secara pragmatis, dalam hal implikasinya untuk praktik sehari-hari dan diskursus. Sejauh kita menganggap konten proposisional sebagai kebenaran yang tidak bermasalah dalam keterlibatan praktis sehari-hari kita dengan kenyataan, kita bertindak dengan percaya diri berdasarkan keyakinan yang dikuatkan dengan baik tentang objek di dunia. Apa yang Habermas (1971/2001, 94; TCA 1:23) sebut sebagai diskursus "teoretis-empiris" atau "teoretis" menjadi penting ketika kepercayaan kehilangan status tidak bermasalahnya sebagai akibat dari kesulitan praktis, atau ketika keadaan baru menimbulkan pertanyaan tentang dunia alam. Kasus-kasus seperti itu membutuhkan penyelidikan empiris yang mana klaim kebenaran tentang dunia diajukan ke pengujian kritis. Meskipun Habermas cenderung memisahkan tindakan dan diskursus secara tajam, tampaknya lebih masuk akal untuk menganggap pengujian kritis seperti menggabungkan diskursus dengan tindakan eksperimental —seperti yang kita lihat dalam penyelidikan ilmiah, yang menggabungkan argumen empiris dengan tindakan praktis, yaitu studi lapangan dan eksperimen laboratorium.

Sampai saat ini Habermas belum menarik implikasi dari teori diskursusnya untuk penjelasan rinci diskursus berorientasi kebenaran, yang kita temukan paling berkembang dalam sains (tetapi lihat Rehg 2009, bab 4-6). Sebagai teori argumentasi, penjelasan semacam itu mungkin harus mengambil garis besar berikut: pada tingkat logis, pembenaran diskursif dari klaim kebenaran yang bermasalah sangat bergantung pada alasan empiris: laporan pengamatan, hasil tes eksperimental, dan sejenisnya. Demikian pula untuk tingkat dialektis: tantangan utama muncul dari teori dan pengamatan yang tampaknya bertentangan dengan klaim yang dipermasalahkan atau dengan alasan pendukungnya. Pada tingkat retoris, seseorang mencari persetujuan dari audiens yang berpotensi universal, mengingat bahwa klaim kebenaran adalah tentang dunia objektif yang sama untuk semua manusia. Sketsa ini, bagaimanapun, meninggalkan detail yang akan membuat teori diskursus ilmu pengetahuan menarik. Misalnya, bagaimana nilai epistemik dan estetika (lingkup, akurasi, kesederhanaan, dan lainnya) memengaruhi konstruksi logis argumen ilmiah? Bukankah anggapan khalayak universal harus dilemahkan, mengingat bahwa para ilmuwan menyelidiki aspek-aspek dunia (misalnya, partikel subatomik) yang tidak dapat diakses oleh semua kecuali sekelompok kecil ahli terlatih? Bagaimana kekuatan argumentasi ilmiah bergantung pada atau melibatkan berbagai struktur dan mekanisme kelembagaan, seperti peer review, pemberian kredit, distribusi uang hibah, dan sebagainya?

3.4 Teori Diskursus tentang Moralitas, Politik, dan Hukum

Dua keprihatinan abadi Habermas dalam teori politik dan rasionalitas bersatu dalam teori diskursusnya tentang demokrasi deliberatif. Di sana kita melihat dia berjuang untuk menunjukkan bagaimana teori diskursus multi-dimensinya yang sangat ideal memiliki perolehan institusional yang nyata dalam masyarakat modern yang kompleks. Dalam konteks itu, argumentasi muncul dalam bentuk diskusi publik dan debat atas pertanyaan-pertanyaan praktis yang dihadapi badan-badan politis. Tantangannya, kemudian, adalah untuk menunjukkan bagaimana model ideal diskursus praktis terhubung dengan konteks kelembagaan nyata dari pengambilan keputusan.

Habermas merangkum konsepsi ideal diskursus praktis dalam "prinsip diskursus" (D), yang dapat kita nyatakan sebagai berikut: Aturan tindakan atau pilihan dibenarkan, dan dengan demikian valid/sahih, hanya jika semua yang terpengaruh oleh aturan atau pilihan dapat diterima dalam diskursus yang masuk akal. Meskipun Habermas pertama kali memahami (D) sebagai prinsip diskursus moral, Habermas selanjutnya memosisikannya sebagai prinsip menyeluruh dari pembenaran yang tidak memihak yang berlaku untuk semua tipe diskursus praktis (lih. 1990a, 66, 93; 1996b, 107). Dengan demikian, ini hanya merangkum teori argumentasinya untuk setiap pertanyaan yang melibatkan berbagai "pekerjaan diskursus praktis" (1993, bab 1). (D) dengan demikian berlaku tidak hanya untuk kebenaran moral dan keaslian etis, tetapi juga untuk pembenaran klaim teknis-pragmatis tentang pilihan cara yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Setiap tipe diskursus praktis selanjutnya melibatkan spesifikasi lebih lanjut dari (D) untuk konten yang dipermasalahkan. Dalam mengembangkan teori demokrasinya, Habermas secara khusus memperhatikan dua spesifikasi tersebut: diskursus moral dan diskursus hukum-politik. Dalam membedakan kedua diskursus ini, Habermas menangani masalah tradisional tentang hubungan antara hukum dan moralitas. Dia juga menunjukkan bagaimana membawa idealisasi diskursif ke bumi institusional. Kita mulai dengan penjelasannya tentang diskursus moral.

Etika Diskursus Habermas. Teori diskursus moralitas Habermas umumnya disebut sebagai “etika diskursus”, sebuah label yang agak menyesatkan mengingat bahwa “etika” memiliki pengertian non-moral yang berbeda baginya, seperti disebutkan di atas. Gagasan etika diskursus sebelumnya telah diantisipasi oleh G. H. Mead (1962, 379–89) dan telah dibahas oleh sejumlah filsuf (misalnya, lihat Apel 1990, Benhabib 1992; Wingert 1993; Forst 2012). Versi Habermas sangat berhutang budi pada tradisi Kantian. Seperti Kant, ia menganggap moralitas sebagai masalah kewajiban moral tanpa syarat: larangan, kewajiban positif, dan izin yang mengatur interaksi di antara orang-orang. Tugas teori moral adalah merekonstruksi kekuatan tak bersyarat dari kewajiban-kewajiban seperti dikte-dikte alasan praktis yang tidak memihak yang berlaku untuk setiap agen yang berada dalam situasi yang sama. Juga seperti Kant, Habermas menghubungkan moralitas dengan rasa hormat terhadap agen otonom: dalam mengikuti perintah alasan yang tidak memihak, seseorang mengikuti hati nuraninya sendiri dan menunjukkan rasa hormat kepada agen lain semacam itu. Tidak seperti Kant, bagaimanapun, Habermas mengambil pendekatan dialogis untuk alasan praktis, seperti yang disyaratkan oleh teori diskursusnya. Kant berasumsi bahwa pada prinsipnya setiap individu yang matang dan reflektif, yang dipandu oleh Imperatif Kategoris, dapat mencapai kesimpulan yang sama tentang apa yang dituntut oleh tugas. Asumsi ini telah lama diakui sebagai problematis, tetapi dalam situasi pluralistik dan multikultural, asumsi ini menjadi sama sekali tidak dapat dipertahankan: seseorang dapat secara masuk akal mengklaim untuk mengambil sudut pandang moral yang tidak memihak hanya dengan terlibat dalam diskursus nyata dengan semua orang yang terpengaruh oleh masalah yang bersangkutan.

Prinsip (D) mengartikulasikan persyaratan dialogis ini. Jika seseorang mengasumsikan persyaratan ini, maka seseorang dapat sampai pada konsepsi khusus Habermas tentang diskursus moral yang masuk akal dengan mengerjakan implikasi dari teori argumentasinya untuk pengujian diskursif kewajiban moral tanpa syarat. Apa yang didapat adalah prinsip dialogis Universalisasi (U): “Suatu [norma moral] berlaku jika konsekuensi dan efek samping yang dapat diperkirakan dari ketaatan umum untuk kepentingan dan orientasi nilai setiap individu dapat diterima bersama oleh semua yang bersangkutan tanpa paksaan” (yaitu, dalam diskursus yang cukup masuk akal) (1998a, 42; trans. diubah). Habermas berpendapat bahwa (U) dapat disimpulkan dari pernyataan yang mengartikulasikan implikasi pragmatis diskursus argumentatif atas norma-norma moral (1990a, 86-93; 1998a, 39-45). Lebih tepatnya, deduksi yang berhasil mungkin bergantung pada tiga asumsi: (D), pernyataan semantik norma tak bersyarat, dan artikulasi pragmatik diskursus (Rehg 2011; lih. Ott 2004). Jika kita menerima (D) dan jika kita menerima penjelasan Habermas tentang pengandaian retoris dari pembenaran diskursif yang disyaratkan oleh (D), maka (U) harus mengikuti sebagai implikasi dari apa yang diperlukan untuk membenarkan norma secara diskursif dengan konten spesifik dari norma moral, yaitu kewajiban yang mengikat orang pada umumnya dan yang penerimaannya dengan demikian mempengaruhi pengejaran kepentingan dan kehidupan yang baik setiap orang. Dari sudut pandang teori argumentasi, (U) tampaknya menyatakan beban pembuktian yang menyusun proses dan prosedur pembenaran yang memadai.

Prinsip (U) mengasumsikan bahwa aturan atau norma moral yang valid memungkinkan komunitas egaliter dari agen otonom—seperti yang dikatakan Kant, “kesatuan sistematis dari makhluk rasional yang berbeda” yang diatur oleh “hukum umum” (1785, Ak. 433; juga 431). Namun, Prinsip (U) telah menjadi tempat kontroversi di antara ahli teori diskursus, dan tidak semua orang menganggapnya perlu untuk etika diskursus (Benhabib dan Dallmayr 1990; Wellmer 1991; Gottschalk-Mazouz 2000). Beberapa pendukung feminis "etika kepedulian" khawatir bahwa model universalisasi neo-Kantian Habermas menyaring kekhususan yang relevan secara moral dari situasi dan orang konkret (Young 1990; Benhabib 1992, bab 5).

Apakah argumen untuk (U) berjalan atau tidak, etika diskursus Habermas bergantung pada beberapa asumsi yang sangat kuat tentang kapasitas orang untuk dialog moral. Mengingat bahwa teori diskursusnya secara umum, dan dengan demikian (U) pada khususnya, bertumpu pada idealisasi kontrafaktual, orang mungkin tergoda untuk menganggap (U) sebagai eksperimen pemikiran hipotetis, analog dengan apa yang kita temukan dalam teori neo-Kantian atau kontraktualis lainnya seperti orang-orang dari John Rawls dan T. M. Scanlon. Sampai batas tertentu ini benar: untuk menganggap norma moral sebagai valid, orang harus menganggapnya akan bertahan dalam diskursus yang sepenuhnya inklusif dan masuk akal. Tapi Habermas mengambil langkah lebih jauh, bersikeras bahwa (U) adalah prinsip diskursus nyata: penilaian moral individu dianggap sepenuhnya masuk akal hanya jika itu keluar dari partisipasi dalam diskursus aktual dengan semua yang terpengaruh. Selain itu, (U) tidak hanya mengharuskan seseorang mencari masukan dari orang lain dalam membentuk hati nuraninya, tetapi juga agar seseorang memperoleh persetujuan yang masuk akal.

Untuk membawa idealisasi yang kuat seperti itu ke bumi, seseorang harus menghubungkannya dengan penilaian yang cermat dalam praktik moral sehari-hari. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah melalui penjelasan tentang penerapan aturan moral yang tepat dalam keadaan nyata. Menanggapi keberatan etika-kepedulian (dan mengikuti Günther 1993), Habermas telah mengakui perlunya penjelasan semacam itu (1993, 35-39). Dalam penerapan diskursus moral, seseorang harus menguji interpretasi normatif alternatif dari situasi tertentu untuk dapat diterima di hadapan khalayak terbatas dari mereka yang langsung terlibat, dengan asumsi bahwa seseorang menerapkan norma-norma umum yang valid. Tetapi bahkan pada tingkat aplikasi, diskursus tidak selalu dapat mencakup semua pihak yang terkena dampak (misalnya, ketika masalah menyangkut nasib pasien koma). Etika diskursus Habermas dengan demikian menyiratkan bahwa bagi banyak, jika bukan sebagian besar, dari aturan dan pilihan moral kita, yang terbaik yang dapat kita capai adalah pembenaran parsial: argumen yang tidak meyakinkan untuk semua, tetapi juga tidak dikalahkan secara meyakinkan, dalam diskursus terbatas dengan lawan bicara yang kita anggap masuk akal (lih. Rehg 2003, 2004).

Habermas juga berusaha memberikan etika diskursus beberapa pijakan empiris dengan melihat psikologi moral dan antropologi sosial (1990a, 116-94). Garis psikologis argumen mengacu pada teori tindakan komunikatif untuk merekonstruksi teori perkembangan moral seperti Lawrence Kohlberg. Menurut Habermas, pematangan moral melibatkan pertumbuhan kemampuan untuk mengintegrasikan perspektif interpersonal yang diberikan dengan sistem kata-ganti-orang; titik akhir dari proses itu bertepatan dengan kapasitas untuk terlibat dalam pengambilan perspektif bersama yang dibutuhkan oleh (U). Garis argumen antropologis berfokus pada pembentukan identitas, penggambaran pada psikologi sosial G. H. Mead. Dalam kesepakatan luas dengan model Hegelian pengakuan timbal balik, Mead memahami perkembangan individu dari identitas pribadi yang stabil sebagaimana terikat erat dengan proses sosialisasi yang bergantung pada partisipasi dalam hubungan saling pengakuan. Habermas memperluas analisis ini untuk menanggapi kritik feminis dan komunitarian terhadap moralitas berbasis-keadilan yang tidak memihak (ibid., 195–215; 1990b). Moralitas seperti itu, menurut para kritikus, mengasumsikan pandangan atomistik yang tidak masuk akal tentang diri. Dengan demikian mereka gagal untuk menghargai impor moral dari partikularitas dan substansi budaya: hubungan khusus antara individu yang unik, di satu sisi, dan keanggotaan dalam komunitas atau tradisi budaya tertentu, di sisi lain (untuk kritik feminis, lihat Benhabib 1992; Meehan 1995; untuk argumen komunitarian, lihat Taylor 1989). Analisis Mead menunjukkan bahwa para kritikus berada pada poin penting: jika individuasi bergantung pada sosialisasi, maka setiap sistem moralitas yang layak secara antropologis harus melindungi tidak hanya integritas individu tetapi juga jaringan hubungan dan bentuk kehidupan budaya tempat individu bergantung pada perkembangan moralnya. Etika diskursus, klaim Habermas, memenuhi tuntutan dua kali lipat ini berdasarkan jenis pengambilan perspektif timbal balik yang dibutuhkannya. Jika kita meneliti (U), kita melihat bahwa hal itu mengharuskan partisipan untuk memperhatikan nilai-nilai dan kepentingan setiap orang sebagai individu yang unik; sebaliknya, setiap individu mengkondisikan penilaiannya tentang nilai-nilai moral dan keprihatinannya pada apa yang dapat diterima secara bebas oleh semua partisipan. Akibatnya, diskursus moral terstruktur dengan cara yang menghubungkan validitas moral dengan kepedulian solidaritas baik untuk individu konkret maupun komunitas formatif moral yang mana identitasnya bergantung.

Argumen-argumen ini tentu saja ambisius, dan mereka mengajukan pertanyaan sebanyak yang mereka jawab. Maka, tidak mengherankan jika banyak komentator yang tidak terbujuk oleh etika diskrusus sebagai etika normatif. Sebaliknya, mereka menganggapnya masuk akal hanya dalam konteks politik demokrasi, atau sebagai model untuk evaluasi kritis dialog formal (misalnya, resolusi konflik lingkungan, komite etika medis, dan sejenisnya). Kritikus lain telah menargetkan etika diskursus pada tingkat meta-etika. Faktanya, Habermas pertama kali mengungkapkan teori moralnya sebagai jawaban atas moral non-kognitivisme dan skeptisisme (1990a, 43-115). Dalam konteks ini, (U) menjelaskan epistemologi moral: apakah artinya pernyataan moral dianggap dibenarkan? Jika pernyataan moral dapat dibenarkan, maka pernyataan tersebut memiliki karakter kognitif dalam arti bahwa pernyataan tersebut benar atau tidak, tergantung pada bagaimana pernyataan tersebut ditampilkan dalam diskursus yang masuk akal. Namun, Habermas mengusulkan (U) tidak hanya sebagai pengartikulasian model konsensus pembenaran moral, tetapi sebagai penjelasan dari makna kebenaran itu sendiri. Tidak seperti kebenaran, kebenaran suatu norma moral tidak terdiri dari referensi ke ranah objek yang ada secara independen, tetapi lebih pada kelayakan norma untuk pengakuan intersubjektif. Jadi ketepatan (rightness), tidak seperti kebenaran (truh), berarti ketegasan yang dijamin ideal (2005b, 93; 2003a, bab 6). Penafsiran antirealis tentang etika diskursus ini telah ditentang, bagaimanapun, dengan beberapa kritikus yang  menganjurkan interpretasi realis tentang kebenaran, selain pendekatan deflasi (Lafont 1999, bab 7; Heath 1998).

Teori diskursus hukum dan politik Habermas. Tugas utama teori demokrasi Habermas adalah memberikan penjelasan normatif tentang hukum yang absah (legiimate law). Model demokrasi deliberatifnya bersandar pada apa yang mungkin merupakan argumen paling kompleks dalam korpus filosofisnya, yang ditemukan dalam bukunya Between Facts and Norms (1996b; German ed., 1992b; untuk komentar, lihat Baynes 1995; Rosenfeld and Arato 1998; vom Schomberg and Baynes 2004). Namun, diringkas ke esensinya, argumen tersebut menghubungkan teori diskursusnya dengan analisis tuntutan yang melekat dalam sistem hukum modern, yang dipahami Habermas dengan mempertimbangkan sejarah modernisasi Barat. Analisis dengan demikian dimulai dengan penjelasan fungsional tentang perlunya hukum positif dalam masyarakat modern. Analisis ini mengambil poin yang dia buat di TCA (lihat bagian 3.1 di atas).

Masyarakat akan stabil dalam jangka panjang hanya jika anggotanya umumnya menganggap mereka legitim (baca: absah): terorganisir sesuai dengan apa yang benar, tepat, dan baik. Di Eropa pramodern, legitimasi didasarkan pada pandangan dunia keagamaan bersama yang merambah semua bidang kehidupan. Ketika modernisasi melahirkan pluralisme agama dan diferensiasi fungsional (ekonomi pasar otonom, administrasi birokrasi, penelitian ilmiah yang tidak dibatasi), potensi kesalahpahaman dan konflik tentang kebaikan dan hak meningkat —seperti halnya sumber daya latar belakang bersama untuk resolusi konsensual dari konflik-konflik tersebut menurun. Ketika kita mempertimbangkan dinamika ini hanya dari sudut pandang prinsip (D), prospek legitimasi dalam masyarakat modern tampak cukup redup.

Secara sosiologis, maka hukum modern dapat dipahami sebagai solusi fungsional terhadap potensi konflik yang melekat pada modernisasi. Dengan membuka ruang kebebasan individu yang ditentukan secara hukum, hukum modern mengurangi beban pertanyaan yang membutuhkan konsensus diskursif umum (seluruh masyarakat). Dalam batas-batas hukum ini, individu bebas untuk mengejar kepentingan dan kebahagiaan mereka sesuai keinginan mereka, biasanya melalui berbagai mode asosiasi, apakah pengejaran itu terutama diatur oleh mode tindakan strategis (seperti di pasar ekonomi), oleh otoritas yang diakui atau diskursus konsensus. (misalnya, dalam komunitas agama; dalam ilmu), atau dengan rasionalitas birokrasi (seperti dalam perusahaan sukarela yang terorganisir secara hierarkis). Akibatnya, hukum modern pada dasarnya berkaitan dengan definisi, perlindungan, dan rekonsiliasi kebebasan individu dalam berbagai konteks kelembagaan dan organisasi mereka.

Tuntutan legitimasi hukum berubah dengan penataan kembali fungsional ini: untuk menjadi absah, hukum modern harus mengamankan otonomi privat mereka yang tunduk padanya. Jaminan hukum otonomi privat pada gilirannya mengandaikan kode hukum yang mapan dan status kewarganegaraan yang ditetapkan secara hukum dalam hal hak-hak dasar yang dapat ditindaklanjuti yang mengamankan ruang bagi kebebasan individu. Namun, hak-hak tersebut merupakan ekspresi kebebasan hanya jika warga negara juga dapat memahami diri mereka sendiri sebagai pembuat undang-undang yang menafsirkan hak-hak mereka —yaitu, hanya jika undang-undang yang melindungi otonomi privat juga dikeluarkan dari pelaksanaan otonomi publik oleh warga negara sebagai pembuat undang-undang yang bertindak melalui perwakilan terpilih (elected representatives). Dengan demikian, hak yang mendefinisikan kebebasan individu juga harus mencakup hak partisipasi politik. Sebagaimana Habermas memahami hubungan antara otonomi privat dan publik, masing-masing adalah “co-original” atau “equiprimordial”, secara konseptual mengandaikan yang lain dalam arti bahwa masing-masing dapat diwujudkan sepenuhnya hanya jika yang lain sepenuhnya direalisasikan. Pelaksanaan otonomi publik dalam arti penuh mengandaikan partisipan  yang memahami diri mereka sebagai individu yang bebas (otonom secara privat), yang pada gilirannya mengandaikan bahwa mereka dapat membentuk kebebasan individu mereka melalui pelaksanaan otonomi publik. Hubungan equiprimordial ini, Habermas percaya, memungkinkan teori diskursusnya untuk menggabungkan wawasan terbaik dari kaum civic republican dan tradisi liberal klasik demokrasi, yang menemukan ekspresinya pada Rousseau dan Locke, masing-masing (1998a, bab 9).

Habermas (1996b, bab 3) memahami hak kebebasan dan partisipasi politik ini sebagai sistem abstrak dari hak-hak dasar yang dihasilkan oleh refleksi pada sifat legitimasi diskursif (diartikulasikan dalam Prinsip-D) dalam konteks yang dibentuk oleh tuntutan fungsional pada hukum modern (atau "bentuk" hukum positif). Karena hak-hak ini bersifat abstrak, setiap pemerintahan harus lebih jauh menafsirkan dan menyempurnakannya untuk keadaan historis tertentu, mungkin melengkapinya dengan hak kesejahteraan dan lingkungan hidup. Bagaimanapun, sistem hak merupakan seperangkat minimal kondisi institusional normatif untuk setiap tatanan politik modern yang legitim. Sistem hak, dengan kata lain, mengartikulasikan kerangka normatif untuk demokrasi konstitusional, yang mana mekanisme kelembagaan lebih lanjut seperti legislatur dan cabang pemerintahan lainnya harus beroperasi.

Gagasan otonomi publik berarti bahwa legitimasi atas legislasi yang lazim, pada akhirnya harus dapat dilacak ke proses diskursus publik yang kuat yang mempengaruhi pengambilan keputusan formal di badan pembuat Undang-undang. Habermas merangkum persyaratan ini dalam prinsip legitimasi demokrasinya: "hanya undang-undang yang dapat mengklaim legitimasi yang dapat memenuhi persetujuan semua warga negara dalam proses diskursif undang-undang yang pada gilirannya telah terbentuk secara hukum" (1996b, 110). Saat Habermas menjelaskan lebih lanjut, prinsip ini mengartikulasikan persyaratan inti untuk "secara eksternal" melembagakan berbagai tipe diskursus praktis yang relevan untuk pembenaran hukum tertentu. Keputusan tentang hukum biasanya melibatkan kombinasi klaim validitas: tidak hanya klaim kebenaran tentang kemungkinan konsekuensi dari opsi hukum yang berbeda, tetapi juga klaim tentang kebenaran moral (atau keadilan), klaim tentang keaslian opsi yang berbeda dalam kaitannya dengan nilai-nilai bersama dari masyarakat berpemerintahan (polity) dan sejarah, dan klaim pragmatis tentang opsi mana yang layak atau lebih efisien. Hukum yang absah harus lulus berbagai tie pengujian diskursif yang datang dengan masing-masing klaim validitas ini. Habermas juga mengakui bahwa banyak masalah yang melibatkan konflik di antara kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak dapat didamaikan dengan kesepakatan diskursif tentang validitas tetapi hanya melalui proses tawar-menawar yang adil.

Orientasi yang kuat terhadap validitas kognitif ini memenuhi syarat versi Habermas tentang demokrasi deliberatif sebagai teori "epistemis". Ini menempatkan prinsip demokrasinya dalam posisi yang agak membingungkan. Di satu sisi, ia mewakili spesifikasi prinsip diskursus untuk tipe diskursus tertentu (diskursus hukum-politik). Ini membuatnya analog dengan prinsip moral (U), yang menentukan (D) untuk diskursus moral. Sebagai prinsip khusus dari diskursus yang masuk akal, prinsip demokrasi tampaknya memiliki karakter pengandaian yang mengidealkan sejauh mengandaikan kemungkinan pengambilan keputusan yang konsensual dalam politik. Bagi Habermas, diskursus politik yang masuk akal setidaknya harus dimulai dengan anggapan bahwa pertanyaan hukum mengakui prinsip jawaban hak tunggal (1996c, 1491–95), atau setidaknya sekumpulan jawaban yang valid secara diskursif yang mana kompromi yang adil, dapat diterima oleh semua pihak, adalah mungkin. Anggapan yang sangat kognitif dan konsensualis ini telah memantik reaksi bahkan dari para komentator yang simpatik. Satu kesulitan terletak pada asumsi Habermas bahwa dalam diskursus publik tentang isu-isu politik yang kontroversial, warga negara dapat memisahkan kendala moral pada solusi yang dapat diterima, mungkin terbuka untuk konsensus umum, dari pertimbangan etis-politik dan pragmatis, yang mana warga negara yang masuk akal mungkin tidak setuju. Seperti yang telah ditunjukkan oleh berbagai kritikus, perbedaan ini sangat sulit dipertahankan dalam praktik, dan mungkin juga dalam teori (Bohman 1996; McCarthy 1998; Warnke 1999).

Di sisi lain, prinsip demokrasi terletak pada tingkat yang berbeda dari prinsip-prinsip seperti (U), seperti yang ditekankan Habermas sendiri (1996b, 110). Yang terakhir menentukan (D) untuk tipe diskursus praktis ini atau itu, dalam pandangan tuntutan kognitif internal pada pembenaran, sedangkan yang pertama menyatukan semua bentuk diskursus praktis dan menetapkan kondisi pada pelembagaan eksternal mereka. Dari perspektif ini, prinsip demokrasi bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan aspek kognitif diskursus politik (sebagai kombinasi dari berbagai jenis diskursus yang diidealkan) dengan tuntutan realisasi kelembagaan dalam masyarakat yang kompleks. Dengan demikian, prinsip demokrasi seharusnya tidak mengacu pada konsensus, melainkan pada sesuatu seperti praduga kewajaran yang terjamin. Faktanya, di sejumlah tempat Habermas menggambarkan legitimasi demokrasi hanya dalam istilah seperti itu, yang dapat kita parafrasekan sebagai berikut: warga negara dapat menganggap hukum mereka legitim/absah sejauh proses demokrasi, seperti yang diatur dan dilaksanakan secara institusional, menjamin anggapan bahwa hasil adalah produk yang masuk akal dari proses deliberatif yang cukup inklusif dari kehendak-dan-formasi opini (2008, 103). Anggapan hasil yang masuk akal dengan demikian tidak banyak bertumpu pada kapasitas individu warga negara untuk bertindak seperti partisipan diskursus ideal, tetapi lebih pada kewajaran agregat dari "komunikasi tanpa subjek" yang muncul sebagai hasil kolektif dari struktur diskursif —formal dan mode informal mengorganisir diskusi (1996b, 184-86, 301, 341). Ini berarti bahwa demokrasi “terdesentralisasi”, tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh kondisinya sendiri dan tidak lagi didasarkan pada subjek yang kongruen dari diskursus pembuatan-aturan hukum-sendiri (self-legislating discourse).

Habermas menjuluki posisinya sebagai "proseduralisme epistemis." Posisinya bersifat proseduralis karena kewajaran kolektif muncul dari berjalannya proses demokrasi; itu epistemik sejauh proses itu menghasilkan pembelajaran kolektif. Yang terakhir mengandaikan interaksi yang bermanfaat dari tiga arena diskursif utama: komunikasi warga negara yang tersebar dalam masyarakat kewargaan (civil society); “komunikasi massa berbasis-media” di ruang publik politis; dan diskursus pelembagaan pembuat undang-undang. Ketika arena-arena ini bekerja sama dengan baik, masyarakat kewargaan dan ruang publik menghasilkan seperangkat opini publik yang dipertimbangkan yang kemudian memengaruhi pertimbangan pembuat undang-undang (2009). Mengingat ambiguitas di atas dalam status (D), bagaimanapun, orang mungkin ingin mengambil pendekatan yang lebih pragmatis untuk deliberasi demokratis. Pendekatan semacam itu (misalnya, Bohman 1996; McCarthy 1998) memahami deliberasi sebagai masalah penyelesaian perselisihan mengenai validitas kognitif dari usulan-usulan yang bersaing daripada masalah pengembangan kerangka hukum yang mana warga negara dapat terus bekerja sama meskipun ada ketidaksepakatan tentang apa yang benar atau baik.

3.5 Kosmopolitanisme Habermas

Teori diskursus Habermas juga berimplikasi pada mode deliberasi internasional—oleh karena itu untuk perdebatan tentang potensi tatanan politik kosmopolitan. Untuk memahami posisinya dalam perdebatan ini, ada baiknya untuk membuat sketsa tipologi teori-teori utama. Diskusi saat ini bergerak di sepanjang empat sumbu utama: politik atau sosial, institusional atau noninstitusional, demokratis atau nondemokratis, dan transnasional atau kosmopolitan. Teori diinformasikan oleh asumsi latar belakang tentang ruang lingkup kosmopolitanisme: apakah itu moral sejauh menyangkut individu dan peluang hidup mereka, sosial sejauh itu membuat asosiasi dan lembaga menjadi sentral, atau politis sejauh itu berfokus khususnya lembaga-lembaga hukum dan politik, termasuk kewarganegaraan. Posisi Habermas dalam perdebatan ini adalah moderat. Ini tidak minimalis dalam pengertian hukum masyarakat Rawls, yang menyangkal perlunya tatanan hukum atau politik internasional yang kuat, apalagi yang demokratis. Juga bukan posisi yang sangat demokratis, seperti tatanan kosmopolitan versi David Held. Namun, baik Held maupun Habermas memiliki penekanan yang sama pada munculnya hukum publik internasional sebagai pusat tatanan politik global yang adil.

Dalam esainya “Kant's Idea of Perpetual Peace: At Two Hundred Years' Historical Remove” (1998a, bab 7; edisi Jerman, 1996a, bab 7), Habermas optimis tentang prospek tatanan politik global sebagai kelanjutan bentuk demokrasi berdasarkan hak asasi manusia khas negara-bangsa. Demokrasi dalam model negara-bangsa menghubungkan tiga gagasan sentral: bahwa komunitas politik yang tepat adalah komunitas yang terbatas; bahwa ia memiliki otoritas politik tertinggi; dan bahwa otoritas ini memungkinkan otonomi politik, sehingga para anggota demos dapat dengan bebas memilih kondisi asosiasi mereka sendiri dan membuat aturan perundang-undangan untuk diri mereka sendiri. Inti normatif dari konsepsi demokrasi ini terletak pada konsepsi kebebasan yang diartikulasikan dalam kondisi ketiga: bahwa subjek hambatan hukum adalah bebas justru dalam keadaan menjadi pembuat undang-undang. Sebelumnya kami telah memperkenalkan argumen Habermas untuk "decentering" demokrasi di bawah kondisi pluralisme dan kompleksitas. Jika ini berlaku untuk negara modern, maka tampaknya demokrasi kosmopolitan akan mengambil tren ini lebih jauh. Namun, ketika membahas legitimasi "pasca-nasional", Habermas dengan jelas menjadikan penentuan nasib sendiri oleh demos tunggal sebagai inti normatif fundamental dari cita-cita (atau ideal-ideal) demokrasi.

Bagi Held (1995), demokrasi kosmopolitan jelas bersambung dengan demokrasi, setidaknya dalam bentuk, seperti yang diwujudkan dalam negara. Held tidak hanya menunjukkan bagaimana masyarakat internasional sudah dilembagakan dengan baik di luar sistem negosiasi yang Habermas jadikan sentral, ia lebih lanjut mengakui bahwa “individu semakin memiliki identitas yang kompleks dan berlapis-lapis, sesuai dengan globalisasi kekuatan ekonomi dan konfigurasi ulang kekuatan politik.” Identitas yang berpotensi tumpang tindih tersebut memberikan dasar untuk partisipasi dalam masyarakat sipil global, dalam organisasi non-pemerintah (Ornop), dan dalam asosiasi, gerakan, dan organisasi sipil transnasional lainnya yang menciptakan peluang untuk partisipasi politik di tingkat global. Pendekatan Held dengan demikian memiliki tiga keuntungan besar: penekanan pada berbagai institusi; banyak tingkatan dan tempat untuk kegiatan demokrasi bersama; dan fokus pada perlunya aktor politik terorganisir dalam masyarakat kewargaan internasional untuk memainkan peran penting dalam sistem demokrasi global. Untuk semua keuntungan ini, demos yang membuat aturan perundang-undangan sendiri (self-legislating) muncul kembali dalam desakan Lockean secara eksplisit Held bahwa “manusia tiruan di pusat negara modern harus dipahami kembali dalam kerangka hukum publik kosmopolitan.” Untuk menyusun kembali komunitas sebagai berdaulat, Held berpendapat bahwa demoi harus tunduk pada kehendak demos global: “hukum kosmopolitan menuntut subordinasi kedaulatan regional, nasional dan lokal ke kerangka hukum yang menyeluruh.”

Bertentangan dengan esai sebelumnya tentang Kant's Idea of Perpetual Peace: At Two Hundred Years' Historical Remove, Habermas sekarang telah menarik diri dari konsepsi kosmopolitanisme Held yang kuat. Dalam The Postnational Constellation (2001a; German ed., 1998c) dan esai terbaru tentang Uni Eropa, Habermas berusaha mengakomodasi pluralisme institusional yang lebih luas. Tetap saja, dia tidak bisa memiliki keduanya. Ketika mempertimbangkan berbagai bentuk tatanan politik transnasional yang terpilah dan terdistribusi, ia menggambarkannya dalam istilah non-demokratis, sebagai “sistem negosiasi” yang diatur oleh tawar-menawar yang adil. Ini karena dia jelas, dan memang mengejutkan, menjadikan penentuan nasib sendiri melalui undang-undang sebagai kriteria penentu demokrasi. Akibatnya, di tingkat transnasional, bentuk fundamental dari aktivitas politik adalah negosiasi antar negara demokrasi. Demos ini alih-alih adalah tatanan transnasional kewargaan (civic), ketimbang politis, tatanan trans-nasional. Meskipun demikian, Habermas menghubungkan kemungkinan "demokrasi pasca-nasional" dengan identitas politik bersama dan karena itu, yang tanpanya, menurutnya, kita hanya memiliki solidaritas "moral" daripada solidaritas "kewargaan". Menurut Habermas, bahkan jika komunitas politik semacam itu didasarkan pada prinsip-prinsip universal konstitusi demokratis, “itu masih membentuk identitas kolektif, dalam arti bahwa ia menafsirkan dan mewujudkan prinsip-prinsip ini berdasarkan sejarahnya sendiri dan dalam konteks bentuk kehidupannya yang khusus” (2001a, 117, 107). Tanpa dasar etika yang sama, institusi di luar negara harus melihat ke “basis legitimasi yang tidak terlalu menuntut dalam bentuk-bentuk organisasi dari sistem negosiasi internasional”, proses deliberatif yang akan dapat diakses oleh berbagai publik dan organisasi dalam masyarakat kewargaan internasional (ibid., 109).

Baru-baru ini, ia berargumen bahwa institusi politik pengatur di tingkat global dapat efektif hanya jika mereka mengambil aspek pemerintahan tanpa pemerintah, bahkan jika hak asasi manusia sebagai status yuridis harus dikonstitusionalisasikan dalam sistem internasional (2004, 130–31). Seperti dalam kasus minimalis Allen Buchanan, standar legitimasi yang tidak terlalu menuntut ini tidak mencakup kapasitas untuk mempertimbangkan istilah-istilah yang mengatur otoritas politik dari sistem negosiasi itu sendiri. Posisi ini transnasional, tetapi pada akhirnya nondemokratis, terutama karena membatasi demokrasi deliberatif yang terlalu kuat pada tingkat negara-bangsa. Kriteria demokrasi yang lebih kuat tidak diterapkan di luar negara-bangsa, yang mana pemerintahan hanya secara tidak langsung demokratis dan diserahkan kepada negosiasi dan jaringan kebijakan. Lebih jauh lagi, komitmen terhadap hak asasi manusia sebagai status hukum mendorong Habermas ke arah bentuk hukum fundamental dari kosmopolitanisme politik Held. Saat ini, pandangan Habermas tentang politik kosmopolitan belum sepenuhnya stabil. Tapi jelas dia berpikir bahwa tatanan kosmopolitan harus bersifat politis (dan bukan hanya yuridis); kelembagaan (dan tidak hanya diorganisir secara informal atau oleh jaringan kebijakan); transnasional (sejauh itu seperti Uni Eropa, tatanan tatanan politik dan hukum); dan dalam arti tertentu demokratis atau setidaknya tunduk pada norma-norma demokrasi. Namun, agar dia dapat sepenuhnya mengadopsi karakteristik terakhir dari sistem internasional ini, dia harus memikirkan kembali konsepsinya tentang demokrasi sebagai legilsasi-diri (self-legislation). Jika dia tidak melakukannya, tampaknya mustahil untuk memasukkan demokrasi ke dalam tatanan kosmopolitan transnasional daripada tatanan kosmopolitan Kantian sepenuhnya.

4. Dialog antara Naturalisme dan Agama

Pada topik agama, Habermas mengambil posisi bernuansa yang terus berkembang. Dalam Theory of Communicative Action, ia memperlakukan agama terutama dari perspektif sosiologis, sebagai mode integrasi sosial kuno. Sejak itu, bagaimanapun, ia telah mengeksplorasi peran agama dalam politik, di satu sisi, dan hubungan antara mode diskursus agama dan filsafat, di sisi lain.

Sebagai seorang filsuf, Habermas telah menggambarkan pendekatannya sebagai "ateisme metodologis," yang ia maksudkan semacam eksperimen dalam demitologisasi radikal yang hasilnya tetap terbuka. Mengambil sikap ini tidak membuatnya bermusuhan atau mengabaikan iman dan refleksi teologis; sebaliknya, ia menyatakan bahwa "potensi makna yang sangat diperlukan dilestarikan dalam bahasa agama"—potensi yang, setidaknya sejauh ini, belum sepenuhnya direduksi menjadi alasan filosofis dan sekuler (2002, 77, 162). Pada saat yang sama, Habermas menekankan perbedaan antara mode diskursus teologis dan filosofis: sebagai refleksi iman, teologi tidak boleh meninggalkan basisnya dalam pengalaman dan ritual keagamaan. Akibatnya, ia menolak upaya apologetik untuk membangkitkan keyakinan agama dari premis-premis filosofis. Sebaliknya, para filsuf harus memuaskan diri mereka sendiri dengan "transendensi dari dalam" yang diberikan dengan kekuatan klaim kebenaran dan kebenaran moral yang melampaui konteks.

Habermas mengembangkan lebih lanjut pandangannya tentang hubungan antara filsafat dan iman dalam dialognya dengan Kardinal Ratzinger (yang akan menjadi Paus Benediktus XVI)(2006b; German ed., 2005a; lihat juga 2008, bab 4). Habermas mencatat berapa banyak filsafat Barat berutang pada warisan Kristennya, yang diasimilasi oleh para filsuf dengan mengembangkan gagasan tentang “tanggung jawab, otonomi, dan pembenaran; sejarah dan mengingat; awal baru, inovasi, dan pengembalian; keterasingan, internalisasi, dan inkarnasi; individualitas dan komunitas” (2006b, 44; trans. diubah). Gagasan Kristen tentang manusia yang diciptakan menurut gambaran Tuhan telah menjadi sangat penting bagi teori moral-politik Barat, yang menerjemahkan gagasan keagamaan ke dalam pandangan sekuler tentang pribadi-pribadi yang setara dalam martabat dan layak dihormati tanpa syarat (ibid., 45). Namun, asimilasi ide-ide Kristen ini tidak menghilangkan substansinya. Kenyataannya, komunitas agama masih menyimpan potensi makna yang dapat dipelajari oleh filsafat —potensi yang telah “hilang di tempat lain dan tidak dapat dipulihkan hanya dengan pengetahuan profesional para ahli” (ibid., 43). Sebagai contoh, ia mengacu pada "kemungkinan ekspresi yang berbeda" dan "sensitivitas" mengenai "kehidupan yang tersesat, patologi sosial, kegagalan proyek kehidupan individu, dan deformasi hubungan manusia yang salah" (ibid., trans.). Dengan mengakui bahwa cara ekspresi religius dapat menyimpan konten kognitif integral yang tidak habis oleh translasi sekuler, Habermas tampaknya telah menemukan batas-batas eksperimen metodologisnya dalam demitologisasi. Karena itu, ia menyerukan dialog yang mana bentuk-bentuk pemikiran sekuler dan agama saling menginformasikan dan belajar satu sama lain.

Poin luas tentang hubungan antara cara berpikir religius dan sekuler ini mengalir langsung ke posisi yang diambil Habermas dalam "Religion in the Public Sphere" tentang hubungan antara agama dan rasionalitas publik (2006a; German ed., 2005b, bab 5)  Di tengah perdebatan, adalah tugas warga negara yang beriman untuk menerjemahkan klaim berbasis agama mereka ke dalam rasionalitas sekuler yang dapat diakses publik. Habermas mempertaruhkan posisinya antara John Rawls dan Robert Audi, di satu sisi, dan Paul Weithmann dan Nicholas Wolterstorff, di sisi lain.

Audi menempatkan beban terberat pada orang beriman, mengharuskan mereka untuk hanya mendukung undang-undang yang memiliki alasan publik yang memadai; setiap warga negara dengan demikian memiliki kewajiban untuk menerjemahkan argumen-argumen berbasis agama ke dalam argumen-argumen sekuler. Dalam pernyataan terakhirnya tentang masalah ini, Rawls (1997) menyajikan “pandangan luas” rasio publik, yang menurutnya warga negara dapat memperkenalkan rasionalitas dari doktrin komprehensif yang masuk akal (yang dapat mencakup pandangan agama), tanpa tranlasi, kapan saja ke dalam diskursus publik tentang esensi konstitusional, asalkan di beberapa titik di masa depan rasionalitas ini diterjemahkan ke dalam argumen publik yang dapat diakses secara umum. Bagi Habermas, Audi dan Rawls meremehkan kekuatan eksistensial keyakinan beragama —bagaimana keyakinan semacam itu, setidaknya bagi sebagian penganut, dapat memberikan satu-satunya dasar yang cukup bagi pandangan politik mereka, bahkan ketika alasan publik juga dianggap mendukung pandangan yang bersangkutan. Tuntutan agar orang beriman menerjemahkan pandangan agama mereka yang komprehensif ke dalam pembenaran sekuler membebankan beban yang tidak semestinya pada orang beriman. Tuntutan untuk translasi, sebaliknya, hanya berkaitan dengan politisi dan pejabat publik dengan kekuatan institusional untuk membuat, menerapkan, dan melaksanakan hukum.

Sebagaimana pembacaan Habermas terhadap Weithmann dan Wolterstorff, kedua pemikir ini mengambil garis yang berlawanan dari Rawls dan Audi, membuka diskursus publik terhadap argumen agama yang tidak diterjemahkan. Weithmann mengharuskan orang beriman untuk memperdebatkan posisi mereka agar baik untuk semua orang, tetapi dia mengizinkan mereka untuk membingkai argumen seperti itu dalam konsepsi keadilan berbasis agama mereka. Wolterstorff bahkan menghilangkan kendala ringan ini. Kedua pemikir tersebut tidak memaksakan filter institusional apa pun: tidak hanya di ruang publik tetapi juga di aula kekuasaan, rasionalitas agama cukup untuk membenarkan keputusan hukum dan administratif yang memaksa. Langkah ini, menurut Habermas, membatalkan prinsip netralitas yang mendasari demokrasi konstitusional modern, tentang pemisahan gereja dan negara: idea-idea bahwa “semua keputusan politik yang dapat ditegakkan harus dirumuskan dalam bahasa yang sama-sama dapat diakses oleh semua warga negara, dan harus mungkin untuk membenarkan mereka dalam bahasa ini juga” (2006a, 12). Memang, Wolterstorff tampaknya menolak ide kunci di balik legitimasi demokrasi, yaitu anggapan bahwa prosedur dan keputusan harus beroperasi dalam kerangka latar belakang prinsip-prinsip yang dapat diterima oleh semua warga negara. Akibatnya, tidak jelas bagaimana demokrasi harus mempertahankan legitimasinya dan menghindari pertikaian tanpa akhir dari faksi-faksi yang hanya memperebutkan kekuasaan.

Di latar belakang perdebatan ini terdapat perdebatan mengenai beban kewarganegaraan. Orang beriman mungkin keberatan bahwa Habermas masih menempatkan beban asimetris pada mereka. Bagaimanapun, mereka pada akhirnya harus, pada tingkat institusional, beralih ke cara pembenaran sekuler, sedangkan orang yang tidak beriman tidak perlu melakukan gerakan yang sama ke arah pembenaran agama. Sebagai tanggapan, Habermas telah menawarkan hipotesis bahwa baik yang beriman maupun yang tidak beriman terlibat dalam proses pembelajaran yang saling melengkapi yang mana masing-masing pihak dapat belajar dari yang lain. Sebagai proses pembelajaran kooperatif, penerjemahan membuat tuntutan di kedua sisi: orang beriman harus mencari argumen yang dapat diakses publik, sedangkan orang yang tidak beriman harus mendekati agama sebagai sumber makna potensial, karena menyimpan kebenaran tentang keberadaan manusia yang relevan untuk semua.

Sebagai penutup, ada tiga kemungkinan perluasan jawaban Habermas kepada orang-orang beriman. Pertama, orang mungkin mencatat bahwa di Barat setidaknya, orang Kristen tidak begitu terbebani seperti yang orang pikirkan. Lagi pula, beberapa gagasan sekuler terpenting yang menginformasikan demokrasi konstitusional —gagasan tentang hak individu yang tidak dapat dicabut, kebebasan, dan sejenisnya— sebagian berasal dari agama Kristen. Kedua, orang mungkin menunjukkan bahwa tugas penerjemahan terbalik pada orang yang tidak beriman akan melibatkan beban yang jauh lebih berat daripada beban pada orang beriman, terutama mengingat poin pertama. Ini karena beberapa alasan keagamaan, meskipun mereka mungkin memiliki kejelasan permukaan (surface intelligibility) sebagai proposisi untuk orang-orang yang tidak beriman, tidak dapat dihargai atau ditimbang secara memadai selain dari pengalaman yang berkepanjangan dalam menghayati iman. Meskipun tetap penting bagi orang yang tidak beriman untuk belajar dari orang beriman, orang mungkin harus mengharapkan orang beriman memiliki keuntungan epistemik dalam proses penerjemahan, yaitu, proses menentukan apakah konten sekuler yang diberikan secara memadai memberikan alasan-alsan berbasis agama atau tidak. Jadi jika orang beriman memiliki beban yang lebih besar, maka itu masuk akal: orang beriman sebenarnya berada dalam posisi yang lebih baik untuk membuat translasi.

Orang mungkin keberatan bahwa poin kedua mengandaikan adanya asimetri antara rasionalitas sekuler publik, yang pada prinsipnya dapat diakses oleh kedua belah pihak, dan alasan agama, yang hanya dan  dapat langsung diakses oleh orang-orang beriman. Namun, keberatan tersebut mendukung posisi Habermas, dan dengan demikian mengarah pada perluasan ketiga dari pandangannya. Keberatan tersebut mempertanyakan asumsi bahwa setiap orang pada prinsipnya harus memiliki akses yang sama terhadap nalar sekuler. Begitu kita mempertanyakan asumsi itu, tidak jelas mengapa nalar sekuler harus mendapat tempat istimewa dalam diskursus politik. Namun, menolak posisi publik dari nalar sekuler, setidaknya dalam masyarakat berpemerintahan (polity) yang pluralistik, berarti tidak ada alasan publik. Sebaliknya, perspektif setiap warga negara, agama atau tidak, adalah komprehensif dan agak buram bagi orang lain. Namun, dalam hal ini, setiap warga negara sekarang menghadapi beban penerjemahan yang hanya dapat dipikulnya dengan bantuan lawan bicara. Jadi orang beriman tidak dibebaskan dari tranlasi. Sebaliknya, semua orang sekarang dibebani oleh translasi. Yang pasti, orang juga dapat menghilangkan asimetri antara akses ke nalar sekuler dan agama dengan membuat setiap tipe diskursus sama-sama dapat diakses oleh semua pada prinsipnya. Tetapi pandangan itu hampir tidak adil terhadap impor eksistensial dari pengalaman religius, dan karenanya harus ditolak oleh orang-orang yang beriman.*

Bibliografi Habermas

1953. Mit Heidegger gegen Heidegger denken. Zur Veröffentlichung von Vorlesungen aus dem Jahre 1935. Frankfurter Allgemeine Zeitung. July 25, 1953. [English, 1977]

1954. Das Absolute und das Geschichte. Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken. Ph.D. dissertation, Bonn University.

1962. Strukturwandel der Öffentlichkeit. Darmstadt: Luchterhand. [English, 1989]

1967. Zur Logik der Sozialwissenschaften. Philosophische Rundschau 14, Beiheft 5 (1966–67). Reprint: Zur Logik der Sozialwissenschaften. Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1970. [English, 1988a]

1968a. Technik und Wissenschaft als Ideologie. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1970, 1973b]

1968b. Erkenntnis und Interesse. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1971b]

1969. Protestbewegung und Hochschulreform. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1970]

1970. Toward a Rational Society, J. J. Shapiro (trans.). Boston: Beacon. [German, 1968a, 1969]

1971a. Theorie und Praxis. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1973b]

1971b. Knowledge and Human Interests. J. J. Shapiro (trans.). Boston: Beacon. [German, 1968b]

1971/2001. Reflections on the linguistic foundations of sociology: The Christian Gauss Lectures (Princeton University, February-March 1971). In Habermas, On the Pragmatics of Social Interaction, B. Fultner (trans.). Cambridge, MA: MIT Press, 2001. 1–103. [German, 1984b, chap. 1]

1973a. Wahrheitstheorien. In H. Fahrenbach (ed.), Wirklichkeit und Reflexion. Pfüllingen: Neske. 211–265. Reprint: 1984b, chap. 2.

1973b. Theory and Practice, J. Viertel (trans.). Boston: Beacon. [German, 1968a, 1971a]

1973c. Nachwort. Appended to subsequent editions of Habermas, 1968a. [English, 1973d]

1973d. A postscript to Knowledge and Human Interests. Philosophy of the Social Sciences 3: 157–189. [German, 1973c]

1973e. Legitimationsprobleme im Spätkapitalismus. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1975]

1975. Legitimation Crisis, T. McCarthy (trans.). Boston: Beacon. [German, 1973e]

1976a. Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1979]

1976b. Was heißt Universalpragmatik? In K.-O. Apel (ed.), Sprachpragmatik und Philosophie. Frankfurt am Main: Suhrkamp. 174–272. [English, 1979, chap. 1]

1977. Martin Heidegger, on the publication of lectures from the year 1935. Graduate Faculty Philosophy Journal 6, no. 2: 155–180. [German, 1953]

1979. Communication and the Evolution of Society, T. McCarthy (trans.) Boston: Beacon. [German, 1976ab]

1981. Theorie des kommunikativen Handelns. Vol. 1: Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung. Vol. 2: Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1984a, 1987]

1983. Moralbewußtsein und kommunikatives Handeln. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1990a]

1984a. The Theory of Communicative Action. Vol. I: Reason and the Rationalization of Society, T. McCarthy (trans.). Boston: Beacon. [German, 1981, vol. 1]

1984b. Vorstudien und Ergänzungen zur Theorie des kommunikativen Handelns. Frankfurt am Main: Suhrkamp.

1986a. Gerechtigkeit und Solidarität: Eine Stellungnahme zur Diskussion über “Stufe 6”. In W. Edelstein and G. Nunner-Winkler (eds), Zur Bestimmung der Moral. Frankfurt am Main: Suhrkamp. 291–318. Reprint: 1991a, chap. 3. [English, 1990b]

1986b. Entgegnung. In A. Honneth and H. Joas (eds), Kommunikatives Handeln. Frankfurt am Main: Suhrkamp. 327–405. [English, 1991b]

1987. The Theory of Communicative Action. Vol. II: Lifeworld and System, T. McCarthy (trans.). Boston: Beacon. [German, 1981, vol. 2]

1988a. On the Logic of the Social Sciences, S. W. Nicholsen and J. A. Stark (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1967]

1988b. Nachmetaphysisches Denken. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1992a]

1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, T. Burger and F. Lawrence (trans). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1962]

1990a. Moral Consciousness and Communicative Action, C. Lenhardt and S. W. Nicholsen (trans). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1983]

1990b. Justice and solidarity: On the discussion concerning stage 6. In T. E. Wren (ed.), The Moral Domain. Cambridge, MA: MIT Press. 224–251, S. W. Nicholsen (trans.). [German, 1986a]

1990c. Die nachholende Revolution. Frankfurt am Main: Suhrkamp.

1991a. Erläuterungen zur Diskursethik. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1993]

1991b. A reply. In A. Honneth and H. Joas (eds), Communicative Action, J. Gaines and D. L. Jones (trans.). Cambridge, MA: Polity. 214–264. [German, 1986b]

1991c. Einen unbedingten Sinn zu retten ohne Gott, ist eitel: Reflexionen über einen Satz von Max Horkheimer. In M. Lutz-Bachmann and G. Schmidt Noerr (eds), Kritischer Materialismus. Munich. 125–142. [English, 1993, chap. 4]

1992a. Postmetaphysical Thinking, W. M. Hohengarten (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1988b]

1992b. Faktizität und Geltung. Beiträge zur Diskurstheorie des Rechtes und des demokratischen Rechtsstaats. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1996b]

1993. Justification and Application, C. P. Cronin (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1990c, 1991ac]

1996a. Die Einbeziehung des Anderen. Studien zur politischen Theorie. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 1998a]

1996b. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, W. Rehg (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1992b]

1996c. Reply to symposium participants, Benjamin N. Cardozo School of Law. Cardozo Law Review 17: 1477–1558, W. Rehg (trans.); with German text following: Replik auf Beiträge zu einem Symposion der Benjamin N. Cardozo School of Law, 1559–1643. English reprint in M. Rosenfeld and A. Arato (eds), Habermas on Law and Democracy (Berkeley: University of California Press, 1998), 381–452. German reprint in Habermas 1996a, 309–398.

1998a. Inclusion of the Other: Studies in Political Theory, C. Cronin and P. DeGreiff (eds). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1996a]

1998b. On the Pragmatics of Communication, M. Cooke (ed.) Cambridge, MA: MIT Press. [Collected from various German sources]

1998c. Die postnationale Konstellation. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 2001a]

1999a. Wahrheit und Rechtfertigung. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 2003a]

1999b. Rationalität und Verständigung. Sprechakttheoretische Erläuterungen zum Begriff der kommunikativen Rationalität. In Habermas, 1999a, chap. 2. [English, 1998b, chap. 7]

2000. Nach dreißig Jahren. Bemerkungen zu Erkenntnis und Interesse. In Müller-Doohm, ed. (2000), 12-20 (see Other Works Cited, below)

2001a. The Postnational Constellation, M. Pensky (trans., ed.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1998c]

2001b. Die Zukunft der menschlichen Natur. Auf dem Weg zu einer liberalen Eugenik? Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 2003b]

2002. Religion and Rationality: Essays on Reason, God, and Modernity, E. Medieta (ed.). Cambridge, MA: MIT Press. [Collected from various German sources]

2003a. Truth and Justification, B. Fultner (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. [German, 1999a]

2003b. The Future of Human Nature, W. Rehg, M. Pensky, and H. Beister (trans.). Cambridge: Polity. [German, 2001b]

2004. Der gespaltene Westen. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 2006c]

2005a. Vorpolitische Grundlagen des demokratischen Rechtsstaates? In J. Habermas and J. Ratzinger, Dialetik der Säkularisierung: Über Vernunft und Religion, F. Schuller (ed.). Freiburg: Herder. 15–37. Reprint: 2005b, chap. 4. [English, 2006b; 2008, chap. 4]

2005b. Zwischen Naturalismus und Religion. Frankfurt am Main: Suhrkamp. [English, 2008]

2006a. Religion in the public sphere. European Journal of Philosophy 14: 1–25, J. Gaines (trans.). [German, 2005b, chap. 5; English also available in 2008, chap. 5]

2006b. Pre-political foundations of the democratic constitutional state? In J. Habermas and J. Ratzinger, The Dialectics of Secularization: On Reason and Religion, B. McNeil (trans.). San Francisco: Ignatius. 19–52. [German, 2005a]

2006c. The Divided West, C. Cronin (trans.). Cambridge: Polity. [German, 2004]

2008. Between Naturalism and Religion, C. Cronin (trans.). Cambridge: Polity. [German, 2005b]

2009. Political Communication in Media Society: Does Democracy Still Have an Epistemic Dimension? The Impact of Normative Theory on Empirical Research. In Europe: The Faltering Project, C. Cronin (trans.), Cambridge: Polity. 138–183.

Literatur Sekunder

Apel, Karl-Ott, 1990. Diskurs und Verantwortung, Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Baynes, Kenneth, 1995. “Democracy and the Rechtsstaat: Remarks on Habermas's Faktizität und Geltung,” in S. White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press, 201–232.

Benhabib, Seyla, 1992. Situating the Self, New York: Routledge.

Benhabib, Seyla, and Fred Dallmayr (eds.), 1990. The Communicative Ethics Controversy, Cambridge, MA: MIT Press.

Bohman, James, 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and Democracy, Cambridge, MA: MIT Press.

Bohman, James, 1999. “Theories, practices, and pluralism: A pragmatic interpretation of critical social science,” Philosophy of the Social Sciences, 28: 459–480.

Bohman, James, 2000. “Demokratischer und methodologischer Pluralismus: Eine pragmatische Interpretation der kritischen Forschung,” in Müller-Doohm (ed.) 2000, 299-327.

Buchanan, Allen, 2004. Justice, Legitimacy, and Self-Determination, Oxford: Oxford University Press.

Dews, Peter (ed.), 1999. Habermas: A Critical Reader, Malden, MA: Blackwell.

Forst, Rainer, 2012. The Right to Justification, New York: Columbia University Press.

Fraser, Nancy, 1985. “What's critical about critical theory? The case of Habermas and gender,” New German Critique, 35 (Spring-Summer): 97–131.

Gottschalk-Mazouz, Niels, 2000. Diskursethik, Berlin: Akademie.

Günther, Klaus, 1993. The Sense of Appropriateness, J. Farrell (trans.), Albany: SUNY Press.

Heath, Joseph, 1998. “What is a validity claim?,” Philosophy and Social Criticism, 24(4): 23-41.

Heath, Joseph, 2001. Communicative Action and Rational Choice, Cambridge, MA: MIT Press.

Heidegger, Martin, 1959. An Introduction to Metaphyics, R. Manheim (trans.), New Haven: Yale University Press.

Held, David, 1995. Democracy and the Global Order. Stanford: Stanford University Press.

Horkheimer, Max, and Theodor W. Adorno, 2003. Dialectic of Enlightenment, G. Schmid Noerr (ed.), E. Jephcott (trans.), Stanford: Stanford University Press.

Kant, Immanuel, 1785. Grundlegung der Metaphysik der Sitten (English: Grounding for the Metaphysics of Morals, J. W. Ellington (trans.), Indianapolis: Hackett, 1983.)

Lafont, Cristina, 1999. The Linguistic Turn in Hermeneutic Philosophy, J. Medina (trans.), Cambridge, MA: MIT Press.

McCarthy, Thomas, 1978. The Critical Theory of Jürgen Habermas, Cambridge, MA: MIT Press.

McCarthy, Thomas, 1991. Ideals and Illusions, Cambridge, MA: MIT Press.

McCarthy, Thomas, 1998. “Legitimacy and diversity: Dialectical reflections on analytical distinctions,” in Rosenfeld and Arato (1998), 115–153.

Mead, George Herbert, 1962. Mind, Self, and Society from the Standpoint of a Social Behaviorist, Chicago: University of Chicago Press, 1934; Charles W. Morris, 1962.

Meehan, Johanna (ed.), 1995. Feminists Read Habermas, New York: Routledge.

Müller-Doohm, Stefan (ed.), 2000. Das Interesse der Vernunft: Rückblicke auf das Werk von Jürgen Habermas seit “Erkenntnis und Interesse”, Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Ott, Konrad, 2004. “Noch Einmal: Diskursethik,” in N. Gottschalk-Mazouz (ed.), Perspektiven der Diskursethik, Würzburg: Königshausen and Neumann, 143–173.

Rawls, John, 1997. “The idea of public reason: postscript,” in J. Bohman and W. Rehg (eds.), Deliberative Democracy: Essays on Politics and Reason, Cambridge, MA: MIT Press, 131–141.

Rehg, William, 1997. “Reason and rhetoric in Habermas's theory of argumentation,” in W. Jost and M. J. Hyde (eds.), Rhetoric and Hermeneutics in Our Time, New Haven: Yale University Press. 358–377.

Rehg, William, 2003. “Discourse ethics,” in E. Wyschogrod and G. P. McKenny (eds.), The Ethical, Malden, MA; Blackwell. 83–100.

Rehg, William, 2004. “Discourse ethics and individual conscience,” in N. Gottschalk-Mazouz (ed.), Perspektiven der Diskursethik, Würzburg: Königshausen and Neumann. 26–40.

Rehg, William, 2009. Cogent Science in Context: The Science Wars, Argumentation Theory, and Habermas, Cambridge: MIT Press.

Rehg, William, 2011. “Discourse ethics,” in B. Fultner (ed.), Jürgen Habermas: Key Concepts, Durham: Acument, 115–139.

Rosenfeld, Michel, and Andrew Arato (eds), 1998. Habermas on Law and Democracy, Berkeley: University of California Press.

Schomberg, René vom, and Kenneth Baynes (eds.), 2002. Discourse and Democracy: Essays on Habermas's ‘Between Facts and Norms’, Albany: SUNY Press.

Taylor, Charles, 1989. Sources of the Self , Cambridge, MA: Harvard University Press.

Warnke, Georgia, 1999. Legitimate Differences, Berkeley: University of California Press.

Wellmer, Albrecht, 1991. “Ethics and dialogue: Elements of moral judgment in Kant and discourse ethics,” in A. Wellmer, The Persistence of Modernity, D. Midgley (trans.). Cambridge, MA: MIT Press. 113–231.

White, Stephen K., 1989. The Recent Work of Jürgen Habermas, Cambridge: Cambridge University Press.

White, Stephen K. (ed.), 1995. The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge: Cambridge University Press.

Wiggershaus, Rolf, 2004. Jürgen Habermas, Reibeck Bei Hamburg: Rowohlt.

Wingert, Lutz, 1993. Gemeinsinn und Moral, Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Young, Iris Marion, 1990. Justice and the Politics of Difference, Princeton: Princeton University Press.




Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)