Opini Terbaru
Menolak SDGs Desa?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Aturan hukum mengenai prioritas penggunaan Dana Desa 2021 sudah ditetapkan. Permendesa No. 13/2020 menjadi produk hukum legalnya.
Substansi hukum Permendesa kali ini cukup rumit. Terselip satu gagasan utama yakni Sustainable Development Goals (SDGs), yang menggunakan istilah bahasa Inggris. Hati-hati keliru dalam pengucapan ketika di Desa, karena SDGs bukan SD Inpres masa Soeharto. Dan Permendesa itu juga memuat gagasan aplikasi digital SDGs Desa, terutama pada fase perencanaan dan pelaporan.
Posisi tulisan ini melihat kembali gagasan Datakrasi (datacracy) melalui aturan hukum dan dampaknya pada pendamping Desa. Anda tidak akan menemukan jawaban atas pertanyaan "apakah SDGs itu, mengapa SDGs diusung melalui Dana Desa, bagaimana cara memperoleh uang Bantuan Langsung Tunai (BLT), Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan proyek semacam itu"?
Tetapi opini ini bertanya dengan kalimat lain: "Bagaimana jika Dana Desa 2021 dilihat dari perspektif Datakrasi? Bagaimana jika pendamping Desa berubah menjadi pendamping Data?
Datakrasi
Titik berdiri tulisan ini berupaya pindah jalur ke tradisi Teori Kritis. Habermas pada masa pandemi Covid-19 menyatakan, saat ini kita hidup dalam ketidakpastian. Pemerintah bertindak serba ragu-ragu karena pandemi meluas disertai dengan pengetahuan yang tidak kita ketahui. Oleh karenanya, kita menyadari beberapa pejabat pemerintahan seperti tidak tahu dan lebih sering ragu atas keputusan yang diambilnya.
Opini ini tidak tergerak untuk menyalahkan pemerintah dalam menyikapi pandemi, tetapi menerima sikap keraguan itu sebagaimana adanya. Tradisi Teori Kritis yang masuk kedalam arus perbincangan filsafat dan sosiologi hukum, fokus pada hubungan antara Sistem dan Dunia-Kehidupan (lebenswelt).
Habermas, melalui karyanya tentang Between Facts and Norms, menyoal dampak sosiologis dari presuposisi normatif yang terselip pada praktik-praktik hukum.
Bagaimana jika praktik-praktik hukum prioritas Dana Desa 2021 dipahami dengan cara demikian? Dampak sosiologisnya antara lain aktor-aktor pada Sistem (kekuasaan negara: parlemen, administrasi, dan yudisial) kompak menyepakati BLT DD sebagai jurus pamungkas, dan dampak selanjutnya ialah Desa mengalami rasionalisasi.
Rasionalisasi dalam bentuk konkretnya antara lain kesibukan pemerintah Desa mendata keluarga "miskin", sesekali bentur dengan warganya sendiri yang tetiba "miskin karena pandemi". Dan pendamping Desa atau pendamping proyek (anti) kemiskinan akan berdebat satu sama lain dengan Pemerintah Desa karena ketidaksinkronan data.
Melalui amatan "linguistic turn" (pergeseran dari struktur sosial ke penggunaan bahasa) terhadap rangkaian kebijakan PKTD, BLT DD dan SDGs masuk ke Desa, maka sebenarnya antar ketiganya tidak ada hubungan satu sama lain. Satu sama lain punya pelanggan sendiri (subscriber).
Pertama, PKTD punya pelanggan tetap (subscriber) yakni pekerja di Desa dan berhak memperoleh gaji dari pekerjaannya itu.
Kedua, BLT-DD punya pelanggan tetap (subscriber) yakni warga Desa "terdampak pandemi" yang tidak perlu susah payah bekerja tetapi memperoleh "gaji kolektif".
Dan ketiga, SDGs Desa akan punya pelanggan tetap (subscriber) berdasar aksi pendataan berdasar tema-tema atau tipe-tipe Desa yang miskin dan tidak.
Karena ketiganya tidak ada hubungan satu sama lain, tetapi bukan berarti masing-masing salah, maka Permendesa ini membuat rasionalisasi pengambilan keputusan yang berlangsung efektif ditengah ketidakpastian masa pandemi: SDGs. Titik.
Perintah dan Perlawanan-Pasif
Selidik punya selidik, anda lihat presuposisi normatif pada Permendesa itu. Tertera: Perpres No. 59/2017 tentang PELAKSANAAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Bagaimana presuposisi normatif ini bisa nyasar ke regulasi yang dihembuskan oleh Kementerian Desa?
Cek saja pada bagian lampiran Perpres. Kementerian Desa diperintahkan untuk mengemban isu-isu sektoral, yakni menurunnya tingkat kemiskinan, meningkatnya Desa pengguna (proyek) sanitasi (STBM), hutan Desa sebagai basis pemulihan kesehatan DAS, mengurangi ketimpangan pendapatan (koefisien gini), berkurangnya Desa tertinggal, laju urbanisasi yang inklusif (sic!), dan transformasi teknologi global.
Kementerian Desa yang diberikan mandat melalui Perpres itu mau tak mau tunduk pada Sistem. Istilah Weber, rasionalisasi pengambilan keputusan. Menolak atau setuju atas aksi strategis penguasa akan semakin melegitimasi proyek SDGs masuk Desa.
Soal Desa akan terkunci dari pusat tersebab menu perencanaan pembangunan di Desa diarahkan melalui aplikasi digital SDGs Desa, kita lihat saja perkembangan aksi demokrasi permusyawaratan di Desa.
Desa mungkin bersikap menolak, pasrah, pasif atau melawan dengan caranya sendiri: melawan dengan tidak mengerjakannya secara serius.(*)
Membaca Sambil Menonton, Menonton Sambil Membaca
Timestamp:
0:00:00 Sumpah Pemuda, Diskursus Rakyat
0:01:08 Mazhab Timoho, Finansialisasi Desa, Desa Hutan dan Internet of Things
0:03:16 Mengulas Mazhab Timoho
0:05:30 Desa menjadi Arena Pertarungan
0:05:40 Desa Ilmiah yang Orientalis
0:07:54 Desa Ilmiah Mazhab Amsterdam
0:09:40 Solusi Orientalis SDGs Masuk Desa
0:12:40 Otokritik Sustainable Livelihood
0:13:39 Memuliakan Desa Bukan Romantisme
0:15:05 Desa Buatan Sarjana Industri Pemerintahan
0:16:54 Neoliberalisme dan Kemiskinan Teori Pemerintahan
0:20:23 Homo Economicus dan Pemerintahan
0:22:50 Neoliberalisme Gagal di Ekonomi, Sukses di Politik
0:24:00 Kontradiksi Homo Economicus, Radikalisasi Daulat Rakyat, Satir Komunisme Total
0:29:20 Pemerintahan Populis Yang Peragu
0:29:40 Fenomena Desa Digital
0:30:54 Ilusi Finansialisasi Desa dan Datakrasi
0:35:00 Digitalisasi Desa, Suasana Kebatinan, Pemerintahan Klas Rakyat
0:35:00 Kembali Mempertimbangkan Realisme
0:40:15 Finansialisasi Desa, SISTEM/PUSAT, dan Spiral Mazhab Timoho
0:43:23 Uang dari Pemerintah untuk Subsistensi
0:47:14 Strategi Repolitisasi dan Politics of Things
0:48:33 Politics of Things vs Internet of Things
0:50:43 Pupuk Langka dan Desa Hutan (Percakapan dengan Aryonaldo Pendamping Desa)
0:54:00 Bercermin dari Mazhab Kritis, Siapa Pelanggan Mazhab Timoho?
0:58:33 Desa Hutan Butuh Agen Perubahan, Bukan Agen Finansialisasi
****
NEXT: Tindakan-Tutur (Speech-Act) Kegagalan Aplikasi SDGs Desa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar