[NOVEL HUKUM] IUS COMMUNICATIVA Karya Anom Surya Putra

Tak jelas apa yang dimaksud dengan “badan hukum”, kecuali bahwa aparatus Pemda langsung menunjuk pada “badan hukum privat” yang lazimnya diabsahkan oleh notaris. Desa sibuk dengan praktik revitalisasi. Menghadap ke notaris atas dorongan “permen/gula manis” berbentuk bantuan pemerintah.
“Permen/peraturan menteri” Desa menekankan proses demokratisasi dan prakarsa ber-BUM Desa. Kalah pamor dengan “permen” persyaratan bantuan untuk BUM Desa.
Pendapat dari berbagai Desa dan aparatus supra-Desa menunjukkan kendala serius yakni hilangnya prakarsa Desa akibat isu “badan hukum”, yang mengharuskan BUM Desa untuk diabsahkan melalui akte notaris. Meskipun PP No. 47/2015 sebagai peraturan pelaksanaan UU Desa sudah menegaskan Perdes tentang BUM Desa dan Keputusan Kepala Desa tentang AD/ART BUM Desa sebagai dasar hukum yang valid, absah, dan legitim.
Perdebatan tersebut berasal dari pertanyaan yang meragukan BUM Desa sebagai badan hukum. Penempatan BUM Desa begitu saja kedalam badan hukum tanpa mendalami praktek badan hukum di Indonesia akan membuat kita semakin tidak jernih memandang badan usaha bercirikan Desa ini.
Himawan Estu Bagijo (2014) menulis disertasi ilmu hukum yang didalamnya mengulas konformitas (tolok ukur) Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menimbang subjek hukum dari para pemohon. Subyek hukum terbagi menjadi 2 (dua) yaitu orang (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Secara historis Himawan Estu Bagijo menguraikan bahwa dalam bahasa asing, istilah badan hukum selain merupakan terjemahan dari istilah rechtspersoon (Belanda), juga merupakan terjemahan peristilahan: persona moralis (Latin), legal persons (Inggris). Sampai tahun 1976 hukum NV (Perseroan Terbatas) dan BV (Perseroan Tertutup) diatur dalam W.v.K (KUH Dagang, Pasal 36 – 58 g) dan dengan telah berlakunya Buku II B.W. pada tahun 1976, maka peraturan NV dan BV dialihkan dalam B.W. tersebut.
Dalam buku II itu tidak dimuat tentang batasan apa badan hukum (rechtspersoon) itu, tetapi dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 disebutkan uraian tentang badan-badan apa saja yang menurut hukum Belanda merupakan badan hukum dalam pengertian hukum perdata. Dalam undang-undang itu disebutkan pula badan hukum publik (Publiekrechtelijke rechtspersonen, Pasal 1) dan badan hukum privat (Privaatrechtelijke rechtspersonen, Pasal 3). KUH Perdata tidak menguraikan aturan umum yang mengatur tentang rechtspersoon secara lengkap. Juga tidak dijumpai kata rechtspersoon itu dalam Bab IX Buku III KUH Perdata, meskipun maksudnya yaitu antara lain mengatur rechtspersoonlijkheid (kepribadian hukum) yaitu bahwa badan hukum itu memiliki kedudukan sebagai subjek hukum. Istilah lain untuk rechtspersoonlijkheid dalam bahasa Inggris adalah legal personality (G.W. Paton). Istilah rechtspersoonlijkheid terdapat pula dalam Stb. Belanda 1855 No. 32 dan berdasarkan asas konkordansi digunakan secara resmi di Hindia Belanda (Indonesia) dan berlanjut pada tahun 1870 yaitu dalam Stb. 1870 No. 64: Rechtspersoonlijkheid van verenigingen.
Ringkasan disertasi Himawan menyatakan tolok ukur (konformitas) yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam menentukan kedudukan hukum (legal standing) badan hukum.
Pertama, badan hukum privat. subyek hak gugat kategori perorangan atau badan hukum privat. Para Pemohon seperti APHI, PBHI, dan Yayasan 324, maupun Serikat Pekerja (SP) PT. PLN dikualifikasikan oleh MK sebagai badan hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan warga negara Indonesia. Dalam penerapan hukum legal standing untuk badan hukum privat atau setidak-tidaknya perorangan, putusan MK tersebut menjadi yurisprudensi bahwa sekelompok orang yang tergabung dalam LSM/NGO (Diah Astuti dari PBHI, Henry Saragih dari FSPI dan lain-lain) telah secara mutatis mutandis diterima sebagai pemohon yang mempunyai legal standing.
Kedua, badan hukum publik. Putusan MK memberikan contoh tentang legal standing badan hukum publik sebagai pemohon, antara lain adalah Bupati Kabupaten Kampar selaku Kepala Daerah Kabupaten Kampar --yang menurut ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemda berwenang mewakili daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Pemohon (Gubernur Sulawesi Selatan) juga terkategori badan hukum publik setelah MK memutuskan legal standing pemohon yang sebelumnya mendalilkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan adalah badan hukum publik yang dibentuk oleh undang-undang, yang mengemban hak dan kewajiban, memiliki kekayaan, dan dapat menggugat dan digugat di muka Pengadilan. Keputusan tersebut menjadi yurisprudensi MK dalam menangani perkara PUU Cukai yang diajukan oleh Gubernur NTB (Zainul Majdi).
Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam konformitas subyek hukum kategori “badan hukum publik” dan “lembaga negara”. Kepala Daerah merupakan badan hukum publik dan DPRD terkategori sebagai lembaga negara. Dalam prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang demokratis, pembatasan kekuasaan antar lembaga negara berjalan pada lingkup praktek hukum melalui pemisahan kategori subyek legal standing yaitu antara eksekutif (Kepala Daerah) dan legislatif (DPRD).
Mengikuti analisa Himawan Estu Bagijo, BUM Desa dapat dinyatakan sebagai badan hukum publik, dengan syarat: (a) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, (b) mengemban hak dan kewajiban, (c) memiliki kekayaan, dan (d) dapat menggugat dan digugat di muka Pengadilan:
Argumentasi BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik diatas lebih tepat untuk mempertegas pernyataan yang dihasilkan dalam diskusi panjang Tim Perumus RUU Desa, 9-10 Oktober 2010. Bahwa sebagai high call perlu ada perjuangan jangka panjang untuk menjadikan BUM Desa berbadan hukum seperti koperasi maupun PT.
Kompromi politik terjadi dalam penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU Desa (sebelum diubah secara normatif dalam UU Cipta Kerja) yang menyatakan, BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi.
Paragraf penjelasan dalam UU Desa itu merupakan praksis nalar yuridis atas Unit Usaha yang berstatus “badan hukum privat” dalam lingkup hukum perdata, tanpa menghilangkan ciri BUM Desa sebagai badan usaha yang ditetapkan dengan Peraturan Desa (ditambah ketentuan baru, Keputusan Kepala Desa tentang AD/ART BUM Desa dan kemudian berubah lagi menjadi: Perdes Pendirian BUM Desa dan Anggaran Dasar BUM Desa dan Peraturan Kepala Desa tentang ART BUM Desa).
Contoh yang penulis dapatkan adalah upaya pengelola BUM Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah, yang membentuk unit usaha berbadan hukum privat untuk mengelola lebih optimal sumber daya umbul air skala lokal Desa. Status BUM Desa Ponggok sendiri tetap dilegitimasi dengan Peraturan Desa. *
Penulis: Anom Surya Putra
Komentar